webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Perayaan Gangika (3) : Harapan Mustahil

Gosha memeluk Milind, menepuk-nepuk punggungnya agak lama. Seolah waktu dan jarak memisahkan berabad-abad.

"He, kau ini kenapa?" Milind tertawa.

Gosha tersenyum, menyimpan rahasia. Ia membawa dua sosok tegap dan mempesona bersamanya. Yang satu, telah dikenal baik oleh Milind.

"Panglima Muda Jagra, kau pasti sudah mengenal," Gosha memperkenalkan.

"Ya. Tak heran Aswa sangat ditakuti karena memiliki para petarung hebat," Milind memuji.

"Panglima Muda Saguna, pengganti Gundha," Gosha memperkenalkan. "Jagra dan Gundha akan memperkuat kita saat Mandhakarma menyerang lagi."

Milind menatap Gosha penuh selidik. Ia mengajak sahabatnya ke aula Kahayun, bilik tempatnya bekerja.

"Aku bangga kau cepat mencari pengganti Gundha," Milind berujar. "Aku percaya padamu."

"Jagra dan Saguna harus mengenalmu lebih baik. Mereka hebat dan dapat diandalkan," Gosha menjelaskan.

"Seperti aku mengandalkanmu," Milind menatap Gosha dalam. "Kau seperti menyembunyikan sesuatu."

Gosha mengalihkan pandangan.

Ia berjalan menuju jendela aula Kahayun, tempatnya dapat melihat bilik-bilik prajurit.

"Kau tahu, Milind?" Gosha menggumam. "Setiap aku berkunjung ke bilik kerja para panglima, aku melihat hamparan pemandangan indah. Hanya di bilikmu saja, aku melihat barak-barak prajurit dan ruang-ruang pelatihan. Kau tak pernah berhenti bekerja."

"Aku hanya disibukkan dengan Wanawa, paling jauh Akasha," Milind merendah. "Kau sibuk memikirkan seluruh wangsa."

Gosha merenung.

"Firasatku berkata, Mandhakarma adalah perang yang berlangsung sangat lama. Persekutuan wangsa akan terbelah, retak, bersatu kembali karena kepentingan. Lalu rusak lagi, dan kita harus berjuang untuk menyatukannya. Mencari alasan yang tepat untuk merekatkan," Gosha berpendapat.

"Ya," Milind mengiyakan.

Milind menuangkan minuman bagi Gosha. Hanya satu cawan. Gosha telah dapat menebak, mengapa Milind tak menemaninya minum hari ini.

"Apakah kau pernah bertanya-tanya, mengapa wangsa Pasyu, terutama Aswa menggunakan pola kepemimpinan seorang panglima dan memiliki dua panglima muda di bawahnya?" Gosha bertanya.

"Kalian ingin membuat lapis pertahanan yang lebih kuat," Milind menebak. "Kami lebih memperbanyak hulubalang. Mungkin suatu saat nanti, Wanawa akan mengikuti caramu. Memiliki panglima muda."

Gosha menyesap minumannya hingga tersisa sedikit.

"Panglima muda dipersiapkan untuk lebih cepat menggantikan kedudukan seorang panglima," Gosha berkata, melempar isyarat.

Milind menatapnya tajam, mencoba menangkap maksud lebih jelas.

"Itulah mengapa Pasyu, terlebih Aswa, memandang kedudukan panglima muda sangat penting. Bahkan, calon pengganti Jagra dan Saguna pun telah dipersiapkan andaikata salah satu dari mereka naik," Gosha melanjutkan. "Menjadi panglima."

Alis lebat Milind sedikit menyatu, tanda berusaha memahami.

"Aku mungkin tak selalu bisa bersamamu," Gosha akhirnya menyimpulkan maksud.

"Apa maksudmu?!"

"Jangan berpura-pura, Milind!" Gosha bersuara sedikit keras. Melunak kemudian, "Aku tak berusia ribuan tahun sepertimu. Usiaku akan lebih cepat berakhir. Dan Mandhakarma…mungkin akan memangkas usia lebih cepat."

Milind membuang pandangan, tak ingin mendengar lebih lanjut.

"Kau mungkin harus berjuang menyelamatkan wangsa dengan pengganti Raja Shunka, atau penggantiku, dan belum tentu semua sesuai kesepakatan kita hari ini," Gosha menekankan.

"Aku tak mau membicarakannya sekarang!" Milind menolak.

"Ya! Kau harus menyadarinya sekarang!"

"Tidak!" Milind bersikeras.

"Kau harus mulai bisa bekerja sama dengan Jagra dan Saguna. Atau mungkin bahkan…entah bagaimana caranya, kau harus mendekati Gangika dan Giriya."

Milind menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Milind, bila aku tak ada…," Gosha berkata pelan namun tegas.

"Gosha! Hentikan!"

"Kavra banna Gangika dan Haga hal Paksi…,"

"Gosha!" Milind memegang kedua lengannya. "Aku membutuhkanmu! Kau, adalah pilar bagiku. Kau, adalah payung untukku. Aku selalu mencari ketenangan dan kekuatan darimu!"

Gosha memandang lembut sahabatnya.

"Milind, panglima hebat kebanggaan wangsa!" Gosha meneguhkan. "Andai seluruh raja diminta memilih satu panglima, pilihan mereka akan tertuju padamu."

Milind melepaskan pegangan tangannya, berkata gusar, "Kau ini kenapa? Kupikir kau ke mari untuk membahas undangan perayaan Gangika!"

Gosha mengangguk, "Aku memang ingin membahasnya juga."

