webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Malam Terakhir (2)

Percakapan sesaat mereka adalah salah satu potongan paling berharga dalam kenangan. Dan yang paling menyakitkan. Malam terasa cepat. Sin harus segera beristirahat dan Nami harus segera kembali. Dupa mengantarkannya, meninggalkan Kavra dan Nami yang mematung di puncak benteng. Kavra mengatakan ada hal-hal penting yang harus mereka bahas.

❄️💫❄️

"Ada banyak hal yang belum kita ketahui tentang Mandhakarma," Kavra berkata. "Satu-satunya yang kita tahu adalah bahwa Nistalit sepertimu mampu melihat mereka."

Nami menarik napas. Perasaan sedihnya belum hilang sama sekali, tapi tak ada waktu untuk berkubang di dalamnya.

"Bagaimana lukamu?" tanya Kavra.

Nami terbelalak. Ia bahkan lupa tubuhnya memiliki luka yang tak terasa sama sekali.

Kavra tersenyum, "Milind sangat mencemaskanmu. Tapi kau hilang entah ke mana."

Nami menunduk, tak ingin membahasnya. Bayangan Milind yang demikian menumpahkan perhatian pada Nisha sangat mengganggunya.

"Lagu yang tadi kau nyanyikan, apakah kau yang menyusunnya?"

Nami menyembunyikan senyum malu, "Ya. Saat hamba di Girimba, para pemusik dan biduan mengajari hamba cara membuat syair."

"Kau tampak bahagia di Girimba," Kavra berkata, membuang napas pelan.

Nami terdiam.

Kavra mengalihkan percakapan.

"Aku ingin membahas beberapa hal penting denganmu. Mungkin kita tak akan bertemu lagi, jadi simaklah baik-baik apa yang akan kukatakan. Sebab ini akan sangat penting bagi keselamatan Nistalit, dan kemungkinan bagi kita semua."

Nami mengangguk. Menyimak baik-baik setiap yang dikatakan Kavra. mencatatnya di dalam benak. Apa yang dijabarkan Kavra sama sekali tak dibantah. Sesekali Kavra menoleh ke arahnya, mencermati apakah gadis itu memperhatikannya.

Kavra berdiri, berjalan ke tepi benteng. Nami mengikuti. Di bawah mereka, aliran deras Loh Dhamarga, sungai terpenting Gangika terbentang. Bulan tiga perempat bersinar kekuningan, menggantung di bentangan bumantara. Sosok keras dan tangguh Kavra tampak melembut di bawah bayang rembulan.

"Aku sudah selesai bicara," Kavra berkata, seolah pada dirinya sendiri.

Nami mengangguk, tak bersuara.

"Aku telah berjanji akan mengembalikanmu dan Dupa sebelum tengah malam," ujar Kavra.

Betapa ia berharap tengah malam tak akan terjadi hari ini. Banyak yang ingin dikatakan. Banyak yang ingin ditanyakan. Namun Kavra merasa, semakin ia mengulur waktu, semakin lelah ia harus berperang dengan perasaannya sendiri.

"Jika hamba butuh bantuan," Nami bertanya, "apakah Tuan akan membantu?"

Kavra tersenyum.

"Kau tak akan butuh bantuanku, selama ada Milind di sana."

Nami menelan ludah.

"Hulubalang Han, pengganti Sin, akan mengantarmu kembali bersama Dupa."

"Tuan Panglima tidak mengantar kami kembali?"

"Tidak," Kavra menggeleng. "Aku tak bisa."

Aku bahkan tak ingin kau kembali ke sana, bisik Kavra dengan hati bergetar. Tapi aku telah mengusirmu. Lagipula sangat berbahaya bila kau di Gangika yang merupakan sekutu Giriya dan Vasuki.

"Apakah…apakah kita akan bertemu lagi?"

"Ini mungkin malam terakhir kita bertemu," Kavra menegaskan. Lebih kepada dirinya sendiri.

