webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Pusaka Para Wangsa (8) : Syarat Tala | Pendapat Kavra

Hanya bersama Calya seperti ini, mengingatkan Tala pada masa-masa mudanya ketika ia menaruh hati pada gadis cemerlang bangsawan Aswa. Betapa miripnya mereka. Bagai bayangan dalam cermin, pinang dibelah dua. Tapi tentu, tetap ada yang berbeda. Laira cerdas dan berani, Calya lebih penggugup. Mungkin ia terlalu muda untuk menjadi seorang utusan. Atau sebab mewarisi ketidakmampuan sang ayah? Sinis pemikiran Tala.

Calya menyampaikan salam Raja Shunka. Anehnya, hanya berdua di wilayah singgasana Tala, tak membuatnya segugup tadi ketika berada di bawah bayang tatapan Gayi dan Nagen berserta kedua pangeran utama : Shaka dan Ananta. Boleh jadi, ia mulai dapat menenangkan hati dan terbiasa dengan ketakutan yang menyiksa. Angin nan lembut mempermainkan jubah hitam Tala dan pakaian putih sehalus sutra yang dikenakan Calya. Kain yang beterbangan bagai sayap-sayap kuda Sembrani di punggungnya.

"Apa yang Aswa inginkan dari raja rendah sepertiku?" Tala berkata, sembari duduk di atas singgasana. Ia biarkan Calya hanya berdiri di hadapannya.

"Mantra pembuka Gerbang Ambara," Calya berusaha sekeras mungkin, dengan nada sopan. "Hanya Raja Tala hal Vasuki yang dapat memberikannya."

"Mengapa ayahmu berpikir aku mau memberikannya?" Tala menelisik gadis di hadapannya.

"Atas nama persekutuan Aswa dan Vasuki," Calya menjawab penuh hormat.

"Kalau aku tak mau?" Tala memancing. Pandangannya lepas ke langit hitam : apa tadi kata Calya? Persekutuan? Apakah Shunka yang menanamkannya?

Calya termenung sejenak. Memejamkan mata, menarik napas. Duduk bersimpuh hingga tubuhnya semakin mengecil di hadapan raja.

"Hamba…hamba membutuhkan mantra tersebut untuk…melengkapi pusaka," desis Calya. "Demi keselamatan Ratu Laira."

Alis Tala naik sedikit. Mendung membayang di kilatan matanya. Ia turun dari singgasana, mendekati Calya. Kepala sang putri masih menunduk, warna keperakan rambutnya memantulkan kilau saat lentera lampu istana mencapainya. Tangan Tala terangkat, tanpa sadar ingin menyentuhnya, namun ditahan sekuat tenaga. Dia bukan sosok yang pernah merebut hatinya. Hanya sebuah cermin dan sosok yang berbeda. Bagaimana mungkin sesuatu yang dianggap telah lama mati, dapat terbit lagi seperti ini?

"Hamba memohon pada Paduka Raja Tala Yang Agung," Calya memohon, mengatupkan kedua belah tangan di depan dada.

Tala menarik napas panjang, menenangkan dirinya yang gelisah dan dipenuhi tamparan prasangka bertubi. Ia tersenyum kemudian, merasakan bintang keberuntungan semakin berpihak padanya.

"Putri Calya, hatiku tidak dipenuhi kejahatan," ujarnya meyakinkan. "Aku akan berikan mantra Vasuki kepadamu –atau kepada sekutu Aswa – tetapi tentu semua membutuhkan syarat."

Calya mendongakkan kepala dengan cepat, menengadah. Bersirobok pandang dengan Tala yang tengah memperhatikannya dengan seksama.

Calya memohon penuh rasa ingin tahu, "Hamba akan berjuang keras memenuhinya."

"Kau sanggup?" Tala bertanya.

Calya mengangguk tegas, mengingatkan Tala pada sosok Laira yang pemberani. Membuatnya semakin menyumpahi Shunka yang tak pernah dianggapnya sepadan sebagai pendamping Laira, apalagi memimpin Aswa!

"Mari kita membuat perjanjian, Putri Calya halla Aswa," Tala berkata lembut, penuh siasat.

❄️💫❄️

Dari atas tandunya, Panglima Kavra tersenyum puas ke arah Hulubalang Sin.

Selepas pelatihan selama beberapa waktu di Girimba, kewajiban mengharuskan Nistalit kembali ke Gangika. Nami dan Dupa melatih para budak terpilih.

Berlari menaiki tempat tinggi, menuruni lembah, melempar senjata, melepaskan tendangan, membuat kuda-kuda. Tenaga kuat mereka sangat bermanfaat. Keinginan untuk meremukkan lawan sebagai pelampiasan rasa tertekan dan teraniaya selama puluhan hingga ratusan tahun, membantu sikap menyerang menjadi lebih ganas dan liar. Sebuah senjata yang diberikan, memberikan sedikit rasa percaya diri yang berguna untuk mengenyahkan musuh.

Latihan keras di Girimba dibawah asuhan Hulubalang Janur dan Hulubalang Sin sangat membekas. Selama ini, Nami berpikir bahwa kehidupan Akasha hanya dipenuhi pesta pora dan nyanyian-nyanyian. Hari-hari mereka pun dipenuhi kerja keras, pembelajaran, hukuman bila perlu. Bahkan, Janur bercerita bagaimana Milind dapat berlaku kejam pada para prajuritnya, sebagaimana Kavra pun demikian terhadap Sin. Terlebih, pada para hulubalang yang menjadi pemimpin prajurit. Mereka harus berlatih lebih keras, belajar lebih banyak, menahan diri lebih panjang dalam puasa-puasa. Bila prajurit biasa hanya berpuasa sehari untuk mendapatkan kekuatan batin, seorang hulubalang harus berpuasa lebih lama, setidaknya sepekan. Semakin tinggi tingkatan, semakin berat latihan yang dilakukan.

