webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Bisikan Malam

Mata Yusa basah saat mengobati Nami setelah melewati jalan rahasia bersama Kavra.

Ia mencoba melumuri luka Nami dengan ganggang lendir hijau dan kuning, mencoba menghalau racun apapun yang berada di tubuhnya. Pikiran Yusa berkecamuk dalam berbagai pertimbangan dan perhitungan. Di luar bilik pengobatan Girimba, beberapa sosok menunggunya dengan gelisah. Ketika Yusa muncul dari tempat pengobatan Nami, pertanyaannya terlontar.

"Apakah serbuk Aswa dan Wanawa tak memberikan pengaruh?" tanyanya.

"Tak berpengaruh" Milind berkata. "Aku sangat heran. Bagaimana dengan ganggang Gangika?"

"Hamba khawatir ada yang memengaruhi tubuh Nami hingga pengobatan tak mempan."

Mata Yusa tertumbuk pada sepasang bocah kecil yang saling berpelukan, menangis, menyebut nama Nami. Yusa mendekatinya.

"Apa yang kalian lakukan di sini, Nistalit Kecil?" tanya Yusa.

"Kami membantu Nami," isak Usha takut-takut," memotong-motong mahatarundara."

Yusa tertegun, menoleh ke arah Milind dan Kavra.

"Nami memerintahkan semua Nistalit untuk memecah poorva auriga, termasuk Aji dan Usha," ujar Milind. "Hanya Nistalit yang dapat membelah menjadi potongan kecil."

Yusa memegang kedua tangan Aji dan Usha dengan lembut, melihat seksama telapak tangannya. Seharusnya banyak luka goresan di situ, tapi kedua tangan Nistalit kecil di hadapannya halus. Hanya ada goresan halus luka yang tampaknya telah mengering dengan cepat. Ia beralih menatap Dupa yang berdiri di dekat Aji dan Usha.

"Bisakah kau menghancurkan poorva auriga menjadi serbuk?" tanya Yusa kepada Dupa.

"Apa yang akan kau lakukan?" desis Garanggati. "Kau akan membunuh salah satu prajurit terbaikku?"

"Pandhita," Yusa memberikan hormat dalam, "hamba sendiri tak yakin. Satu-satunya yang belum dicoba adalah serbuk poorva auriga."

"Poorva auriga adalah senjata, ia racun bagi Akasha," tegas Garanggati. "Aku merasakan sesak napas dan kelelahan sangat saat menempanya jadi senjata. Bagaimana jika Nami mati dengan cara pengobatanmu, Dayang Gangika?"

Yusa pun tampak kebingungan.

Kavra dan Milind bertatapan.

"Hamba menunggu perintah Panglima Kavra," Yusa mengangguk memberi hormat.

Kavra memejamkan mata, menimbang, "Lakukan, Yusa."

Milind menatapnya tajam, antara setuju dan menolak.

"Seringkali obat terbaik berasal dari racun terhebat," Yusa menggumam. "Tangan Aji dan Usha tak memiliki bekas luka karena terkena debu-debu poorva auriga."

"Tapi Nami mendapatkan luka Mandhakarma lagi," jelas Milind.

"Lagi?" Yusa mengerutkan kening, "pantas."

"Pantas kenapa?" desak Kavra.

"Pantas tubuhnya semakin termakan racun atau justru bersahabat dengannya dan menolak serbuk pengobatan Akasha dan Pasyu. Satu-satunya kesempatan hanya poorva auriga," ujar Yusa, menjadi semakin yakin.

Yusa menatap ke arah Dupa yang berdiri sembari memegang bahu Aji dan Usha dengan erat.

"Apakah kau mau membantuku mengobati teman Nistalitmu?" Yusa bertanya pada Dupa.

Mata Dupa berkaca-kaca, mengangguk kemudian.

❄️💫❄️

Nami terbangun dengan tubuh berpeluh dan menggigil hebat, hingga Yusa memeluknya erat.

