webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

Artefak (5)

Dengan tekanan dan penderitaan seorang cowok yang tak mampu menghadapi desakan cewek, Ragil mendatangi lokasi penggalian yang semakin dikerumuni banyak pihak. Alat-alat berat lebih banyak hadir. Crane dan bola besi yang biasa digunakan untuk menghancurkan bangunan pun dihadirkan. Orang yang disebut-sebut sebagai pak Rendra rupanya tak main-main menangangi proyek. Mereka berdua memarkir sepeda motor di area khusus kendaraan pekerja.

"Gila nih orang," Najma merutuk. "Apa isi otaknya, ya?"

"Mereka mau bangun apa?" Ragil bertanya.

"Hotel. Resor. Waterpark. Nggak tau aku," Najma terlihat tak peduli. Matanya mencari-cari sosok yang dikenal : pak Koko, Bambang, atau pak Gatot. Hanya wajah-wajah asing, atau wajah yang dikenal tapi tak terlalu dekat. Satu-satunya wajah yang sama sekali tak asing adalah Rendra.

"Penggaliannya semakin luas. Tapi acak," Najma mengeluh. "Kayaknya mereka mau gercep –gerak cepat."

"Mereka mungkin semakin banyak menemukan artefak," Ragil memberikan perkiraan. "Biasanya begitu. Proyek-proyek yang udah punya maket, harusnya rapi ketika bangun pondasi. Kalau berantakan kayak gini, berarti banyak kendala."

"Oh iya, ya," Najma terlihat bergairah.

"Kita mau ketemu siapa, Naj?"

"Gak ketemu siapa-siapa. Liat-liat aja, beri penilaian Mas Ragil."

"Hah? Kamu gak ada kenalan di sini? Ngapain buang-buang energi!"

"Aku ada kenalan, tapi gak keliatan batang hidungnya. Udah, Mas, berlagak pekerja aja," Najma memberi dorongan.

🔅🔆🔅

Keduanya berjalan menuju lubang galian, tempat bucket ekskavator masih belum mau beranjak sama sekali. Najma dan Ragil melompat masuk. Mereka membuka perlengkapan dan…,

"Hei! Kamu! Mbak siapa namamu?! Ya, kamu anaknya pak Koko, kan? Ngapain di sini, Mbak!" sebuah suara meggelegar.

Ragil menatap Najma. Gadis itu memberikan isyarat untuk tetap tenang.

"Masuk sini, Pak!" ajak Najma, melambaikan tangan ke arah Rendra.

"Apaaa? Gila kamu!"

"Sini! Masuk aja! Gak bahaya, kok. Lagian Bapak banyak anak buahnya. Kami mau nunjukkan sesuatu!"

Rendra menatap dua orang di bawah lubang dengan perasaan jengkel teramat sangat.

"Bukan SOP saya untuk turun ke situ!" teriak Rendra.

"Takut, Pak?" ledek Najma. "Gak usah takut. Ini bukan bom. Kalau Bapak turun, Bapak akan bisa cepat memutuskan kelangsungan proyek ini!!"

Rendra menatap Najma tajam.

"Atau Bapak serahkan pada kami aja?" Najma menantang.

Ragil, tak mempedulikan perdebatan itu, bergerak cepat membersihkan benda di depannya. Tak mungkin selesai cepat, butuh waktu lama untuk bisa melihat wujudnya yang sempurna. Waktu singkat dan dipenuhi kegusaran tak mungkin dapat menemukan jawaban, apakah benda yang menghambat laju gerak ekskavator.

"Kalau kalian berdua gak keluar sekarang, kalian akan diusir sekuriti!" bentak Rendra keras.

Najma melirik ke arah Ragil, "Mas, cepetan! Ayo difoto atau direkam."

Ragil tak menggubris. Ia justru sibuk berkutat dengan benda yang sepertinya, samar terlihat bentuk dasarnya. Bukan segitiga atau kota, lebih mirip tabung, namun juga tak terlalu menyerupai. Tanpa diperdiksi Najma, Ragil menaiki benda itu. Mengayun-ayunkan tubuh. Tak ada gerakan. Bergeming.

