webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Gelombang Hitam (11) : Detak Hujan

Jumantara menumpahkan airmata bidadari.

Tetes-tetesnya tergelincir dari dedaunan, menyisip di antara rapatnya dahan dan ranting.

Malam yang syahdu dalam buaian senandung para penyanyi Wanawa dan irama angin yang berkencan, memeluk titik-titik hujan.

Nami tak dapat memejamkan mata.

Ke mana lagi nasib membawanya?

Melarikan diri dari Giriya, memburuh dan bertarung di Gangika, dipaksa memasuki Girimba entah untuk apa. Semakin banyak pertanyaan, semakin hatinya buntu memberi jawaban. Bayang-bayang mengerikan bermain di dunianya yang sesak penderitaan. Ia tak pernah berhitung berapa hari yang dilewatkan, berapa purnama yang berjalan, berapa kali matahari terbit dan tenggelam.

Hidupnya terperosok dalam gerhana kegetiran. Selamanya? Mungkin.

Gadis itu membuka jendela kamar lebar-lebar.

Daun jendela kayu cukup menanggung beban tubuhnya yang ingin duduk memeluk lutut, bersandar di sana.

Gerimis bertambah rinai.

Balairung, ruang-ruang di Girimba, bilik-bilik para pemusik dan penyanyi, kabin para prajurit. Panggung para penjaga, segala yang tampak di mata Nami; tetiba berlapis selubung tebal tembus pandang yang melindungi dari terjangan hujan. Mantra Wanawa tampaknya menaungi para penghuninya agar tetap terlindung.

"Mereka tak pernah menikmati hujan?" Nami berpikir heran.

Apakah sebagai Nistalit, tubuhnya pun akan kebal basah seperti para Akasha, bila ke luar dari biliknya?

Tangan Nami terulur ke luar.

Kering.

Terulur lebih jauh.

Seperti lembab.

Lebih jauh lagi.

Jarum air menikam kulit.

Semakin jauh, ia condongkan tubuh ke luar sembari mengulurkan dua tangan. Noktah air bagai airmata yang mengucur deras di wajah Aji dan Usha. Nami merapatkan bibir. O, semoga anak-anak malang itu baik-baik saja di Gangika.

Nami melompat ke luar jendela.

Kakinya menyentuh permukaan selasar yang terbuat dari rangkaian kayu-kayu yang masing-masing tersambung oleh rantai jalinan akar. Teras biliknya bagai mengambang di udara, lampu kunang dalam wadah kaca tergantung di tiang luar. Biliknya berdiri sendiri, bilik Dupa berada di sisi lain. Matanya menengadah ke atas. Tampaknya, biliknya dan Dupa berada di tingkat terbawah.

Berjajar ke atas, bilik-bilik yang berbeda ukuran dan tampilan. Semakin meninggi, semakin rumit dan semakin elok ukiran kayu yang menghias jendela, pilar, teras serta jembatan yang menuju ke pintu bilik.

Malam tak pernah sepi di Wanawa.

Syahdu senandung selalu mengiringi. Setidaknya, petikan musik menjadi teman sesaat sebelum benak terlempar ke alam mimpi. Apakah ini yang menyebabkan hati mereka selalu tenang dan lembut?

Nami melangkah ke luar bilik.

Satu langkah.

Dua langkah.

Tiga, empat, lima. Terus. Ia berada di tengah jembatan kayu yang menghubungkan biliknya dengan bilik Dupa. Daun-daun lebar menjadi tudung yang menampung air hujan, mengarahkannya ke air terjun di seberang. Walau demikian, percikannya masih lolos ke bawah. Kering bagi Akasha yang terlindung mantra, basah bagi Nistalit yang tubuhnya tersusun dari tanah dan air.

Nami merasakan kepalanya lembab. Ia menengadahkan wajah ke atas. Memandang lampu-lampu terang nan menakjubkan, berpendar membentuk bianglala saat bertabrakan dengan tetes-tetes hujan. Ia mengumpat pelan, tertawa kecil. Bagaimana mungkin Akasha melewatkan kegembiraan macam ini?

Di seberang, Dupa tampaknya juga belum terlelap.

Pemuda itu membuka jendela. Melihat kegilaan gadis Nistalit di jembatan Girimba dan ikut bergabung segera.

❄️💫❄️

Bisakah ia mengenyahkan isi pikirannya?

Bisakah bayangan Gosha terhapus sejenak dari ingatan? Bisakah Vurna, Watsa, Ratu Varesha dan Ratu Laira sebentar saja angkat kaki dari benaknya? Bisakah gambaran para prajurit yang tewas, teriakan kesakitan para hulubalang, kemarahan para panglima dan raja; semuanya enyah dari kepala? Apakah ia harus mengirimkan semua kelebatan pikiran dan perasaannya ke ceruk terdalam dan terluar dari perbatasan wangsa? Palung abadi yang menyimpan segala kenangan buruk dan kegetiran.

Kidung para penyanyi tak menyembuhkan.

Senandung para pemusik tak memulihkan.

