webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Titik Vanantara

Garanggati menatap Nami marah.

Gadis di depannya menunduk, merapatkan dagu ke dada. Tak mengerti keadaan yang tumpang tindih seperti ini.

"Aku tahu gerak gerikmu. Putri Nisha memanggilmu untuk apa?!"

Nami menggigit bibir kuat-kuat. Haruskah Garanggati tahu bahwa percakapan dua gadis di lorong rahasia membahas tentang Milind? Apa yang akan dilakukan sang pandhita bila tahu salah satu prajurit khusus Wanawa terlibat hal-hal tak masuk akal di tengah kegentingan keadaan?

Nyatanya, bukan itu yang menjadi dugaan Garanggati.

"Apakah Putri Nisha memintamu melakukan hal di luar batas?"

Cepat Nami menolak, "Sama sekali tidak, Tuan."

Garanggati menatap tajam, seolah melepaskan lapis demi lapis pertahanan. Nami berpikir, ia harus berterus terang, walau separuhnya.

"Putri Nisha bertanya, apakah hamba akan tetap setia pada Wanawa apapun yang terjadi," lirih suara Nami, merasa pedih mengulang kalimat itu.

Garanggati menarik napas panjang, "Dan, apa jawabanmu, Prajurit?"

"Hamba berkata," Nami terjeda sesaat, mencoba menguatkan ingatan, "bahwa keluhuran budi bangsawan dan rakyat Wanawa terkenal diseluruh wangsa. Hati kami, para Nistalit, tertambat di sini."

Walau tak mempercayai seluruh kisah Nami, setidaknya ada kelegaan ke luar dari hembusan napas Garanggati.

"Apa kau tahu apa yang telah terjadi pada Sindu?"

Nami menggeleng.

Garanggati menunduk sesaat, lalu berkata pelan dan tegas.

"Aku tak perlu memberitahumu sekarang. Perlahan kau akan tahu juga. Malam nanti, selepas kau mengerjakan penempaan senjata, temuilah aku di sini."

"Apakah Dupa juga akan hadir beserta prajurit Nistalit lain?"

"Tidak! Hanya kau seorang! Paham?!"

Nami mengambil sikap siap siaga.

❄️💫❄️

Bukan hanya Nami yang berada di bilik rahasia Garanggati malam itu. Ada sosok lain : Hulubalang Sindu. Walau wajah sang hulubalang terlihat terkejut, senyum tersungging segera ketika melihat Nami.

"Aku sudah menduga, itu kau," ujar Sindu, seolah menebak suatu teka teki yang disampaikan Garanggati.

Nami tak memahami makna ucapannya.

Sang pandhita – mantan panglima Vanantara di masa sebelum pembukaan kawah Gambiralaya – hadir, mengenakan pakaian prajurit lengkap. Sosok pandhita lenyap dari dirinya. Rambut hitam berseling uban yang tebal terikat kuat ke atas.

"Bagaimana lukamu?" tanya Garanggati, mengarah ke Sindu.

"Membaik, Tuan."

"Aku akan menambahkan mantra dan pengobatan."

"Siap!"

Nami tertegun. Luka? Apakah luka pertempuran melawan pasukan hitam di benteng Aswa milik Gosha? Seingat Nami, luka Sindu sudah berangsur membaik. Ataukah lukanya terbuka lagi?

"Mulai esok, kalian harus memperkuat tirakat," perintah Garanggati. "Berpuasa dari sejak matahari terbit hingga tenggelam. Kalian persedikit tidur, persedikit bicara. Jangan berkata-kata kecuali hal sangat penting. Sepanjang berpuasa, usahakan tak banyak bersenda gurau."

Sindu dan Nami berdiri bersisian.

"Hulubalang Sindu!" teriak Garanggati. "Apakah kau siap mati untuk melindungi Wanawa dan kepentingan luhur seluruh wangsa?!"

Terdengar teriakan lantang Sindu mengiyakan.

"Apakah kau siap mati membela Panglima Milind banna Wanawa?!"

Teriakan kedua terdengar kembali.

Garanggati menolehkan pandangan ke arah Nami, mengulang pertanyaan yang sama.

"Apa kau siap mati membela Wanawa dan kepentingan luhur seluruh wangsa?!"

Dada Nami bergemuruh mengiyakan, apalagi saat mengingat janji pemukiman Nistalit. Wanawa adalah sandaran Nistalit sekarang. Akan dilakukan apapun bagi Nistalit dan Wanawa, agar wangsa ketiga yang selalu terhina mendapatkan tempat yang layak.

Permintaan Garanggati yang kedua terdengar menggaung di telinga Nami.

