webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Bayangan Salaka (12) : Wajah Lain Vasuki

Ragil dan Najma tiba di apartemen Rendra tepat waktu. Sonna pucat, menangis, kusut masai. Kamar sebelah terdengar kacau dengan teriakan dan suara barang-barang berhamburan.

"Silva! Silvaaa!"

Najma menggedor keras pintu, memanggil nama.

Hening. Senyap.

Ragil dan teman-temannya bersiap.

"Kamu bisa buka pintunya???"

Diam. Suara asing di belakang pintu.

Klik.

Semua berjaga-jaga menanti kejutan, sayangnya gerakan Silva lebih cepat dan kuat saat menghambur ke arah Najma, mengayunkan lengannya ke arah bahu!

Teriakan Najma membelah udara.

"Naaaj?!" teriak Ragil.

Najma terhuyung, menjauh. Darah mengucur dari bahu. Sonna memapahnya, berusaha menahan pendarahan dengan apapun kain yang ada.

Ragil dan beberapa cowok serentak berusaha menahan kemarahan Silva, memegang baik bagian atas badan maupun bagian bawah. Punggung Bara terkena sabetan kuku bercakar. Rasa sakitnya tak terkira, tapi ia mencoba bertahan memegangi satu lengan Silva sementara Ragil memegangi tangan satunya. Yang lain berusaha menghentikan tendangan-tendangan sekuat sepekan kuda . Untung gadis itu telah dirobohkan ke lantai hingga gerakannya dapat dibatasi.

Wajah Silva telah berubah.

Matanya nyalang. Kekuatannya berlipat. Suara yang biasanya terpatah dan terbata berubah menggelegar. Buas. Para penahannya berkeringat, mengeluarkan tenaga besar untuk bisa mempertahankan posisi.

"Tahan dia!"

"Sampai kapan, Mas?"

"Biarkan dia lemas!"

"Punggungku sakit banget!"

"Bara…kamu juga terluka…," suara Najma terengah.

"Ada yang bisa bantu Bara??"

"Gak bisa! Anak ini gila tenaganya!"

Silva memandang mereka semua dengan nyalang. Tetiba ia terhenti, tubuhnya tenang. Matanya memandang memelas ke arah para penyerangnya, lalu sesuatu terjadi.

"Najma??"

Ragil, Bara dan lainnya mengendorkan pegangan. Gadis di bawah kendali mereka adalah Najma! Seketika 'Najma' meloloskan diri, bergabung dengan Najma dan Sonna; menangis meraung. Walau ia kelihatan ketakutan dan terisak-isak, Ragil tak lengah. Sekuat tenaga ia memisahkan dua Najma yang terlihat bagai kembar identik.

🔅🔆🔅

"Barbaljag," jelas Salaka. "Kepercayaan Dubiksa yang dapat berubah wujud."

Situasi di apartemen Rendra mulai dapat terkendali. Sonna menelepon Rasi dan menjelaskan kondisi yang ada, kebingungan atas kejadian yang menimpa Silva dan mereka semua.

"Silva kadang tenang, kadang liar," Sonna melaporkan. "Saat tenang, ia menangis dan dapat diajak bicara. Saat liar, ia benar-benar di luar dugaan. Apalagi dia…dia bisa mengubah diri jadi mbak Najma."

"Apa dia berubah wujud yang lain saat ini?" tanya Salaka.

"Maksudmu? Jadi …aku?" tanya Sonna menebak-nebak.

"Ya."

Sonna menatap Ragil khawatir.

"Sekarang tidak. Apakah itu mungkin?"

"Mungkin saja. Barbaljag memang memiliki keahlian menyerupai siapapun. Kalian semua harus hati-hati."

Najma dan Bara yang teronggok lemas, semakin pucat mendengarnya.

"Yang aku herankan," ujar Salaka. "Silva masih sadarkan diri. Dia tidak berubah seutuhnya, hanya sesekali."

"Salaka!" Najma mengeraskan suara. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan, berdua denganmu. Atau Candina!"

Najma menyingkir sebentar, masuk ke kamar yang tadi dihuni Sonna, bercakap. Lalu ke luar lagi. Ia menghampiri Silva berhati-hati. Rasa nyeri di bahu membuatnya melangkah menjauhi. Melihatnya seperti itu, Silva yang benar-benar Silva tersedu.

"Aku kenapa, Mbak?" tanyanya. "Maafkan aku…aku merasa memukulmu, tapi aku…aku nggak bisa mengendalikan diriku."

"Aku juga mau nanya kamu kenapa," Najma hati-hati berucap. "Apa yang kamu rasakan?"

Silva mencoba mengingat-ingat.

"Waktu di kamar sendiri…aku seperti menjadi sesuatu," Silva mengingat. "Nggak tahu kenapa. Tubuhku panas dingin. Aku pingin ngamuk."

Najma mendengarkan seksama.

"Dadaku sesak. Kepalaku dipenuhi suara-suara. Aku seperti tenggelam dalam gelombang pikiran yang tak kumengerti. Sepertinya itu aku, sekaligus bukan diriku," Silva menangis.

Najma menyimak.

"Silva, kamu tadi sempat berubah wujud jadi…aku," Najma menjelaskan.

Alis mata Silva naik, tak percaya.

"Apa kamu ingat? Apa kamu merasakan sesuatu saat itu? Kenapa kamu nggak jadi Sonna atau Ragil?" desak Najma.

Silva menggeleng-gelengkan kepala.

Najma ingin memeluknya, tapi menahan diri. Khawatir Silva masih berbahaya.