"Kalau begitu, kita bahas saja apa yang harus kita siapkan," Milind menukas marah. "Undangan berlaku bagi seorang raja, seorang ratu dan seorang panglima. Raja Vanantara dan Putri Yami hadir, aku pun demikian. Apakah Raja Shunka dan Putri Calya hadir? Kau?"

Gosha menarik napas panjang. Menatap Milind lurus.

"Raja Shunka dan Putri Calya hadir," Gosha berkata. "Mungkin, Jagra atau Saguna yang akan mewakiliku."

"Kau yang seharusnya hadir!" Milind berkata tegas. "Kehadiranmu adalah penghormatan besar bagi Gangika dan citra unggul bagi Aswa!"

Gosha menggeleng.

"Aku tak bisa, Milind," gumam Gosha. "Aku tak bisa."

"Kenapa?" Milind mencecarnya. Menarik napas panjang beberapa kali, "Kau masih merasa kurang sehat? Wanawa punya banyak tabib sakti. Aku akan meminta Haga dan Bahar untuk menyiapkan obat-obatan terbaik."

Gosha menggeleng, menatap Milind dengan hati berkecamuk, "Bukan itu, Milind."

"Lalu?" Milind menatapnya marah dan kecewa.

Gosha menarik napas panjang, keraguan dan kebimbangan terpahat jelas di raut wajahnya.

Milind menatap sahabatnya, berusaha sabar menunggu penjelasan paling masuk akal. Bibir Gosha tampak sulit berkata-kata, walau kalimat yang rumit ke luar juga pada akhirnya.

"Kubah pelindung Aswa, yang menaungi Ratu Laira…," Gosha berbisik pelan. "Mulai redup."

Milind membuka mulut, membuang napas berat. Tak percaya.

"Kubah itu…," suara Gosha begitu lirih, walau begitu tajam menusuk kesadaran. "Kubah itu mulai membusuk, Milind."

Mata Milind terbelalak, semakin tak ingin percaya.

"Aku merasa," Gosha berujar, "…walau Mandhakarma tak bergerak, racunnya menyebar. Aswa adalah yang paling cepat terkena dampaknya."

"Gosha," Milind menelan ludah, "…kau akan memberikan usia sisamu untuk melindungi kubah Ratu Laira?"

Gosha tak menjawab, tertawa dalam hening. Mereka bertatapan dalam kesedihan yang tak dapat dijabarkan.

Kapan pertama kali ia bertemu Milind? Ahya, dalam perjamuan pergantian penjagaan wangsa yang berlangsung tiap empat purnama sekali. Entah tahun ke berapa dari usia wangsa. Milind masih prajurit saat itu, prajurit yang dibanggakan panglima Garanggati. Gosha merasa dapat mempercayainya sepenuh hati, sejak pertama kali bertemu. Ada hal-hal yang tak dapat dilukiskan kata-kata ketika hati yang bersinar memberitakannya.

"Aku…aku belum berhasil mendapatkan mantra pembuka Gerbang Ambara," Milind tampak kalut. Belum pernah Gosha melihatnya seperti itu. "Apakah menyerahkan Nistalit kepada Raja Tala akan membantu Aswa?"

"Omong kosong!" Gosha menolak dengan geram. "Jangan pernah serahkan Nami pada jahannam Tala. Dia tak akan pernah memenuhi janji. Yang dia inginkan adalah kita tunduk para permainannya."

Milind menatap Gosha dengan rasa kekosongan yang dalam. Andai Gerbang Ambara dibuka, pusaka dan sarungnya akan sempurna. Ratu Laira selamat, Gosha tak perlu memberikan sisa usianya. Betapa menyakitkan, kesaktian Akasha tak mampu mengatasi keadaan tersulit.

"Perayaan Gangika ini," gumam Milind, "adalah bagian dari sebuah peristiwa yang lebih besar. Mengapa firasatku berkata demikian?"

"Ya. Aku juga berpikir begitu. Itu sebabnya, aku tak ingin mengosongkan Aswa. Biarlah Jagra atau Saguna yang mewakili, dan aku menjaga penuh benteng pertahanan Aswa. Siapkan Janur dan Jawar untuk menjaga di Girimba dan Giriwana."

Hari itu terasa demikian berat.

Awan putih bagai gunungan bebatuan kelabu yang siap dilontarkan kapanpun. Udara sesak oleh kebusukan mimpi dan cita-cita penuh tungku berapi melebur menyatu. Segera, setelah kesadaran akan kemungkinan paling buruk, Milind dan Gosha bercakap-cakap kemudian. Mencoba menyusun beragam rencana di perayaan Gangika. Mengapa Raja Tala berkenan hadir bersama semua raja yang tengah berseberangan dengannya.

Diam-diam, Milind mencuri pandang saat Gosha memberikan pendapat. Saat Gosha menggambar rencana pertahanan. Saat Gosha terdiam, tersenyum, berbicara.

Rambut peraknya yang halus.

Matanya yang berbinar dan penuh semangat.

Wajah tampannya yang menawan. Sikap hangatnya yang penuh persahabatan.

Saat Jagra dan Saguna bergabung bersama memberikan pendapat, Milind menyadari, Gosha mempersiapkan pengganti terbaik. Jagra dan Saguna terlihat demikian cemerlang menguasai apa yang ada di hadapan. Walau demikian, Milind tak dapat membayangkan salah satu dari mereka menggantikan Gosha.

Milind memeluknya erat, ketika Gosha berpamitan.

"He, kau ini kenapa?" Gosha menggunakan kalimat Milind di awal pertemuan mereka.

"Hiduplah seribu tahun lagi," Milind berbisik.

Gosha tersenyum, membalas pelukannya.

Mereka berdua sama-sama menyadari, itulah harapan paling mustahil.

❄️💫❄️

I wrote this with tears

Love~

lux_aeterna2022creators' thoughts