"Gila. Benda apa ini?" Ragil bertanya-tanya. Ada kilat gairah di matanya.

"Tangga? Undakan?" Najma bertanya.

Beberapa orang turun ke lubang. Mencoba menghentikan Najma dan Ragil sementara Rendra mengamati dari atas tepian lubang. Setengah memaksa, empat orang bertubuh tegap mencoba mengeluarkan Najma dan Ragil. Meronta, Najma mencoba melepaskan diri sembari menyumpah-nyumpah. Kakinya menendang-nendang, tanpa senagaja mengenai benda panjang misterius. Tanpa sadar, Najma dan Ragil saling memandang ; merasakan sesuatu yang aneh. Keduanya terseret separuh tubuh ke atas, berada antara dasar dan tepian lubang. Bekas-bekas galian yang berupa tangga buatan menjadi jalur buruh untuk naik dan turun ke lubang

"Pak Rendra!" Najma berteriak. "Beri saya waktu lima menit aja!"

"Nggak! Saya gak izinkan!" tegas Rendra memutuskan, suaranya gabungan antara perintah dan ejekan.

"Lima menit aja dan Bapak tau jawabannya," Najma mengajukan tawaran. "Atau Bapak keluar uang banyak dan benda itu gak bisa diapa-apakan!"

Rendra benar-benar ingin mendamprat gadis itu habis-habisan. Tapi tawaran yang diajukan juga masuk akal. Ia sudah keluar uang terlalu banyak, tak tahu bagaimana melanjutkan situasi proyek yang terancam molor.

"Oke. Five minutes! Just five minutes!" teriak Rendra.

Najma dan Ragil melepaskan diri dari tangan-tangan yang mencengkram. Mereka kembali turun ke lubang dan mendekati benda misterius yang berbeda dengan artefak-artefak kuno lainnya. Mereka berdua mencoba lagi membersihkan secepat mungkin dan berpikir, apa yang bisa dilakukan. Najma dan Ragil berhadapan, bertatapan. Sama-sama ragu, namun sama-sama ingin mencoba.

"Apa ada sesuatu di dalam mimpi yang menyebutkan tentang ini?" Ragil ingin mencari jawaban.

"Aku nggak tau," Najma menghela napas dalam jawabannya. "Tapi samar dapat kuraba."

Najma mengelus benda itu.

Di atas tepian lubang, Rendra dan orang-orangnya menunggu. Wajah mereka tampak tak sabar, namun juga dipenuhi rasa ingin tahu.

Najma memejamkan mata, mengingat mimpinya yang syahdu dan terhubung dengan benda panjang ini. Ia tak tahu harus melakukan apa, harus bagaimana. Tangannya bergerak menelusuri benda panjang yang mirip tabung, tapi memiliki tonjolan-tonjolan panjang dan halus. Seperti pilar-pilar. Seperti tiang yang kuat. Tapi tiang tak mengeluarkan suara. Jemari Najma mengelus, meraba, mengetuk.

Lalu jari jemarinya mengetuk-ngetuk. Menepuk-nepuk.

Ragil pun melakukan hal yang sama.

Irama harmoni muncul bersama angin. Nyanyian asing dan aneh berupa tiupan seperti seruling, namun lebih berat dan berbobot. Tiupan itu berirama seiring jari jemari Najma dan Ragil memainkan nada-nada yang meluncu rbegitu saja. mereka berdua terhanyut, saling menatap, tersenyum lebar dan mulai tertawa riang. Benda itu mengeluarkan suara yang menakjubkan!

"Ini pilar…," kata Ragil.

"Ini alat musik…," Najma berkata bersamaan.

Apakah itu pilar raksasa yang menjadi alat musik?

Ataukah alat musik raksasa yang menggambarkan betapa tinggi dan besarnya orang-orang ribuan tahun silam? Bagaimana mereka memindahkan alat ini, keluar dari tanah? Apakah benda ini hanya satu, atau ada yang lain? Kalau berupa pilar kosong, mirip seruling besar, mengapa terasa berat sekali dan tak dapat dipindahkan?