webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Bayangan Salaka (7) : Ular-ular

Tak mungkin kembali ke Javadiva!

Entah apa yang terjadi, tapi sekolah bakat minat itu sedang diserang. Mustahil mengajak Sonna dan kawan-kawannya ke rumah Najma. Keluarga mereka sederhana, tak ada ruangan cukup.

Rasa iba merayapi hati Najma melihat Sonna dan Bhumi, juga Rasi kebingungan. Silva pernah cerita sedikit perihal kakak beradik Sonna dan Bhumi. Rasi mungkin masih menyimpan uang cukup di ATM-nya, tidak demikian dengan kakak beradik Bhumi.

"Sorry, Pak," Najma mengontak Rendra. "Ada kejadian genting di Javadiva. Teman-teman yang nolongin Silva gak bisa balik ke sana. Apa boleh pakai apartemen Casablanca?"

Rendra berkata, itu apartemen milik mamanya dan ia enggan mengusik. Najma menghela napas, merasakan penolakan halus.

Pesan singkat masuk kemudian.

"Aku sudah kontak Luna. Dia sudah siapkan apartemen untuk anak-anak itu. Kamu kontak dia aja."

Walau enggan, mau tak mau Najma mengontak si seksi Luna.

🔅🔆🔅

Najma membelikan supir mobil Javadiva minuman dan makanan sebagai penawar perut lapar dini hari, sekaligus memperbaiki hubungan yang penuh ketegangan sejak kali pertama bersinggungan. Malam bahkan sudah berganti tanggal ke hari sesudahnya. Supir itu menarik panjang hisapan rokok, mengepulkan asap tinggi ke udara.

"Mbak bisa saya tinggal sama anak-anak itu?" tanyanya.

"Eh, kenapa, Pak?" Najma garuk kepala. Ia berharap pagi ini bisa bekerja, anak-anak kembali ke Javadiva setelah penanganan pihak sekolah terkait ular-ular. Pertolongan pak supir masih diharapkannya.

"Saya harus kembali ke Javadiva," wajah pak supir tampak keruh. "Mbak kenal bu Santi?"

Najma menggeleng.

"Kepala sekolah kami. Dia meninggal mendadak tadi malam."

Mata Najma membelalak.

"Kenapa, Pak?"

"Nggak tau."

"Rumahnya di…?"

"Rumah kepala sekolah, guru dan keluarga pengurus asrama di sekeliling Javadiva."

Dada Najma berdegup kencang.

"Apa bu Santi kena…"

"Gigitan ular?" potong pak supir. "Nggak tau saya. Tapi pak Gatot juga masuk rumah sakit semalam."

"Siapa beliau?" tubuh Najma makin melemas.

"Ketua yayasan kami."

Najma menatap Sonna, Bhumi dan Rasi yang tengah duduk sembari meminum kopi panas. Sonna meletakkan kepala di bahu Bhumi, tampak lelah.

Ping.

Pesan masuk.

"Bisa minta nomer rekeningmu? Aku mau transfer untuk kebutuhan pengobatan Silva."

Najma mengetik pesan.

"Gak usah, Pak. Nanti aja kalau sudah ketahuan habisnya berapa. Minta reimburse ke Bapak."

Najma menggigit bibir. Reimburse? Memangnya dia punya tabungan untuk menanggulangi semua? Tapi memberikan nomer rekening pada Rendra sepertinya memalukan sekali.

"Atau kalau kamu butuh apa-apa, kontak Luna aja. Aku mungkin gak bisa dikontak beberapa hari ke depan."

Ketika matahari telah menampakkan warna kuning telur di timur, dering telepon dari Luna masuk. Suaranya tampak mengantuk.

"Najma Honey?" panggilnya dengan suara manja mendesah. "Rendra menyuruhku mengurus apartemen untuk adiknya. Kunci kutitipkan ke FO, ya. Apartemennya tak terlalu jauh dari sekolah adiknya."

Uh! Mendengar suara Luna, seorang cewek saja bisa berpikiran macam-macam, apalagi seorang cowok macam Rendra! Najma menepis pikiran sesatnya.

🔅🔆🔅

Silva terbangun saat pagi hari.

Najma tengah mengenakan jaket untuk meninggalkannya.

"Mbak Najma?" Silva memanggil lirih.

Najma mendekatinya, menggenggam satu tangannya yang tidak terpasang infus, "Sonna dan teman-temannya akan nemani kamu."

"Mereka nggak sekolah?" tanya Silva.

"Nggak, mereka izin," Najma berdiplomasi. Silva tak perlu tahu tentang urusan ular.

"Mbak Najma bilang ingin ketemu Salaka," ucap Silva. "Kapan?"

Najma memijit kening. Segaris tanda merah muncul di sana.

"Kuusahakan sore ini atau besok. Kamu kayaknya udah boleh pulang, tapi nunggu visite dokter."

"Kalau Mbak mau ketemu Salaka, aku temani."

Najma menggeleng, "kamu sehat dulu."

Bahkan Sonna dan teman-temannya pun belum tentu mau kembali ke Javadiva, pikir Najma.