Angin lembut mempermainkan rambut-rambut mereka. Kavra berdiri berhadapan dengan Nami.

Betapa cepatnya waktu berlalu.

Masa-masa ketika ia berdiri di tepi sungai, memerintahkan Sin untuk menjemput para pelarian Nistalit Giri. Bagaimana ia kecewa dengan para Nistalit yang tak sesuai harapan. Para pemecah batu, buruh dan budak yang hanya merengek meminta tempat tinggal dan makanan. Lalu seorang Nistalit perempuan yang sok tahu dan sok pemberani, terlalu banyak omong dan penuntut.

Kejadian demi kejadian mengharuskannya dan Sin menambah prajurit yang akan dikorbankan bagi Mandhakarma yang belum pernah mereka temui. Siapa sangka, sebab munculnya buih-buih Gelombang Hitam yang pekat dan kelam, mengasah munculnya batu-batu mulia. Soma, Suta, Dupa. Para Nistalit berbakat yang menjadi prajurit tambahan dan justru dapat membantu Sin lebih banyak. Satu di antara mereka adalah gadis yang berdiri tegak di hadapannya saat ini.

Jika terlibas dalam renjana yang hanya menuruti kemauan perasaan, Kavra ingin melakukan sesuatu pada Nami. Tapi ia memilih menggenggam tangannya sendiri kuat-kuat.

Apa yang dilakukannya adalah menjaga pikiran tetap terjaga.

Kavra menatap Nami tenang dan dalam sebelum berucap, "selamat malam, Nami. Maafkan semua kesalahanku."

Nami mencoba tersenyum. Kavra berbalik, meninggalkannya.

"Selamat malam, Panglima Kavra banna Gangika."

Kavra menarik napas panjang sepenuh dada. Ia senang mendengar suara itu mengucapkan namanya dengan lengkap : Kavra banna Gangika.

❄️💫❄️

Hulubalang Han telah siap di bilik Kavra.

"Aku menitipkan surat ini untuk Milind. Sampaikan langsung kepadanya," perintah Kavra.

Han mengatupkan kedua tangan, tanda hormat.

Kavra memberikan satu bingkisan yang terlindung dalam bungkus yang indah.

"Apakah ini untuk Panglima Milind?" tanya Han.

Kavra terdiam, "Bukan."

"Lalu untuk siapakah?"

"Itu memang bukan untuk Milind," Kavra menjelaskan. "Tapi Milind yang harus memberikan, sesuai izinnya."

Han tampak kebingungan.

"Han, berikan saja pada Milind," Kavra menatapnya. "Milind akan mengerti."

Ketika Han membawa Dupa dan Nami kembali dengan menunggang angin, jarak jauh yang dapat ditempuh cepat dengan mantra kesaktian Akasha, Kavra menghabiskan malamnya dengan kembali ke benteng. Tempatnya bertemu Sin dan Dupa, mendengarkan alunan musik bersama nyanyian Nami.

***

Bersama aliran Gangika

Kau akan merasa tenang

Meneguk air yang jernih

Hidupmu sudahlah cukup

***

Perkataan Pandhita Akara telah terjadi.

Nistalit hanya membutuhkan sedikit kebaikan hati darinya. Sosok seperti Nami hanya membutuhkan perlindungan dan kesempatan untuk hidup lebih baik.

Karma paling pahit harus dijalani. Sikap kasar, sombong, dan keangkuhannya telah mendapatkan balasan paling sempurna. Ia telah merendahkan dan memperbudak Nistalit sedemikian rupa. Puncak keburukannya adalah berniat menghabisi Nami dengan pedangnya sendiri. Sekarang, tak ada yang dapat menumbuhkan dan mematikan rasa yang bertunas dalam dirinya; kecuali oleh gadis Nistalit itu sendiri.

❄️💫❄️

Milind menerima Han dengan sukacita.

Hari belum mendekati tengah malam, Kavra telah menepati janjinya.

