webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Perayaan Gangika (8) : Sobekan Kain

Nami membalut pisau dengan sobekan hijau jubah milik Milind.

Ia menerjang, menyelamatkan yang tersisa dari Nistalit, menikam bagian dada muka-buruk bercakar. Pisau mantra milik hulubalang, yang biasa digunakan sebagai senjata cadangan selain pedang, digunakan Sin untuk menghalau musuh.

Hanya pisau Nami dan pisau mantra Sin yang berhasil mengenyahkan musuh.

Sekaligus memperlihatkan wujud asli.

"Mereka mundur!" Soma berteriak lirih.

"Biarkan saja!" Sin terengah.

Nami tertegun. Membiarkan mereka pergi? Tidak. Ia harus mencari tahu lebih banyak lagi siapa yang menyerang mereka. Tanpa perhitungan, gadis itu merebut pisau Sin dan menggunakannya untuk lebih banyak menyerang Nistalit bercakar yang perlahan mulai menghilang di balik pepohonan.

Pisau Sin dan pisau Nami berbalut sobekan jubah hijau, berhasil melukai dengan telak. Namun hanya yang berhasil tertancap di dada musuh, yang dapat membelah mereka ke wujud asli. Melihat dua pisau di tangan Nami, Nistalit bercakar yang masih tersisa tampak ketakutan. Menjauh. Berusaha menyelamatkan diri semampu mungkin, walau Nami tampaknya berusaha melumpuhkan bahkan menghabisi lawan sebanyak yang bisa dilakukan.

Tubuh prajurit Nistalit basah, bersimbah keringat dan darah. Darah yang berasal dari luka sendiri, terutama luka para musuh. Senyap. Tak ada erangan kemarahan. Tak ada teriakan kesakitan. Sin memberikan isyarat para prajurit untuk menutup mulut, tak merintih kesakitan dan segera membalut luka. Soma dan Dupa yang masih mampu bergerak, membebat luka teman-temannya, memapah mereka ke tempat yang lebih aman.

Sin merebut kembali pisaunya.

Menampar Nami hingga gadis itu nyaris terjengkang. Nami berlutut, menyembunyikan wajahnya di dada. Bingung antara marah dan merasa bahwa tindakannya benar.

"Aku yang menjadi pemimpin di sini, bukan kau, Nistalit!" mata Sin nyalang. Napasnya memburu. Ia mengkhawatirkan pertarungan ini akan menimbulkan keributan dan merusak suasana perayaan. Tapi tidak. Pesta pora, nyanyian, bola-bola cahaya tetap membahana dalam kegembiraan.

Melihat keadaan masih terkendali, amarah Sin mereda. Ia memerintahkan Nistalit mengumpulkan mayat di tepian hutan. Menjajarkannya. Mayat-mayat Nistalit yang telah rusak, membusuk, berdampingan dengan tubuh-tubuh Akasha Giriya. Entah bagaimana, Nami tak dapat menjelaskan. Tapi ucapan Sin tegas dan tanpa ampun.

"Jangan ada satupun yang memberitakan ini!"

Sin mengamati pasukan Nistalit yang berkurang seperempat. Sebagian terluka, setengahnya selamat. Ia mengamati Nami penuh selidik. Mereka kembali berdiri berbaris, dengan pakaian dipenuhi bercak darah dan sebagian robek terkena cakar.

"Kau hebat," Sin memuji. "Tapi kalau caramu seperti itu tadi, kau akan cepat mati dan kehebatanmu tinggal nama. Dalam pertempuran sebagai prajurit, mematuhi perintah itu adalah aturan utama. Bagaimana jika kau masuk jebakan lawan? Bagaimana jika kemarahanmu membahayakan temanmu yang lain?"

Nami berlutut, meminta maaf. Napasnya memburu. Pikirannya mencoba mengerti.

"Sekarang, cobalah taat pada perintahku," Sin berujar tegas. "Kau, kembalikan obor ke tempatnya semula!"

Nami mengangguk, berdiri tegak , mengangkut tiang obor tinggi dan berlari menuju ujung tepian Loh Dhamarga yang tenang.

❄️💫❄️

Kavra mengajak para panglima dan pangeran Vasuki untuk menaiki perahu keemasan. Milind, telah ikut bergabung kembali, menyamarkan pertikaiannya dengan Tala. Jubah Vanantara yang dikenakannya memberikan kehangatan dan kesembuhan; hingga ia dapat berdiri tegak kembali dan bergabung bersama rekan-rekannya.

Vanantara meminta Milind meninggalkannya bersama Tala, sebagai raja mereka akan bercakap-cakap lebih dalam. Walau Milind tak dapat sepenuhnya percaya pada Tala, mustahil membantah perintah Vanantara. Dalam benak Milind, Tala mungkin akan sedikit bertingkah tapi tak akan membuat perayaan Gangika benar-benar kacau. Melakukan hal bodoh akan membuatnya kehilangan dukungan dari sekutu. Meski bisa dipastikan Tala tengah melakukan suatu hal yang tidak terpuji.

"Aku pernah berjanji akan mengajak kalian menikmati Gangika," Kavra tersenyum. "Silakan, Para Panglima. Kita naik perahuku."

Kedua pangeran Vasuki, Shaka dan Ananta naik dahulu, dengan Kavra sebagai pemandu. Rakash berada di sisi Kavra, menunjukkan betapa istimewa dirinya sebagai tamu. Guni, Bahar, dan Haga menyusul kemudian. Jagra dan Milind naik paling belakang.