"Aku harus segera balik ke Javadiva," Silva bersikukuh.

"Nooo!" Najma memotong. "Dengerin, Mbak ya. Siang aku ke mari lagi deh, kalau emang kamu ke luar hari ini, kita selesaikan administrasi. Habis itu ke apertemennya Pak Rendra."

"Ngapain ke apartemen Mas Rendra?" Silva keheranan, ia mencoba duduk.

"Sebaiknya kamu gak ke Javadiva."

"Kenapa, Mbak?"

🔅🔆🔅

"Sonna! Kita harus balik ke Javadiva!"

"Tapi…tapi mbak Najma ngelarang kita ke sana," Sonna kebingungan.

"Mbak Najma gak tau apa yang benar-benar kita hadapi," Silva gusar.

"Kamu udah dengar berita?" Bhumi menyela.

"Aku gak bawa HP, kan?" Silva mengingatkan.

"Bukan hanya kamarmu yang kemasukan ular," Rasi terpaksa berterus terang, walau Najma meminta mereka merahasiakannya.

Silva memandang ketiga temannya bergantian.

"Aku nggak tau kenapa, tapi aku ngerasa aneh dengan ular yang menggigitmu semalam," gumam Sonna. "Juga, Javadiva dapat serangan mendadak. Ular-ular seolah menyerbu serentak."

Silva menelan ludah. Pikirannya tertuju pada Candina dan Salaka. Tak mudah mengontak keduanya karena memang keduanya tak memegang telepon seluler! Walau Silva memohon-mohon kepada teman-temannya untuk segera kembali ke Javadiva, tampaknya Bhumi dan Rasi yang memegang kendali. Ditambah pesan tegas Najma untuk tak membiarkan Silva kembali ke Javadiva.

Rendra menelepon Silva kemudian, semakin mengukuhkan penolakan untuk kembali ke Javadiva.

"Kita memantau Javadiva dari apartemen Pak Rendra, Silva," Najma memberi perintah pamungkas lewat video call sebelum kembali berkubang pada pekerjaannya.

🔅🔆🔅

Berita kematian bu Santi dan pak Gatot yang masih dirahasiakan kondisinya, menyebar cepat bagai virus. Cepat atau lambat, Silva dan seluruh siswa Javadiva tahu. Najma menyempatkan diri untuk bergabung dengan semuanya, sepulang ia bekerja. Walau tak mungkin tiap hari, karena jauhnya jarak.

Seorang siswa membagikan video kondisi sekolah.

"Guys! Ini dia pengganti bu Santi," bisik seorang anak. "Cantik! Sama cantiknya seperti bu Santi. Kita berduka atas wafatnya bu Santi, tapi gimanapun juga, show must go on."

Silva dan teman-teman mengamati laporan langsung dari Javadiva.

"Nah, ini dia pengganti pak Gatot. Doakan pak Gatot cepat sembuh, ya. But, she's also soooo gorgeous. Cantik banget. Sekarang, dua penguasa sekolah cantik-cantik, hehe."

Video menampilkan dua orang tampil, dalam acara yang mirip upacara sederhana, semacam serah terima jabatan.

Keduanya mengenakan busana hitam yang anggun, dengan aksen menawan di tepian baju. Suasana bela sungkawa masih menyelimuti, hingga wajar kedua pengganti pengelola Javadiva berbusana gelap. Perkenalan singkat berlangsung hening dan misterius.

"Kami berdua berteman baik dengan bu Santi," ia mengaku. "Panggil saya Gayani, kepala sekolah yang baru. Dan ini, Nagina, ibu ketua yayasan Javadiva."

Setelah sambutan, Gayani menyampaikan bahwa ia akan segera menangani kejadian yang menghebohkan. Orangtua-orangtua siswa bereaksi keras, menegur pihak yayasan dan pengelola sekolah yang abai terhadap keselamatan siswa. Banyak siswa tergigit ular, walau sebagian besar tertangani dengan baik.

Hanya bu Santi dan pak Gatot yang tampaknya bernasib malang.

Gayani memperilakan Nagina menyampaikan pidato.

"Akan segera ada penanganan, terutama terkait semua hewan yang ada di lingkungan Javadiva. Bukan hanya ular, kita harus mewaspadai semua."

Silva terkesiap. Teringat olehnya Cookies dan elang jawa di areal kapuk randu.

"Berikutnya akan ada perombakan besar-besaran di Javadiva. Sekolah ini sebagian bangunannya didirikan sejak zaman Belanda, sudah ratusan tahun. Kemungkinan, ada ruang-ruang yang perlu dirubuhkan. Diganti yang baru. Ruangan yang lembab, memunculkan potensi bahaya."

Ucapan Nagina disusul penjelasan Gayani.

"Kami akan segera mengerahkan para ahli. Bangunan yang tampaknya harus segera mendapatkan perhatian adalah ruang seni Nirvana beserta tiga ruang kesenian di dalamnya : ruang musik Calya, ruang tari Janaloka dan ruang gambar Dahayu."

Sonna menatap Silva yang tegang.

🔅🔆🔅