Milind menarik napas. Bersemedi. Memusatkan pikiran pada segala sesuatu yang terdekat dengan dirinya. Angin malam. Syair-syair. Gesekan daun. Gerakan ranting. Langkah pelan prajurit penjaga. Wangi bunga cempaka. Aroma cendana.

Pikiran-pikiran buruk menguap selapis demi selapis. Sehelai demi sehelai.

Bayang keindahan Wanawa. Kesuburan Giriwana, keajaiban Girimba. Kekuasaan Vanantara, kekuatan Akasha. Beberapa bayang yang hadir tak diundang, begitu saja mengendap di ingatan. Mengapa ia tak dapat memilih apa yang harus dikenang dan apa yang harus dibuang?

Desau angin dan gemericik hujan adalah pasangan sempurna bagi hening yang menjadi selimut malam.

Mata Milind terbuka tetiba.

Kecuali beberapa gerak dan suara asing yang menggagalkan semedinya!

Ia melompat turun dari peraduan. Melangkah cepat ke luar. Meniti selasar bilik, menuju jembatan kayu. Bilik sang panglima berada sendiri di ketinggian. Selapis di bawahnya adalah ruang-ruang para hulubalang. Di bawahnya lagi para prajurit dari berbagai tingkatan. Jauh di seberang, bilik para putri dan dayang berselaput keheningan dan kebisuan yang rupawan.

Seluruh istana Girimba berselimut mantra pelindung yang sempurna. Mantra terkuat berada di atas, lalu makin menipis ke bawah. Suara asing yang belum pernah didengar berada di tengah Girimba. Ke mana para penjaga? Apakah telah terjadi sesuatu pada para prajurit?

Milind mengerahkan mantra penunggang angin, tubuhnya lincah dan ringan tanpa suara meluncur ke bawah.

❄️💫❄️

"Jika kita hidup seperti ini, aku berniat tinggal di Girimba," bisik Dupa keras. Berkecipak air di kaki. Wajahnya riang.

Nami tersenyum, "Tak ada yang bisa memadamkan semangatmu ya, Dupa?"

Dupa menggeleng-gelengkan kepala. Air memercik dari rambutnya.

"Apakah menurutmu tak mengapa kita di luar seperti ini?" tanya Dupa berbisik lagi.

Tak mengapa, pikir Nami. Semua Akasha telah masuk ke bilik masing-masing. Hanya penjaga. Para bangsawan dan petinggi pasti terlelap. Lagi pula, bermain hujan seperti ini boleh jadi tak akan terulang. Esok pagi, kata Milind, mereka harus bersiap. Entah untuk apa lagi.

Nami menajamkan mata. Menengadahkan wajah. Menyambut bebas tetes air dengan wajah dan rambutnya yang tebal. Tangannya terentang, telapak tangan menghadap ke atas. Seolah cekungan jemari menampung air. Gadis itu membuka mata, mengatupkan cekungan. Tampungan tetes air cukup untuk diminumnya.

Manis.

Segar.

"Nami?"

Terdengar suara menegur.

"Nami?" bisikan lebih keras.

Nami tak menggubris. Ia memainkan air di telapak kaki, berkecipak.

"Nami," Dupa berbisik cemas, "sepertinya…kita harus berhenti …dan kembali ke bilik."

Nami mengusap wajahnya dengan air di cekungan telapak tangan. Dingin!

Dupa memukul lengannya cepat. Pemuda itu segera berlari kembali ke bilik, meninggalkan Nami sendiri!

Dari celah jemari, Nami melihat satu sosok berdiri mengawasi. Entah sejak kapan ia berdiri di san. Kedua tangan terlipat di belakang punggung. Jubah kebesaran tak dikenakan. Hanya pakaian sederhana, menunjukkan bahwa ia sejatinya hendak berangkat beristirahat. Sesederhana itu penampilannya, tanpa kedua pedang di pinggang. Atau mahkota yang menandakan tingkat kedudukan. Tapi dari caranya memandang dan menegakkan dagu, setiap makhluk pun tahu, seberapa tinggi kastanya.

"Kupikir kalian beristirahat," ujarnya menyindir. "Mengingat kita berada dalam keadaan genting dan esok banyak kewajiban yang harus dikerjakan."

Nami terpaku. Rambut, wajah dan pakaiannya basah. Sekarang, dingin terasa menggigit. Oleh cuaca, atau oleh tatapan di depannya? Baguslah, Nami, bentak gadis itu pada diri sendiri.

"Kami menjamin keselamatan kalian, Nistalit," Milind berjalan lebih mendekat. Ucapannya sebeku sorot matanya. "Kami akan memperlakukan kalian lebih baik dari Giriya ataupun Gangika. Ataupun Vasuki."

Nami menelan ludah.

"Tapi kuharap kalian tahu menempatkan diri," Milind mengingatkan. Menatap Nami tepat di manik mata, hingga gadis merasa keberaniannya luluh lantak.

Bahkan mulut Nami tak mampu mengucapkan kata, sekedar menjelaskan atau meminta maaf. Milind berbalik. Sesaat sebelum naik ke biliknya di tingkat teratas, Nami mendengar suaranya berkata kepada prajurit penjaga.

"Berikan mereka baju ganti. Perintahkan untuk tidur dan jangan berisik!"

❄️💫❄️