webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Perayaan Gangika (6) : Nistalit Bercakar

"Soma! Kau lihat?" bisik Nami curiga.

Bayangan cepat berkelebat. Di antara hirup pikuk pesta perayaan Gangika, pepohonan rimbun sekitar Loh Dhamarga tampak menyimpan rahasia.

"Aku tidak melihat apapun!"

Nami menajamkan mata. Firasatnya berteriak tajam, sesuatu yang tak menyenangkan mengintai mereka.

"Soma! Kau dengar?" Nami kembali berbisik.

Soma menajamkan pendengaran, tapi menggeleng kemudian.

Suara tawa, musik, nyanyian menenggelamkan percakapan lirih mereka. Soma bahkan terpukau melihat keindahaan perayaan. Kecantikan para putri bangsawan dan pakaian megah para pangeran. Perahu-perahu layar yang beriringan, terutama perahu keemasan Kavra dan Padmani.

Nami kecewa melihat tanggapan Soma.

Gadis itu menajamkan penciuman. Aroma asing memenuhi udara malam, sesuatu yang berbau menyengat. Anyir. Amis. Terhirup samar-samar, bau busuk yang mengganggu itu tidak lazim berada di sekitar Gangika selama ini.

Hulubalang Sin, yang belum pernah mengalami serangan yang dirasakan Nami dan Dupa di Girimba pun, menolak kekhawatitan Nami.

"Nami! Jangan buat keributan! Kita hanya diminta berjaga-jaga!" bisiknya tegas.

Nami membuang napas pendek.

"Hulubalang Sin! Izinkan kami lebih dalam memasuki hutan di seberang," pinta Nami.

"Kau cari masalah," gerutu Soma, yang ingin menikmati suasana.

"Kalau semua aman, kupastikan kau akan bersenang-senang," sindir Nami.

Dupa dan beberapa Nistalit bergabung bersama Nami.

"Kau merasakannya, Dupa?" Nami berbisik.

Dupa menajamkan mata.

"Aku sungguh ingin menolaknya," Dupa berkata jujur. "Mataku tak setajam milikmu, Nami. Tapi bulu kudukku berdiri."

Nami menghampiri Sin. Meminta izin kembali.

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Hanya ingin memastikan keamanan Gangika. Percayalah, hamba mengenal tepian Gangika hingga ke bukit bebatuan. Hutan di sepanjang tepian sungai pun biasa kami masuki. Hanya saja, kami tak pernah melakukannya di malam hari," Nami berbisik menjelaskan.

Walau menggerutu, Sin pada akhirnya meluluskan.

"Tahan teriakanmu agar tak menjadi kehebohan," Sin berujar pelan. Sebagai hulubalang, ia akhirnya mengikuti kehendak Nami.

Obor-obor di tepian Loh Dhamarga menyala terang.

Jalanan menuju hutan masih dapat dinaungi cahaya, walau semakin redup di tengah kerimbunan hutan. Nami menajamkan seluruh indera tubuhnya. Hulubalang Sin dan Soma tampak meremehkan kecurigaan Nami.

❄️💫❄️

Suatu tangan panjang yang lentur dan terjulur menarik cepat tubuh Sin. Dalam wujud kasar, Akasha menyerupai Nistalit yang memiliki raga dan bayangan. Dalam wujud Akasha lembut, Sin dapat bergerak bagai angin yang mengandung kekuatan dan kecepatan. Sayangnya, tubuh Akasha kasar Sin membuatnya begerak lebih lambat

Gerakan yang merengkuh Sin penuh dorongan kebengisan tanpa ampun.

Teriakan tertahan Sin mengejutkan.

Ia sengaja tak berteriak keras, agar tak menimbulkan kegaduhan. Bagaimana pun, Kavra berpesan agar ia menjaga keamanan dan ketentraman perayaan sebaik mungkin. Tubuh Sin terseret masuk sementara tangannya mencoba mencari pegangan di tanah.

"Nami!" teriak Dupa pelan.

Nami melompat, berlari mengejar Sin. Menarik kakinya kuat, sembari melemparkan pisau ke arah lawan. Terdengar erangan tertahan. Cepat Nami menarik pedang dari pinggangnya, menebas lawan yang tengah mencengkram leher Sin.

Sin terlepas, terengah. Lehernya selamat, namun sebuah luka menganga di lengannya. Cepat Nami merobek sabuk pelindung pinggangnya, membebatkan ke lengan Sin.

Arrghh.

Soma berteriak kecil, mendapatkan serangan cepat.

Bahunya terluka. Dupa menyambarnya, menarik pinggangnya, sembari melemparkan tombak pendek. Ia meloloskan pedang dan mengarahkan serangan ke leher lawan.

Sin menggeram. Lengannya terluka.

Dua tubuh penyerangnya telah tercabik. Tapi mereka berdiri lagi, dengan mata nyalang.

"Nistalit!" teriak Sin pelan. "Berpencar! Tahan serangan sekuat mungkin. Jangan biarkan mereka mencapai tempat perayaan."

Nami berpikir keras cara mengalahkan tanpa menimbulkan keributan.

"Mereka ini apaaa?!" Sin menggeram.

Nami berdiri tegak di sisinya, memasang kuda-kuda.

"Mereka Nistalit, Hulubalang," bisik Nami.

"Nistalit??!" Sin meragukan.

"Ya," Nami berbisik. "Mereka seperti kami, tapi memiliki kekuatan dan senjata seperti Vasuki."

"Jangan sembarangan bicara!" Sin menyumpahi. Menuduh Vasuki yang menjadi sekutu Gangika sungguh keterlaluan.

