webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Pedang Mahatarundara

Berpeluh, terengah.

Nami dan Dupa berpacu dengan waktu. Keduanya melapisi tangan dengan kain, telapak tangan telah tergores dan terkelupas di banyak tempat. Nistalit yang tersisa, termasuk Aji dan Usha, berjuang bersama-sama.

"Aku bisa!" teriak Aji dan Usha bersamaan. Setelah sekian lama, sebentuk batu pipih dapat terpahat dan terlepas.

Nami mengangguk, mengangkat dua ibu jari tangannya.

Garanggati mencoba bersemedi, menempa potongan pipih poorva auriga dan membentuknya agar menyerupai bilah pedang. Tubuhnya bergetar hebat.

"Pandhita!" teriak Jawar khawatir.

Garanggati tampak bisa menempa bentuk pipih itu walau membutuhkan perjuangan keras. Dalam wujud lebih tipis, kesaktian Garanggati dapat tersalurkan membentuk bongkahan batu langit menjadi sebentuk senjata.

Prajurit-prajurit Akasha Wanawa dan Pasyu Aswa yang berjaga di luar benteng Aswa berteriak. Jawar tampak panik, berteriak ke arah Dupa.

"Dupa! Bantu kami mempertahankan wilayah ini! Biarkan Nami mengerjakan poorva auriga!"

Dupa berlari ke arah Jawar. Keduanya saling menopang untuk dapat menahan laju serangan pasukan hitam yang hanya dapat dilihat oleh mata Nistalit.

Pedang buatan Garanggati jauh dari sempurna. Namun, bentuknya semakin tampak sebagai bilah senjata, meski tak memiliki hulu pedang sebagai tempat bertumpu. Pangkalnya, mencuat bentuk panjang seukuran telunjuk yang dapat digunakan sebagai pegangan. Bila dibalur dengan kain, masih dapat diayunkan.

Gosha dan para Turangga bertahan mati-matian.

Pasukan Wanawa di bawah kendali Jawar dan Dupa bertempur gagah berani. Satu tusukan tak terlihat, mengarah cepat ke tubuh Jawar.

Arrrrggggghhhh!

"Hulubalang Jawar!!" Dupa berteriak terkejut.

Nami mendengarnya, merasakan hatinya kecut.

Celaka, pikirnya. Bila Jawar tewas, atau terluka, kekuatan mereka sangat jauh berkurang sementara panglima Wanawa tak dapat ditentukan kapan hadirnya. Nami melihat ke arah senjata yang sedang ditempa Garanggati. Ia merampasnya dengan cepat.

"Nami!" teriak Garanggati tak setuju.

"Biarkan hamba mencobanya, Pandhita!" pinta Nami. "Buatlah lagi yang seperti ini! Aji, Usha! Bantu Pandhita Garanggati!"

Di luar ruang rahasia, pada area gerbang benteng Aswa, pertempuran sengit berkecamuk.

Jawar terjungkal.

Luka menganga di pinggangnya. Ia tampak meringis kesakitan, berusaha menyembuhkan diri sendiri walau racun Mandhakarma tak mudah ditaklukan. Nami memburu ke arahnya, menahan serangan pasukan hitam yang tampak semakin banyak berkeliling di gerbang luar benteng Aswa Girimba.

Gosha, mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan batinnya untuk melihat pergerakan pasukan hitam. Matanya tak seawas milik Nistalit, pedang dan perisainya sesekali bergerak tak terarah.

"Bantu Tuan Gosha!" bentak Jawar. "Tak usah pedulikan aku!"

Nami ragu. Jawar menggenggam lengan Nami, mengangguk tegas. Gadis itu melompat menjauh, meluncur ke arah Gosha yang tengah membutuhkan pertolongan, dengan Dupa berada di sampingnya. Tombak pasukan hitam mengarah bersamaan ke arah Gosha, membuatnya kerepotan. Dua senjata melukai kaki dan lengan Gosha bersamaan, membuatnya terhuyung.

"Panglima Gosha!" teriak Nami marah.

Heaaaaaagggh.

Nami mengayunkan pedang poorva auriga.

Eiiiiirrrrhhh

Hiiiiiiirrrrkkkh.

