webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Langkah Nami (3)

Puluhan Nistalit bersepakat.

Mereka yang cacat tubuh tak diperbolehkan ikut. Bila cacat yang disebabkan cambuk Kuncup Bunga masih memungkin untuk bergerak leluasa dan bekerja, akan dipertimbangkan. Bagi yang bertubuh utuh, diperkenankan mengikuti pertaruhan nyawa.

Baik Nami, Soma, Suta, tak mengetahui bagaimana cara lebah pohon ara mengontak para Nistalit dan bagaimana mereka berkumpul di satu titik. Tugas Nami kali ini adalah mengupayakan, bagaimana puluhan Nistalit dapat lolos kejaran prajurit Giriya dan segera memasuki wilayah Gangika untuk mendapatkan perlindungan mantra.

Jalur kali ini agak berbeda.

Setelah pengawasan ketat gua-gua dan sungai bawah tanah, Nami akan mencoba peruntungannya melewati hutan belantara, wilayah yang dikuasai Akasha Wanawa.

❄️💫❄️

Nami menghamparkan kain kusam yang kotor.

Dengan getah pohon ara, ia membuat lintasan.

"Suta," Nami menjelaskan, "perhatikan. Di sini Giriya, diapit hutan Giriwana dan hutan Girimba. Keduanya wilayah Akasha Wanawa."

Suta mengangguk, memperhatikan.

"Selama ini kita hanya melewati wilayah Giriya dan Gangika, keduanya memiliki titik terhubung ketika memiliki gua-gua. Kita juga baru tahu, bahwa sungai bawah tanah Gangika dapat mencapai Giriya," Nami melanjutkan.

Suta menyimak baik-baik.

"Antara Gangika dan Giriya, terhampar hutan Girimba, milik Wanawa. Tampaknya, pasukan Giriya telah mengawasi ketat titik-titik penghubung dengan Gangika," Nami meramalkan demikian, "tapi aku yakin, mereka belum mengawasi hutan Girimba."

"Kau yakin?" Suta menelisik.

Nami menarik napas, mengangkat bahu lalu menggeleng.

"Aku tak punya kemampuan seperti Akasha yang dapat menunggang angin lalu menghilang," gumam Nami. "Aku juga tak bisa mengubah diriku menjadi hewan kecil. Aku…hanya meraba-raba."

"Kau pertaruhkan para Nistalit dalam bahaya!" Suta tajam berkata.

"Apa pilihanku, Suta?" Nami bertanya. "Di manapun kita selalu bahaya. Tetap di Giriya, ke luar dari Giriya, bekerja di Gangika, menetap di Gangika; semuanya penuh bahaya!"

Suta terdiam.

"Apa yang kupikirkan adalah," Nami berkata pelan, "kita berpindah dari satu takdir ke takdir yang lain. Itu kesempatan terbaik yang kita punya."

Suta masih belum menanggapi.

"Aku teringat Jalma," Nami meneruskan. "Ia selalu berkata, satu langkah ke depan, satu langkah lebih jauh, selalu lebih baik daripada hanya berdiam diri. Andaikan ia ada di sini."

Suta masih kebingungan.

Nami melipat petanya jengkel.

"Kalau kau tak mau ikut, aku akan berangkat sendiri," ketus suara Nami.

"Aku ingin membantumu!" Suta memotong. "Kau menggambar peta, bukan?"

"Ya!"

"Apa yang akan kau lakukan dengan peta itu? Sekedar menggambarnya aku juga bisa, Nami!"

Nami menghamparkan peta kecilnya lagi.

Matanya menatap Suta dengan bara api semangat.

"Kita akan menyeberangi Girimba," ucap Nami.

Suta memandangnya, tak percaya.

"Kau tahu? Mantra Gangika membuat kita bisa bergerak cepat. Butuh mantra Gangika untuk menelusuri sungai besar dan deras demi mencapai hulu sungai dan bertemu para pelindung kita," ujar Suta.

Kata-kata 'pelindung' sepertinya kurang tepat, tapi hanya itu kata yang terlintas.

Nami menatap Suta lagi, semangatnya meredup cepat.