"Hei, hei," bisik Yusa menenangkan. "Kau aman, Nami."

Nami membalas pelukan Yusa, merasakan kesakitan dan ketakutan yang sangat.

Yusa membelai rambutnya, menepuk-nepuk punggungnya.

"Yusa?" bisik Nami parau. "Kau jauh-jauh ke mari untuk menolongku."

"Kami semua mencemaskanmu," ujar Yusa, menyiapkan minuman.

"Kami?"

"Banyak yang mengkhawatirkanmu," Yusa tersenyum, menyodorkan minuman. "Banyak yang mencintaimu."

Nami menenggak minuman, Yusa terheran-heran melihat ketahanan gadis di depannya meneguk rasa pahit demikian kental.

Berdua mereka saling berbincang sesaat di bilik pengobatan tentang berbagai hal, sembari Yusa mengusap wajah Nami dengan kain basah untuk menyegarkannya. Serbuk poorva auriga membuat Nami kejang, tapi juga melawan luka racun di tubuhnya. Yusa memperbaiki letak selendang kuning, kain lembut yang melilit leher Nami dan menjuntaikan sebagian di bahunya yang terluka.

"Selendang ini bertuah, Nami. Kau akan merasa hangat dan nyaman," Yusa berkata sembari mengedipkan mata. "Aku harus memberitahu para Nistalit dan para panglima bahwa kau telah siuman."

Nami tersenyum samar.

Dupa, Aji dan Usha yang pertama kali menghambur ke arahnya. Dupa tampak bersuka cita, sementara Aji dan Usha bergelayut manja memeluknya hingga Yusa memperingatkan bahwa Nami belum sehat betul.

Gosha, memberikan sambutan hangat yang mengejutkan. Tanpa sadar tangannya mengusak rambut Nami, seolah menggerutu dan mengumpat.

"Kenapa kau selalu membuat orang kesal dan khawatir, heh?"

Nami mendongak, menatap wajah Gosha yang lembut dan tersenyum ke arahnya. Ia persis Jalma, pikir Nami termenung. Gosha tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepala. Demi melihat Milind dan Kavra memasuki ruangan, Yusa memberikan hormat dan pamit ke luar, disusul yang lain. Nami memberikan isyarat pada Dupa untuk membawa Aji dan Usha ke luar.

Gadis itu mencoba bangkit dan turun dari pembaringan, memberikan hormat yang dalam pada ketiga sosok panglima di hadapan. Gosha mencegah Nami bergerak lebih banyak, menjadi tumpuan gadis itu ketika ia terhuyung, lalu membimbing dan menyuruhnya kembali duduk.

Milind tersenyum samar, menyaksikan kedekatan Gosha dan Nami; entah mengapa ikut senang melihatnya. Senyumnya lenyap melihat selendang kuning melilit di leher gadis itu.

"Tuan Gosha," bisik Nami, "bagaimana luka Tuan?"

Gosha menatapnya sejenak, mengangguk kemudian. Tersentuh mendengar bagaimana gadis itu lebih memikirkannya ketimbang dirinya sendiri.

Ia melangkah mendekati Milind dan Kavra.

"Jangan bertengkar," pesan Gosha, menatap dua panglima sembari mengedipkan mata, "nanti kalian kehilangan wibawa."

Senyum nakal Gosha membuat Milind dan Kavra ingin meninggalkan ruangan walau kaki tertahan.

Nami merasakan nyeri yang menikam menjalari bahu. Lukanya belum sembuh sempurna. Menekan jejak luka itu dengan selendang kuning, mengalirkan kehangatan.

Hening sesaat.

"Lukamu..."

"Apa kau..."

Milind dan Kavra saling melempar pandang, terjebak pada kata-kata yang dilontarkan bersamaan. Milind menarik napas kemudian.

"Apa selendang kuning itu membawa pengaruh?" Kavra bertanya.