"Ayo…kita runut ingatanmu," Najma membujuk lembut. "Sejak kamu ke luar kamar, membuka pintu, dan menyerang kami."

Silva menarik napas panjang. Tubuhnya duduk di lantai bawah, punggungnya menyandar ke sofa. Kanan kirinya dihadang Ragil dan teman-temannya.

"Aku…aku lihat kalian semua," Silva mengingat-ingat. "Aku marah pada semua. Tubuhku panas. Lalu…"

Kepala Silva berat. Matanya terpejam, mengingat-ingat.

"Sakit banget," Silva memeluk tubuh dengan kedua lengannya, lututnya menekuk. "Rasanya sakit banget ketika…"

Silva menengadahkan wajah, matanya berkilat sesaat. Nyalang untuk beberapa detik ketika memandang Najma. Ragil dan teman-temannya waspada. Ragil bahkan mencengkram lengan Silva yang tadi berubah bercakar. Gadis itu seketika layu dan merasa lelah.

"Kamu jangan macam-macam!" Ragil membentak.

Najma menepuk lengan Ragil, memintanya bersikap lebih lembut.

"Aku sama sekali nggak ada niat melukai mbak Najma, Mas Ragil," bisik Silva. "Mas tahu itu…"

"Ya! Tapi kamu tadi menyayat bahunya. Barusan juga kelihatan mau nyerang Najma lagi!"

Silva menatap Ragil tak percaya.

Tapi sesuatu muncul di benak Silva.

"Apa…apa aku cuma nyerang mbak Najma?" bisik Silva.

"Nyerang kami semua. Tapi kalau sama Najma, kamu agresif sekali. Apa kamu punya dendam tertentu sama dia, he?" gempur Ragil.

Silva terdiam.

Menatap Najma sesaat.

Najma pun melihat kilatan di mata Silva.

"Silva," bisik Najma, "…coba kamu lihat aku. Tatap aku baik-baik."

Silva mengiyakan, menatap Najma teliti. Mata mereka berpandangan cukup lama, sebelum Silva mulai mengeluarkan erangan buas. Lirih kemudian, mendesis panjang, lidah terjulur maju mundur. Semua berusaha memegangi Silva, sementara Najma berlutut di dekatnya.

Keringat mengucur deras di dahi Silva, dahinya mengernyit, matanya bagai ingin membelah musuh di depan. Najma memegang pipinya, menamparnya lembut.

"Kamu dengar suaraku, Silva?"

Silva terengah.

"Jangan dengarkan suara-suara jahat di pikiranmu. Abaikan! Dengarkan suaraku!" Najma berbisik di telinganya.

Silva tertawa keras.

"Gadis ini milikku!" suara itu menggeram, suara asing yang mengancam. "Aku membencimu, Najma Laila! Sok kuat! Sok suci!"

Najma terperangah. Tak ada yang pernah memberi tahu Silva tentang nama lengkapnya. Ia kehilangan keyakinan untuk beberapa saat. Ragil maju kemudian.

"Aku tahu kau bukan Silva," ancam Ragil. "Sekuat apapun dirimu, kau cuma makhluk lemah yang menumpang hidup pada manusia! Di semesta ini, tak ada makhluk yang lebih kuat dari manusia!"

Silva menggeram, menatap tajam dua orang di depannya, lalu lunglai kemudian.

Najma menepuk lembut bahunya.

Silva terengah. Terbatuk-batuk. Ingin muntah.

"Kamu bisa mengendalikan dirimu, Sil?" tanya Najma.

Silva kebingungan.

"Aku…aku nggak tau, Mbak. Tadi…tetiba muncul sesuatu yang aneh dari dalam diriku."

"Terus, kamu kok bisa segera berbalik?"

"Aku mencoba mendengar suara Mbak Najma. Suara Mas Ragil," bergetar suara Silva. "Rasanya sakit semua badanku. Sakit kepalaku. Tenaga terkuras habis."

"Berarti kamu bisa mengendalikan dirimu?" desak Najma.

"Naj?" tegur Ragil.

"Kalau kamu bisa mengendalikan dirimu dengan baik, kamu bisa menghadapi makhluk-makhluk yang mengepung Salaka, Silva," Najma menyimpulkan. "Mantra yang ada, dapat menghancurkan Vasuki oleh Vasuki sendiri."

🔅🔆🔅

Salaka menolak.

"Itu berbahaya!" ucapnya.

"Aku akan mencoba," Silva berkata teguh.

"Kalau gagal, kita semua celaka," Salaka mengingatkan.

"Kalau berhasil?" Silva bertanya lagi.

Candina menarik napas, menatap Salaka dan teman-temannya bergantian.

"Kalau berhasil, aku bisa menyelamatkan semua termasuk Bhumi yang terluka," Silva menjawab sendiri.

"Aku tak mengizinkannya!" Salaka terdengar marah.

"Aku sudah di Javadiva, Salaka," Silva berkata. "Kamu ngasih izin atau nggak, aku akan mencoba. Lagipula, kita sudah nggak punya cara lain. Semua hal harus dicoba."

Salaka mengatupkan bibir.

Apakah manusia selalu punya cara untuk memaksakan kehendak? Mereka bisa nekat. Mereka bisa lebih berbahaya dari Vasuki. Namun, mereka suatu saat bisa jauh mengungguli Akasha, dan lebih kuat dari Pasyu.

Apakah ada baiknya, mempercayai Silva dan Najma kali ini?

🔅🔆🔅