"Butuh waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan untuk melintasi Girimba agar sampai ke Gangika," Suta berkata putus asa. "Mustahil melakukannya!"

"Kau punya usulan lebih baik?" Nami bertanya.

Suta menarik napas, memandang gadis di depannya lekat, "terus terang : tidak."

Nami menghadap ke arah Suta.

"Kau tahu, Suta?" Nami menatap ke sekelilingnya. Tenda-tenda sederhana yang dipenuhi Nistalit, sebagian besar bekerja membangun bendungan di seberang, "Kita tak pernah punya rencana sempurna."

Suta menatap gadis di depannya tak yakin.

"Apakah dulu Jalma punya rencana dan jalan ke luar sempurna?" Nami menatap Suta tajam lalu menggeleng. "Tidak. Tapi sekarang, kita bisa tiba di sini. Dengan perjuangan. Dengan pengorbanan. Bahkan banyak yang tak selamat. Apakah kehidupan kita di sini sempurna? Tidak juga. Apakah rencana membawa rombongan Nistalit lagi untuk bekerja bagi Gangika itu sempurna? Tidak."

Suta menarik napas panjang.

"Satu-satunya yang kita miliki saat ini hanya semangat bertahan hidup," Nami menegaskan. "Hanya itu yang membuat kita bisa berpikir, bekerja keras, bertahan dari siksaan."

Nami merenungi ucapan yang terlontar dari lisan.

Betapa bijak dirinya.

Betapa berani dirinya.

Betapa pandai merangkai kata-kata.

Apakah sesungguhnya…ia putus asa dengan keadaan dan mencari cara untuk menyudahi dengan cara paling pahlawan? Nami menelan ludah. Menepis pikiran buruk dan merendahkan diri sendiri yang akan membuatnya kehilangan nyali. Perlahan ia melipat peta.

Ia menarik napas panjang, mengisi dada sepenuh udara yang mungkin.

"Lebah pohon ara telah terbang ke gua-gua. Tak lama lagi, kita akan mendapat kabar sejumlah Nistalit bersiap menyeberang dan membawa alat-alat. Kita mendapat tugas untuk menjemput Nistalit dan menggiring mereka menuju Gangika," Nami berat hati memutuskan.

Suta hanya menyungging senyum terpaksa.

Nami menepuk pelan lengannya.

"Ayo, kita jemput saudara-saudara Nistalit kita, Suta. Mereka juga ingin makan umbi dan buah-buahan seperti kita."

❄️💫❄️

Nami mengenakan pakaian terkuat yang ia miliki.

Celana panjang dari kulit hewan yang telah usang, pemberian ayahnya yang telah lama wafat. Seorang Akasha Giriya baik hati memberikan alas duduk tak terpakai, lalu dijahit oleh ibu Nami untuk menjadi celana panjang. Pakaian lengan panjang dari kulit pohon yang telah disamak, melindungi lengan dari goresan luka terutama saat memecah dan mengukir batu. Kantong kecil dengan tali dari jalinan akar yang dipipihkan, menjadi tas kecil tempat Nami meletakkan barang berharga bagi pertahanan diri.

Alas kaki dikenakan.

Ia dan Suta bersiap menjemput Nistalit di salah satu titik. Lebah-lebah pohon ara memberikan beberapa panduan tempat-tempat yang mungkin dilewati. Satu gua tua yang telah berusia ribuan tahun dan tidak memiliki lubang tembus lebih dalam ke arah gunung, menjadi titik temu. Gua itu tersembunyi, berada di belakang air terjun. Mereka harus meniti hati-hati agar tak tercebur masuk ke pusaran air. Jika dapat melewati jalan terjal berbahaya gua di balik air terjun itu, hutan Girimba menyambut.

Lalu?

Berlari menembus Girimba.

Berlari terus.

Berlari tanpa perlu melihat ke belakang.

Berlari saja sepanjang tubuh kuat bergerak tanpa makan dan minum.

Terus berlari, mengikuti kata hati.

Berlari saja, sampai ke Gangika, kerajaan sungai yang tengah membangun bendungan.

Mudah, bukan?

Tinggal ayunkan langkah kaki berlari sekuat-kuatnya.

❄️💫❄️