Teriakan terkejut pasukan hitam. Gerakan tangan Nami, bagai perisai setengah lingkaran yang melindungi keberadaan pasukan Wanawa dan Aswa. Melihat Turangga dan Akasha tumbang, kemarahan menyulut dada Nami dengan keras.

"Nami, hati-hati!" teriak Gosha, matanya sedikit terkejut melihat senjata di genggamannya yang masih setengah jadi.

Nami merasakan, senjata buatan Garanggati terasa lebih berat dari pedang Sin. Tetapi, bobotnya tak menjadikan senjata itu susah dikuasai. Jejak suara dan percikan sinar yang ditinggalkan, bagai lekukan tajam yang melukai musuh-musuh. Sebentar saja, pasukan hitam bergelimpangan.

Senyum kemenangan terlukis di wajah lelah Nami.

"Matilah kalian dengan pedang Mahatarundara!"

Dupa terkejut dan senang.

Nami bergerak lincah dan cepat, melawan musuh yang tampak ingin menghabisinya walau terlihat berhati-hati memandang senjata di tangannya. Sayang, tenaga Nami telah banyak terkuras di pertempuran bilik putri dan upaya memecah bongkahan poorva auriga. Belasan jurus dilaluinya dengan baik, namun ia semakin kehilangan kekuatan.

Jumlah pasukan hitam tak sebanding.

Beberapa tendangan mengarah ke arahnya, hingga ia terjungkal bergulingan.

"Nami!" teriak Gosha yang tengah berusaha menyembuhkan diri sendiri, dilindungi Turangga yang bertumpu pada mata Dupa.

Gosha berusaha membantu Nami berdiri.

Gadis itu terlihat kelelahan dan kesakitan. Beberapa sabetan senjata mengores tubuh, walau tak dalam. Tetap saja menimbulkan rasa sakit yang nyeri.

"Panglima Gosha!" Nami berkata. "Apakah Tuan akan mencoba pedang Mahatarundara?"

Gosha terkejut mendengarnya.

"Al Lir?" tanya Gosha.

Nami mengangguk.

Sedikit gemetar, Gosha mencoba menggenggam senjata yang dipinjamkan Nami. Seketika, bagai kabut terkuak, ia dapat melihat berlapis-lapis pasukan hitam.

Gosha menggeram kemudian, merasakan kekuatannya berlipat. Nami melupakan rasa sakit dan lelahnya, tersenyum lebar, melihat Gosha begitu tampak kokoh berpasangan dengan pedang Berlian Surga.

Nami merobek kain ikat pinggang, membantu membebat luka Gosha.

"Biarkan aku yang melawan mereka!" ujar Gosha, matanya berkilat ketika berkata.

Lebih dashyat dari Nami, senjata di tangan Gosha memiliki kekuatan berlipat. Dengan mata yang dapat menembus gerakan pasukan hitam seperti mata Nistalit, bukan hal sulit bagi Gosha yang terlatih sebagai panglima utama Aswa untuk membabat pertahanan lawan.

Wajah Gundha, panglima muda yang tewas dalam pertempuran Mandhakarma, muncul di hadapan. Wajah Raja Shunka dan Ratu Laira, membayang dengan jelas di pelupuk mata.

"Bawa aku ke pemimpin kalian!" geram Gosha.

Walau terluka, kekuatan Gosha dan keahliannya tak lenyap. Tanpa sayap pun, ketrampilan perang Gosha sungguh mencengangkan hingga Nami dan Dupa dibuat terkagum-kagum. Selama ini, Gosha perlu bertumpu pada mata Nistalit. Dengan pedang Mahatarundara, atau pedang Al Lir dalam bahasa Pasyu, ia benar-benar menjelma menjadi panglima Aswa sejati.

Puluhan pasukan hitam tumbang lebih cepat.

Lapisan demi lapisan.

Lapisan yang berikut tampak menciut, hingga ragu untuk maju.

"Majulah kalian semua!" teriak Gosha mengancam.

Sebuah suara berat dan tajam menimpali.

"Jangan besar kepala, Gosha!" bentak sebuah suara.

Pertempuran panjang itu tampak tak berujung.

Sosok anggun berjubah hitam dengan topeng berukir warna senada tiba menghampiri.