Dua orang prajurit Nistalit berteriak lirih. Nami berusaha mengejar penyerangnya, berhati-hati terhadap serangan cakar, menebas tangan-tangan mereka dengan pedang.

"Dupa! Ambillah satu obor di tepian sungai! Bawa pula kapak-kapak kalian!"

Nami mencoba mengikuti firasatnya sembari menebas serangan-serangan yang mematikan.

Satu demi satu Nistalit berhasil ditarik masuk ke hutan.

Clap.

Clap.

Aaarrghh.

Kematian menjemput cepat.

Soma, membebat lukanya dan segera mengayunkan pedangnya dengan kuat. Tubuh lincah dan terlatihnya membuat Nistalit bercakar yang bergerak lambat namun kuat itu berjatuhan. Mereka bangkit lagi, seolah tak mengenal kata mati.

"Keparat!" Sin mengumpat.

Lengan-lengan musuh telah terbabat. Kakinya punya demikian. Namun mereka masih dapat bergerak ganas, apalagi cakar-cakar tajam dapat mencabik tubuh tanpa ampun.

Dupa berlari membawa obor, menancapkannya di jalan gerbang hutan. Hutan tepian Loh Dhamarga adalah jalur panjang yang akan menghubungkan wilayah Gangika hingga Girimba dan pada akhirnya sampai ke Giriya. Sosok-sosok Nistalit bercakar muncul, walau tak sebanyak prajurit Nistalit yang dipersiapkan Sin, mereka mampu menguasai pertarungan.

Nami mengerahkan kemampuan terbaiknya, mencoba menyelamatkan Nistalit yang terperangkap sembari melakukan perlawanan menghadapi musuh yang memiliki kekuatan aneh.

Kapak bertali Nami menebas tubuh, menyerang leher, melukai bagian bawah lawan. Tetap saja mereka mampu berdiri dan bertarung. Keringat mengucur deras di tubuh Nami.

Langit malam Gangika dipenuhi kilat-kilat cahaya, para penghibur kerajaan memantrai obor dan melesatkannya ke angkasa hingga membentuk kembang api yang menyala bagai payung raksasa.

❄️💫❄️

Mereka harus mampu mengalahkan lawan!

Jangan sampai keributan ini mengacaukan perayaan Gangika.

Satu Nistalit bercakar yang tampaknya paling kuat, mengincar Nami. Menatapnya buas. Menghajarnya tak kenal ampun. Nami melompat lincah, bertelekan pada batang kuat pohon. Naik di batang terdekat, melemparkan kapak bertali yang melukai bahu musuh. Kapak itu dilepaskan paksa, darah kehitaman menyembur. Menimbulkan bau amis tak kira-kira. Nami menariknya kembali, melemparkan ke arah punggung musuh yang bergerak lambat. Luka kembali menganga, menimbulkan bau busuk yang menyesakkan.

Nistalit itu, dengan wajah rusak separuh oleh cambukan Kuncup Bunga, menggeram marah. Memusatkan perhatian pada Nami, mengayunkan lengan bercakarnya membabi buta. Walau kekuatannya tak masuk akal, kemarahan membuat otak tumpul. Nami berhasil membuat satu tangannya hilang, dengan kaki yang terbabat berkali-kali. Ia terhuyung, namun dapat menangkap tubuh Nami.

Nami menjerit tertahan.

Cakar musuh melukai sedikit kakinya.

Tangannya mencengkram leher Nami dan mengangkatnya hingga kaki-kaki Nami bergelantungan. Napas sesak. Pisau di tangannya tak dapat mencapai jantung, hanya menancap di lengan atas. Gadis itu menatap Nistalit-cakar di hadapannya dengan nanar.

Wajah buruk. Mata kosong. Mulut bau. Kekuatan Akasha dan Pasyu. Siapa dia?

Kepala Nami pusing. Musuh pun sepertinya tengah mengamati korban di genggamannya dengan teliti. Tangan Nami merogoh kantung, mencari apapun yang bisa dijadikan senjata. Hanya sebuah kain lembut. Kain itu tertarik ke luar ketika Nistalit buruk-muka berusaha mencekik Nami.

Nami kesulitan bernapas. Tangannya menggapai-gapai.

Dupa, Soma dan Sin sedang bertarung dengan takdirnya sendiri.

Nami merasakan pandangannya kabur.

Hanya pisau yang menancap di lengan buruk-rupa yang terlihat. Ia mencoba mengambilnya, pisau penuh darah itu tentu licin. Antara sadar dan tidak, Nami membersihkan pisau itu dengan secarik kain, agar dapat lebih tajam melukai lawan. Usahanya tak sempurna. Cekikan yang menyakitkan membuat Nami tanpa sadar menancapkan pisau ke tubuh musuh, lengkap dengan kain yang masih terbalut.

Eiiiihhhhhgggh.

Musuh terhuyung, melepaskan Nami.

Terbatuk-batuk, Nami merangkak. Melihat buruk buka kehilangan keseimbangan. Pisau yang melukai sedikit di tubuhnya mengepulkan uap dingin. Nami menampar pipinya sendiri, mencoba cepat sadar. Ia berdiri, merangsak ke depan, cepat mendorong pisau masuk lebih dalam ke tubuh lawan.

Pisau berbalut secarik kain hijau itu menancap di bagian dada musuh. Uap kehitaman muncul, bau busuk dan dingin yang beku menguar. Nistalit muka-busuk itu terbatuk, mengerang panjang, lalu terkapar. Sebentuk sosok membelah dari dirinya.

Nami terkesiap.

"Hulubalang Sin!" teriaknya. "Apakah kau punya pisau bermantra Gangika?"

❄️💫❄️

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

lux_aeterna2022creators' thoughts