"Apakah kau siap mati membela Panglima Milind banna Wanawa?"

Wajah Nisha dan Yami.

Wajah Vanantara.

Wajah Milind. Kavra. Dupa. Soma. Suta. Usha dan Aji.

"Prajurit Nami??" bentak Garanggati, setengah tak sabar memastikan.

Bergetar suara Nami ketika mengiyakan perintah kedua Garanggati.

Sejak sumpah setia di hadapan Garanggati diucapkan, waktu demi waktu terasa demikian cepat. Nami dan Sindu berlatih berdua di bilik khusus Garanggati. Bila tak berlatih, Nami dan Garanggati menempa sebuah senjata khusus yang akan mereka pergunakan dalam pertempuran puncak dengan Mandhakarma yang diperkirakan pecah tak lama lagi.

Walau terbatuk-batuk, Garanggati mengupayakan membentuk sebuah senjata yang tampak sedikit berbeda dengan bilah keris ataupun pedang. Mata senjata lebih panjang, dengan pegangan yang lebih panjang pula. Ukiran di mata senjata jauh lebih rumit dan indah. Berbeda dengan senjata pada umumnya, ukiran pada mata bilah senjata dibuat meliuk. Berkelok. Bentuk dedaunan dan tunas bunga, juga simbol-simbol ranting yang bagai gelombang halus menari.

Saat senja menjelang, mereka bertiga berkumpul untuk menyesap air madu. Bertukar cerita sembari sesekali melepas canda. Jika tak mendampingi Nami dan Sindu berlatih, Garanggati memilih untuk bersemedi. Itulah waktu padat Nami saat ini : berpuasa, berlatih, menempa senjata khusus, bersemedi sebagai pengganti istirahat. Bila terlalu lelah, ia akan bersandar sejenak.

❄️💫❄️

Vanantara termenung di salah satu lorong rahasia, terpisah dari putri-putrinya.

Ia menunggu satu sosok datang, sembari melangkah gelisah ke sana ke mari. Jawar yang berada di sisinya hanya terdiam, tak dapat menahan atau mengucapkan apapun. Ketika yang dinanti tiba, Jawar tahu diri untuk angkat kaki dan membiarkan kedua sosok di depannya berbincang.

Vanantara memeluk erat, hingga Milind merasa seolah salam perpisahan diucapkan. Kabut tampak nyata menggelayut di mata sang raja. Seperti biasa, Vanantara menuangkan minuman yang ditolak halus oleh Milind.

"Kau berpuasa, Milind?"

Milind tersenyum samar, mengangguk.

"Kau salah satu prajurit yang rajin berpuasa sejak masih menjadi perwira rendah," puji Vanantara.

Perbincangan bermula pada keadaan sekitar kesehatan para putri dan Vanantara, lalu menjurus pada kesiapan Wanawa.

"Bagaimana prajurit kita?"

"Siap siaga, Yang Mulia. Seluruh hulubalang mengasah kemampuan. Prajurit dari berbagai penjuru pun tak lengah. Hamba terus membangun kerja sama dengan sekutu kita : Jaladri. Juga dengan Pasyu Aswa, Pasyu Mina dan Pasyu Paksi."

"Paksi berpihak pada kita?"

"Ya."

"Gangika dan Giriya?"

"Mereka lebih memihak Vasuki."

"Seluruhnya? Atau sebagian?"

Milind terdiam. Wajah Kavra melintas, namun tak ingin diungkapnya. Sebagian golongan Vasuki tak menyetujui keputusan-keputusan Tala walau bukan waktu tepat untuk menyampaikan semua pada Vanantara.

"Para panglima mereka taat pada perintah raja masing-masing," tegas Milind menyimpulkan.

Vanantara mengangguk sejenak.

Ia menatap wajah Milind lama sebelum berucap, "Aku akan menitipkan Yami dan Nisha padamu, Milind."

"Nyawa hamba adalah taruhan bagi keselamatan putri berdua," Milind berjanji.

"Dan aku akan berwasiat padamu," lanjut Vanantara.

Bagai tersengat kalajengking, Milind mendengarnya.

"Wasiat, Yang Mulia?"

"Jika aku mati," Vanantara berucap, "ya, jika aku mati maka harus ada yang menjadi raja. Aku tak bisa menyerahkan pada Yami."

"Putri Yami sangat pantas menjadi ratu," tegas Milind.

"Ia tak akan sanggup sendirian. aku belum meminta kesediaan Rakash menjadi suaminya."

Punggung Milind menegang. Dari semua ksatria dan bangsawan yang ada di wangsa Akasha dan Pasyu, mengapa harus Rakash?