"Hadapi aku : Panglima Malam!" serunya, menghunus senjata.

Trrrrrng.

Syyyyrrrrrt.

Panglima Malam, tampak terhenyak saat beradu senjata dengan Gosha. Ia tak menyangka, kekuatan panglima yang telah tercabut kesaktian sayapnya masih memiliki keahlian luarbiasa. Ditambah, pedang bongkahan Berlian Surga memiliki kekuatan di luar perhitungan.

Sosok hitam itu terlihat bersungguh-sungguh melayani Gosha.

"Kau pemimpin mereka??" bentak Gosha.

"Ya! Kau takut??"

"Sebaliknya," Gosha tersenyum. "Aku senang melihatmu, Keparat!"

Gosha mengayunkan pedang Al Lir miliknya. Pedang itu terlihat seperti tangan ketiga yang memiliki mata, ke manapun Panglima Malam bergerak tak luput dari serangan. Tikaman, sabetan, ayunan kematian.

"Akasha dan Pasyu akan segera musnah, Gosha!" bentak Panglima Malam. "Kecuali…"

"Kecuali?"

"Kecuali kau menyerah dan mengabdi pada tuan kami!"

Gosha tersenyum, "Bahkan jika Aswa runtuhpun, aku tak akan tunduk pada kekuatan keji kalian!"

"Keji? Kalian bahkan belum mengenal siapa kami!"

"Kalian membunuh prajurit Akasha dan Pasyu! Membasmi Nistalit! Apakah kami harus mengenal kalian lebih jauh, Penjahat Semesta?"

Panglima Malam terbahak mendengarnya, "Penjahat Semesta! Nama luabiasa yang sangat gagah bagi pasukan Ru- Amandip!"

Gosha memusatkan pikiran untuk melawan sosok di hadapannya. Berhadapan berdua seperti itu, Panglima Malam merasakan musuh di depannya tak mudah ditaklukkan.

"Pasukan!" teriak Panglima Malam, "Binasakan Akasha dan Pasyu yang tersisa. Musnahkan Nistalit semua!"

Gosha terlihat geram.

"Dupa! Nami! Hati-hati! Jaga Jawar!"

"Siap, Panglima Gosha!"

Lapisan pasukan hitam bergerak merangsak maju.

Pedang Sin di tangan Nami dan pedang Janur di tangan Dupa bergerak lincah. Sembari melindungi Jawar yang tengah berjuang untuk menyembuhkan diri dan mencoba turut bertahan mengikuti arah panduan para Nistalit.

"Bertahanlan, Wanawa!" teriak Gosha. "Bertahanlah, Aswa!"

Gosha berusaha melindungi pasukan di belakangnya, sembari menyerang Panglima Malam. Walau ia kuat dan tak mudah terkalahkan, Panglima Malam selangkah lebih di depan. Pasukan hitamnya dapat mudah melihat lawan, sementara musuh tak mudah melihat mereka. Mata yang mudah menembus keberadaan Panglima Malam dan pasukannya hanyalah beberapa gelintir Nistalit dan Gosha yang memiliki Al Lir.

"Dupa! Lindungi Hulubalang Jawar!" Nami berkata.

Gadis itu berlari mengejar Gosha, berusaha memberikan dukungan.

"He, kau lalat!" teriak Panglima Malam. "Tak perlu cari mati demi membela panglimamu yang telah kehilangan kemampuan!"

"Kau akan kalah malam ini, Keparat!" teriak Nami, tersenyum. "Aku tahu siapa kau di balik topengmu!"

Panglima Malam terkejut.

Kemarahannya mencuat, memerintahkan pasukannya untuk bergerak lebih kejam. Sesaat sebelum perintahnya terdengar, sebuah sosok hadir di antara mereka.

Suara tenang dan lantang, membuat siapapun di arena itu terhenyak sesaat.

"Tak akan kubiarkan siapapun melukai sahabatku – Panglima Gosha –, dan meruntuhkan Wanawa!"

Panglima Malam mundur satu langkah ke belakang.

Matanya awas mengamati sosok berjubah hijau yang bergerak dengan cepat dan anggun ke arahnya, sementara lengannya mengenggam senjata setengah jadi seperti yang dimiliki Gosha.

❄️💫❄️