Tak terbayangkan seperti apa latihan yang harus dijalani para panglima.

Dalam pelatihan awal; Nistalit pemuda dan lelaki dewasa dipisahkan dari perempuan, anak-anak dan mereka yang sudah mulai lanjut usia. Namun Sin memiliki saran yang mulai dipertimbangankan Kavra.

"Tidak semua perempuan lemah," Sin memberi masukan. "Nistalit perempuan bernama Nami itu contohnya, Panglima. Dia kuat dan garang ketika bertarung. Hamba rasa, perempuan yang kuat perlu dipilih juga."

Kavra mengangguk setuju.

"Ya, kau benar," ucapnya. "Tapi kita juga harus memikirkan permintaan Ratu Mihika. Bendungan Gangika hampir selesai. Ratu meminta para Nistalit membangun bilik-bilik bagi tempat peristirahan ratu dan para putri bangsawan di sekeliling bendungan."

"Tapi…sebagian Nistalit berlatih keras untuk menjadi prajurit," Sin tampak bimbang.

"Mereka bukan prajurit!" sentak Kavra. "Mereka hanya budak! Kalau sekarang berlatih senjata, bukan berarti mereka maju bertempur. Hanya tenaga cadangan yang dibutuhkan jika Mandhakarma menyerang lagi. Jangan biarkan Nistalit memiliki keangkuhan yang membuat mereka tampak bodoh dengan wajah jelek yang bangga memanggul senjata!"

Sin terdiam.

"Justru," Kavra menegaskan, "Nistalit yang bertubuh kuat dan sanggup berlatih terus, harus diberikan beban lebih. Selain berlatih senjata, mereka juga harus membangun bilik-bilik permintaan Ratu Mihika segera."

Sin terlihat enggan saat mengangguk. Entah mengapa, setelah bergaul dengan Janur di Girimba, melatih Nistalit dengan sekian banyak kegagalan dan kesempatan; ada yang mulai terangkai di hatinya. Nistalit tidak pantas direndahkan seperti itu, tapi ia tak dapat menyuarakannya. Bukan itu saja yang dipikirkan Sin. Bayangan sosok tewas berpakaian hitam yang menyerupai dengan dirinya, membuatnya resah sangat dari waktu ke waktu. Kebetulan saja, ataukah ada jawaban yang lain? Hanya Nistalit yang dapat membunuhnya. Apakah itu pertanda Nistalit dapat dijadikan pelindung dan pelayan setia, atau sebetulnya mereka harus mulai waspada dengan jatidiri Nistalit yang sebenarnya?

"Sin, jangan terlalu banyak berpikir!" tegur Kavra. "Aku masih belum sembuh betul dari pertarungan Mandhakarma, lalu pembukaan Kawah Gambiralaya membuatku kehabisan tenaga. Mantra kesaktianku tentu kuucapkan, tapi tak cukup hanya dengan itu. Mantra Raja Nadisu dan Ratu Mihika sangat membantu, tapi aku jelas tetap butuh waktu memulihkan diri. Aku butuh dukunganmu. Kerjakan saja apa yang kuminta!"

"Siap, Panglima!"

"Kulihat, kau mulai menaruh simpati pada para Nistalit?" selidik Kavra curiga.

Sin terbelalak, menegakkan tubuh. Berusaha menolak anggapan itu.

"Jangan terpengaruh permukaan, Sin," Kavra mengingatkan. "Akasha Gangika adalah wangsa yang sangat teliti dan tajam mengawasi. Permukaan sungai yang tenang bukan berarti menghapuskan bahaya di bawahnya. Bahkan, seringkali, air tak beriak menyimpan ancaman yang sesungguhnya."

Sin terdiam, mencoba memahami.

"Kau tahu Vasuki naga," Kavra menahan napas. "Sesungguhnya, mereka bukan kaum yang paling utama. Kita meremehkannya. Sekali kesempatan diberikan, mereka meminta lebih dari hak yang seharusnya!"

Sin menatap Kavra, sang panglima menyimpan rasa penolakan .

"Raja Nadisu sesungguhnya tak terlalu menyetujui Vasuki. Tapi apa mau dikata? Mereka sedang memegang kekuasaan dan pengetahuan saat ini," Kavra tampak tak suka.

"Wanawa…?" bisik Sin.

"Wanawa terlalu halus dan lemah! Hanya pemimpin garang yang bisa menaklukan dunia!" desis Kavra. "Jangan biarkan sembarang pihak memimpinmu dan meraih belas kasihmu. Kau paham?"

Sin mengerjapkan mata, sedikit kehilangan perhatian.

"Sin! Kau paham?" Kavra tampak kesal.

Sin menelan ludah.

"Jangan biarkan Nistalit mengambil belas kasihmu, apalagi mampu memimpinmu dalam mengambil keputusan. Kau ingin mereka jadi seperti Vasuki?!'

Sin menggeleng. Kavra mengangguk tegas.

"Setelah ini kita harus kembali ke Girimba. Seluruh panglima dan prajurit tinggi harus membahas langkah berikut!" ucap Kavra.

"Dan…para Nistalit ini?" tanya Sin.

"Biarkan dilatih hulubalang lain! Kau harus mendampingiku menuju Girimba," sungut Kavra kesal.

❄️💫❄️