"Hamba akan mendampingi Putri Yami, Yang Mulia. Hamba bersedia menjadi panglimanya, seperti hamba menjadi panglima Paduka saat ini," Milind berucap tegas.

Vanantara menepuk bahu Milind.

"Berpikirlah untuk mencari panglima bagimu," Vanantara berkata lembut, "jika kau menjadi raja dan mendampingi Nisha memimpin negeri ini."

Bagai petir menyambar.

Sama sekali tak pernah bermimpi apalagi mendambakan kedudukan seorang raja. Bila ia memiliki perasan kasih kepada Yami dan Nisha, semata-mata karena hubungan mereka demikian dekat.

"Wasiatku, Milind, bersiaplah menjadi raja bila aku wafat dalam pertempuran kali ini."

Milind bergerak mendekat, hingga Vanantara memandangnya sembari berkerut kening.

"Apakah hamba boleh membuat wasiat juga?" Milind bertanya pelan.

Alis Vanantara naik.

"Bila ternyata hamba yang tewas dalam pertempuran kali ini," tenang suara Milind saat mengucapkannya yang membuat raja terpana.

Mereka terdiam cukup lama.

Hanya angin lorong rahasia.

Desau udara yang merambat masuk.

Titik-titik air yang mengalir dari sungai bawah tanah.

Berapa lama mereka menjadi raja dan panglima? Ratusan tahun? Ribuan tahun? Bagaimana pertemuan pertama kali? Apa kalimat yang pertama diucapkan? Hal apa yang membangkitkan kekaguman?

Vanantara berdiri di hadapan Milind, meraih kepalanya, mendekatkan ke wajahnya. Dahi mereka hampir menyatu.

"Apakah kau percaya padaku, Milind?"

Milind menarik napas pendek, "Sepenuh hati, Paduka."

"Ada yang ingin kusampaikan padamu, meski mungkin berita ini menghentak kita semua."

Milind mencoba tenang mendengar, ketika Vanantara melepaskan pegangan.

Semua yang disampaikan sang raja, disimak baik-baik. Sebagai seorang panglima, tak ada berita apapun yang dapat menggempur keyakinannya, kecuali setelah dipertimbangkan masak-masak.

Didengarnya harapan Vanantara.

Rencananya ke depan. Lalu kecurigaan-kecurigaannya. Rahasia-rahasianya. Bagai kapak membelah jantung, bagaimanapun, ada masa kenyataan tak sesuai harapan.

"Aku menduga Garanggati menyembunyikan sesuatu, Milind. Kudapatkan berita rahasia dari seorang teliksandi terpercaya. Ada pertemuan para pandhita di belakang punggungku. Ada pelatihan prajurit khusus yang aku tak tahu. Bila, perintah seorang raja tak didengar, apakah yang telah disiapkan oleh prajurit di belakang punggungnya?"

Milind menelan ludah.

Ia terlalu memusatkan perhatian pada prajurit dan keamanan Wanawa. Sama sekali tak melihat ke dalam, bahwa rongga pengkhianatan kemungkinan menjalar. Tapi siapa yang dicurigai Vanantara? Garanggati! Sungguh tak masuk akal. Ia panglima dan pandhita tumpuan Wanawa!

"Kau percaya padaku, Milind?"

Vanantara kembali meraih kepala Milind, mendekatkannya hingga dahi mereka nyaris bersentuhan.

Milind tak mampu menjawab.

"Apakah sekarang kau tak percaya padaku?"

Kali ini, dahi mereka bersentuhan hingga dapat dirasakan uap panas hembusan napas Vanantara di muka Milind.

Sejenak mata Milind terpejam sebelum berucap sangat berat hati, "Apa yang harus hamba lakukan?"

Vanantara melepaskan pegangannya, menepuk pundak Milind.

"Kunjungilah Garanggati secara mendadak. Ia pasti tengah melakukan sesuatu."

Milind mencoba menyakinkan diri bahwa ia berada di pihak yang benar.

"Kau pasti tak dapat mengetuk pintu dan ia akan membukakannya. Bilik Garanggati berlapis mantra rahasia. Lawan dengan mantramu yang jauh lebih kuat. Kau paham, Milind?"

Milind mengangguk samar.

Pertemuan berakhir dengan seribu rasa berkecamuk. Ketika Milind melangkahkan kaki usai berpamitan, suara Vanantara terdengar kembali. Sebuah permintaan. Sebuah perintah.

"Siapapun yang bersama Garanggati, Milind, mereka adalah pengkhianat. Kau tahu, apa hukuman bagi pengkhianat?"

❄️💫❄️