webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Javadiva (2)

"Apa yang mereka katakan?" Candina ingin tahu.

Silva terdiam. Memojok di kantin. Bel masuk kelas telah berbunyi, tapi ia tak ingin masuk untuk mata pelajaran pilihan yang berikut. Sastra Indonesia sangat disukainya, tapi ia tak ingin masuk kelas.

"Aku akan membelikanmu sesuatu," Candina berkata prihatin.

Silva menatapnya penuh rasa campur aduk. Baru kali ini ada yang memperhatikannya seperti ini. Lalu, ia harus bagaimana? Senang karena ada orang yang membelanya? Atau membenci Candina, karena gadis kuno itulah ia dapat getah seperti ini.

Candina membawa sesuatu.

"Ini, untukmu," Candina meletakkan sesuatu.

🔅🔆🔅

He?

Silva melotot. Ia pikir Candina beli minum atau makanan untuk menghiburnya. Gadis itu menatap benda pemberian Candina takjub. Jengkel kemudian. Alisnya naik seolah bertanya, "ini apa??"

"Ini untukmu!" Candina menegaskan.

Silva membolak balik benda di meja tak mengerti.

Tissue. Dua bungkus, lagi.

Pulpen.

Buat apa?

"Yang satu bungkus kalau kamu menangis," Candina menjelaskan polos. "Yang satu buat kamu tulis. Siapa tahu kamu ingin mencurahkan sesuatu. Kamu tulis di situ, di tissue. Aku tidak menemukan buku kecil di toko kantin. Pulpen? Kamu tidak bisa menulis kalau tak pakai pulpen."

Silva menatap Candina aneh.

Gadis cantik, dengan kulit pucat, mata syahdu dan dandanan kuno itu selalu menggunakan bahasa Indonesia yang lengkap dan baku. Terkadang itu cukup mengganggu sekaligus menggelikan.

"Jadi?" tanya Candina lagi. "Apa yang dikatakan kepala sekolah dan kepala kesiswaan?"

Silva menatap tissue dalam genggaman. Satu di tangan kanan, satu di tangan kiri. Sulit sekali menggambarkan perasaannya saat ini. Apakah karena ia sulit berekspresi, orang-orang menafsirkan dirinya secara keliru? Ia tenang disangka sedih. Ia sedih disangka tak peduli. Ia gembira disangka menghina. Ia marah disangka menerima.

Candina menarik napas pendek. Tampak bersabar dan mencoba mengerti.

"Kalau kamu tidak mau cerita, tak mengapa, Silva," lembut Candina menyentuh lengannya. Terasa lunak dan dingin bagi Silva, hingga tanpa sadar ia menarik menjauh dari pegangan si gadis kuno.

Candina menarik telapak tangannya dari lengan Silva. Ia pun tampak serba salah.

"Aku ingin kamu tahu, aku ingin menemanimu," Candina menjelaskan dengan nada bersahabat. "Aku berterimakasih sekali, bahwa kamu melindungiku tempo hari. Kamu menghentikan anak-anak menyerangku. Kamu sampai harus kena pukulan juga."

Silva menatap Candina dalam-dalam.

Jadi, apa yang dikatakan guru-guru dan para siswa berseberangan dengan Candina? Mereka yang menyerangnya. Bukan Silva yang menyerang mereka! Berarti, pikiran dan ingatan Silva tidak sepenuhnya salah. Apa yang sedang direncanakan pak Gatot dan bu Santi? Mengapa mereka mengancamnya dengan beberapa hal? Silva memejamkan mata, berusaha mengingat dengan jelas kata-kata pak Gatot dan bu Santi.

Ancaman di penjara.

Perintah untuk mengakui kesalahan.

Perintah untuk menuruti perintah.

Perintah untuk…

🔅🔆🔅

Jeritan melengking. Suara benturan dan gesekan keras. Lompatan. Konsentrasi Silva buyar seketika. Kelopak matanya terbuka, menatap pemandangan aneh di depan. Benar-benar! Apakah Candina punya keahlian khusus menjengkelkan orang?

Di depannya, si gadis kuno gemetar. Ia bertengger di bangku kantin, yang bergoyang-goyang menahan tubuh di atasnya. Suara kaki besi kursi dan lantai bergesekan berdecit-decit. Di atasnya, si pucat pasi. Matanya membulat, jemarinya tumpuk menumpuk menutup mulut yang terbuka. Jelas ia didera ketakutan sangat. Fokus pupilnya tertuju ke satu titik. Silva mengikuti arah telunjuk Candina. Dengan santai, Silva bergerak ke arah sosok yang menimbulkan jeritan luarbiasa.

Makhluk bulat berbulut lebat. Warna coklat, putih, hitam. Wajah tak berdosa yang memandang dengan mata bola dua warna : biru dan gelap. Sorotnya seperti reptil yang mengancam, namun gerakannya gemulai dan perlahan.

Silva menyentuhnya, mempermainkan bulu-bulu. Mengangkatnya, memeluknya, menciuminya.

"Awww…hiii!" desis Candina. "Kamu…berani??"

Silva memandang Candina sekilas.

Bagaimana mungkin ada orang yang histeris, ketakutan, menolak keberadaan makhluk selucu ini?

"Cookies," bisik Silva pelan. Suara yang jarang didengar orang dan sangat jarang didengar Candina. Seingatnya, baru kali ini Candina mendengar suara Silva yang unik.

"Apa?" Candina menajamkan telinga.

"Cookies," ulang Silva. "Namanya Cookies."

🔅🔆🔅

Ada gak kamu yang seperti Candina? XD

lux_aeterna2022creators' thoughts