Di bilik Kahayun, Milind membaca surat Kavra.

***

Dari Panglima Kavra banna Gangika,

untuk Panglima Milind banna Wanawa

(hancurkan surat ini segera setelah kau baca!)

Hormatku bagi Panglima Akasha Wanawa,

Milind, aku ingin menyampaikan secara langsung tetapi aku khawatir kita tak punya waktu yang cukup untuk membahasnya.

Pengetahuan kita tentang Mandhakarma sangat sedikit. Hanya dua pihak yang pernah melihatnya. Pertama, Nistalit termasuk Nami dan Dupa. Kedua, Sin. Perlu kau ketahui, Sin tak akan hidup lama. Jadi satu-satunya saksi mata kita hanyalah para Nistalit.

Milind,

hatiku terbelah. Apakah kita harus mempercayai Nistalit? Atau mewaspadai mereka? Mengapa Mandhakarma dapat Nistalit kalahkan tapi kita bahkan tak bisa melihatnya? Aku curiga, ada satu rahasia besar yang tidak kita ketahui terkait Nistalit.

Ataukah, sesungguhnya ada rahasia wangsa ini yang kita tak tahu?

Nami telah membunuh Sin Hitam dan Janur Hitam. Sebetulnya, sejak Nami mengalahkan Sin Hitam, kuperhatikan kemampuan Sin menurun namun mantra Gangika dapat melindunginya. Kali kedua Sin terpaksa menolong Nami dan masuk ke Mandhakarma, akibatnya sangat buruk. Sin kehilangan penglihatan dan pendengaran, ia semakin melemah. Aku khawatir, Janur tak akan bertahan lama setelah Nami membunuh Janur Hitam.

Aku tahu kita bukan sepasang sahabat. Tapi aku mempercayaimu.

Harus kuakui, belakangan ini aku mulai kehilangan kepercayaan pada Raja Nadisu dan Ratu Mihika. Aku merasa, mereka menyembunyikan sesuatu. Entah terkait Akasha atau Nistalit. Bagaimana denganmu? Apakah kau menduga Raja Vanantara pun menyembunyikan sesuatu?

Aku akan mencari tahu tentang apa yang sesungguhnya tengah terjadi pada wangsa besar kita. Bisa jadi Raja Tala mengetahuinya, atau sesungguhnya ia tak tahu apa-apa dan hanya berniat menggertak kita semua!

Milind,

Aku menitipkan sebuah bingkisan kepadamu.

Dengan sepenuh penghormatan, aku meminta izinmu untuk menyampaikan pada satu Nistalit. Aku tak perlu menyebutkan namanya, semoga kau tahu. Tetapi, Milind, aku meminta izinmu. Jika kau tidak mengizinkan, maka simpanlah. Tak perlu kau berikan padanya.

Sebab yang aku inginkan adalah kebahagiaannya. Ia gadis baik hati yang selalu memikirkan banyak pihak tapi mengorbankan diri sendiri. Jalan hidup keras telah dilalui dan aku banyak melakukan hal buruk padanya. Permintaan maaf tak akan pernah cukup. Aku merasa, kaulah yang terbaik.

Salamku,

Kavra

❄️💫❄️

Milind mengucap mantra.

Surat Kavra luluh kemudian. Ia menarik napas panjang, merenung dalam-dalam. Pikirannya pun dipenuhi banyak kebingungan yang belum menemukan jalan ke luar. Bingkisan dari Kavra menarik perhatiannya. Bingkisan itu bukan untuknya, namun ia boleh membukanya dan mempertimbangkan apakah akan diteruskan pada satu sosok yang dikenalnya.

Ada dua buah benda di dalamnya.

Satu belati dengan sarung berukir indah yang hanya dimiliki gologan tertentu.

Satu lagi kain halus yang hanya dimiliki Gangika : selendang kuning.

❄️💫❄️

Love this sad story, what about you, Readers?

Love~

lux_aeterna2022creators' thoughts