Nami menatapnya, memberi hormat.

"Tak perlu sungkan, Nami, kau sedang sakit," Kavra mengingatkan.

Nami menarik napas panjang, mencuri pandang ke arah Kavra

Milind melihat gelagat itu dan mencoba tahu diri, berkata, "Apa ada hal penting yang akan kau sampaikan pada Kavra?"

Nami mengangguk perlahan, berbisik serak, "Ya."

Milind menunduk sesaat, berbalik, bersiap melangkah ke luar sembari menggamit lengan Gosha. Mereka mungkin tak dibutuhkan di situ.

"Panglima Milind," Nami memanggil,"...bisakah Tuan tinggal bersama Tuan Gosha?"

Milind berbalik lagi, berujar, "Aku tak bisa lama-lama. Banyak yang harus kukerjakan."

Nami mengangguk, memberi hormat, "Hamba tak akan lama."

Milind berjajar di sisi Gosha bersama Kavra. Memberikan kesempatan sejenak pada Nami untuk berpikir dan menyusun kalimat.

"Panglima Malam," Nami berkata lamat-lamat, "hamba mengenalinya."

Milind menatapnya tajam, Kavra bergeming. Gosha menarik napas dalam.

"Siapa dia?" suara Milind nyaris berbisik.

Tanpa sadar Nami meraba selendang kuning, "Itulah kenapa selendang ini tak banyak membantu."

Nami menatap Kavra sekilas, menunduk kemudian. Gosha merasakan tubuhnya menegang, membayangkan Kavra dan Milind akan menghadapi permasalahan yang sama dengan dirinya. Ucapan Nami menyiratkan sesuatu.

"Jangan sembarangan bicara, Nistalit," bentak Milind pelan.

Kavra menahan lengan Milind, memberinya isyarat tenang.

"Kau tahu, apa yang diinginkannya?" tanya Kavra.

Nami terpekur.

"Mudah bagi Panglima Malam membunuh hamba, apalagi hamba tak memegang kepentingan penting apapun," ujar Nami. "Tapi ia sengaja membiarkan hamba hidup untuk menyampaikan pesan."

Kavra ingin mengatakan, bahwa pendapat Nami tentang seberapa penting dirinya, adalah tak benar. Anehnya, ia justru menatap seksama ke arah Milind yang tampak tenang. Mengapa Milind selalu bisa setenang itu? Pikir Kavra.

"Kalau kau tak penting, Milind dan Kavra tak berada di sini," Gosha berkata jujur.

Milind dan Kavra, tanpa sadar merapat ke arah Gosha bersamaan. Seolah memintanya untuk tutup mulut, hingga Gosha menatap ke arah kanan dan kiri keheranan.

"Apa pesan dari Malam?" tanya Milind.

Nami menggigit bibir, menatap tiga sosok di hadapannya bergantian.

"Malam adalah...," Nami berkata, sembari menekan lukanya yang terasa berdenyut sakit menggunakan seledang hitam, "Panglima Kavra Hitam."

Milind dan Kavra menatap Nami lurus, nyaris bersamaan berkata, "Teruskan."

Nami menarik napas, menekan luka, memejamkan mata. Denyut nyeri makin menjadi-jadi hingga ia sedikit terbungkuk.

"Kau istirahatlah dulu," Milind berkata cepat. "Sampaikan kalau sudah keadaanmu membaik."

"Aku ingin mendengarnya, Milind," tukas Kavra. "Aku tak akan lama di sini."

Nami mengangguk, menekan lembut lukanya dengan selendang kuning kembali. Bila tak ada Milind dan Gosha, entah apa yang akan dilakukan Kavra. Ia benar-benar berusaha menahan diri melihat Nami kesakitan seperti itu.

"Kavra Hitam berpesan," Nami berbisik, memberikan hormat yang dalam terutama pada Milind, "Panglima Milind harus memilih : Panglima Gosha atau Panglima Kavra."

❄️💫❄️