Kavra berdiri tepat di depat dan di pusat. Memerintahkan para pendayung di buritan bawah untuk mendayung membelah Loh Dhamarga.

"Besok pagi, usai kalian beristirahat, kita akan nikmati keindahan Gangika kembali. Tapi malam ini, suasana pasti terasa berbeda," Kavra tersenyum. " Air pasang, purnama penuh. Aku berterima kasih sekali atas kehadiran kalian."

Kemeriahan.

Keindahan.

Semarak pesta.

Rakyat Gangika yang menikmati suguhan perayaan.

Pergantian penjaga wangsa memang dinanti oleh sebagian besar rakyat dan bangsawan untuk bersenang-senang. Kerajaan yang mendapatkan giliran jaga dan menggelar perjamuan, akan menyiapkan pesta istimewa. Gelaran kali ini tentu sangat dinantikan, mengingat perayaan bukan hanya sekedar pesta, namun juga peresmian bendungan sekaligus benteng Gangika. Istana dan peristirahatan ratu yang baru juga turut diperkenalkan; tak lupa, berita perjodohan Kavra dan Padmani.

"Kulihat, Putri Padmani bergabung bersama Putri Calya dan Putri Yami," Jagra memberitakan. "Senang melihat mereka bersama-sama. Bagai melihat bunga merekah mekar di tangkainya yang kokoh."

Kavra tersenyum simpul menatap Jagra.

"Aku berharap, suatu saat putri kami akan mendapatkan jodoh sepertimu, Panglima Kavra," Jagra berucap.

"Putri Calya sangat istimewa," Kavra memuji tulus. "Keberaniannya menjadi duta Aswa untuk menemui Raja Tala menunjukkan kedudukannya. Aku yakin, ia akan mendapatkan jodoh yang sempurna."

Shaka dan Ananta tampak tegang mendengarnya, walau Jagra sama sekali tak punya maksud apapun.

❄️💫❄️

Perahu Kavra berlayar damai, menjauhi dermaga perayaan Gangika. Menyusuri aliran sungai yang pasang dan tenang. Di kanan kiri prajurit berjaga, begitupun rakyat banyak lalu lalang menikmati suasana. Hingga semakin jauh, berada di sebuah tikungan ujung, tempat sebuah pilar obor tercabut dan sedang dikembalikan pasaknya.

Di seberang perahu, tampak Nami sedang memasang pilar obor.

Ia berlutut dengan satu kaki. Membersihkan kapak di rerumputan, memutar-mutarkan, menyelipkan di pinggang. Pisau kecil dikembalikan di sisi kapak. Sebilah pedang panjang diasahnya, pakaian luar yang kasar dan koyak menjadi lap pembersih.

Perahu para panglima berlayar di depannya.

Dalam curahan cahaya bulan dan obor terang, keadaan Nami tampak berantakan. Pakaiannya robek di beberapa tempat diikuti luka cabik di beberapa bagian, terlihat bercak-bercak darah tumpah bagai hiasan bunga-bunga di sekujur tubuh. Satu luka di lengan dekat pergelangan, terbebat kain.

Kavra menatap tajam ke arahnya, Nami mengangguk dan membungkuk hormat kepada panglima atasannya. Tanpa sadar, matanya menatap ke arah Rakash yang berdiri di sisi Kavra. Bersamaan Nami tengah membersihkan bilah pedang, dan mengembalikannya hati-hati ke sarung di pinggang sebelah kanan.

"Penjahat kecil!" Rakash mengumpat menatap Nami. "Kau menantangku?!"

Kavra mendengar umpatan di sebelahnya, merasa heran dan bertanya-tanya, mengapa Rakash harus semurka itu.

Nami baru akan berdiri, ketika seseorang menepuk pundaknya.

"Nami," Dupa memanggil.

"Ya?"

"Hulubalang Sin memerintahkanmu bersegera kembali."

Nami ragu.

Ia ingin memberitahukan kepada Kavra agar memutar balik perahu. Setelah apa yang terjadi di tepi hutan, sepertinya tak baik menyusuri sungai malam hari beserta para panglima di atasnya. Tapi ucapan Sin terngiang-ngiang, bahwa ia harus belajar mematuhi perintah.

Nami bimbang.

Menarik napas.

Matanya tertuju lurus ke arah Kavra. Ingin memperingatkan agar waspada, namun tak berani menyampaikan. Kavra pun tampak tegang menatapnya.

"Nami! Cepat!" Dupa menggamit lengannya.

Pandangan Nami beralih ke sosok di sisi lain Kavra.

Milind tengah menatapnya, penuh selidik dan tanda tanya.

Nami menggenggam hulu pedang dengan kedua belah tangan, tanpa sengaja memperlihatkan luka bebat di lengannya. Ia membuang napas pendek, memutuskan harus mentaati Sin. Gadis itu membalikkan badan, mengikuti Dupa. Dua langkah, ia terhenti. Memejamkan mata. Wajah Milind dan Kavra terbayang. Apakah ia akan membiarkan mereka berdua dalam bahaya?

Nami membalikkan badan.

Melangkah cepat ke arah pilar obor.

Kavra dan Milind masih menatapnya.

Nami memberikan isyarat : lebih baik perahu berbalik kembali ke dermaga.

❄️💫❄️