webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
279 Chs

●Bendungan Gangika (5)

Selamat datang, Kematian!

Aku tak memusuhimu, hanya tak menyangka kau secepat ini datangnya.

Nami memejamkan mata, pasrah.

"Maafkan mengecewakanmu, Jalma."

❄️💫❄️

Ssssshhhrrrshhhh.

Terdengar suara seakan api memadamkan jerami terbakar.

"Nami! Bangun!" sebuah tangan kecil nan rapuh menggamitnya. "Lari, Nami!"

Nami membuka mata.

Cambuk Kuncup Bunga melayu, tak dapat bergerak. Apalagi mencari mangsa.

"Ayo, cepat, cepaaat!" Soma meneriakinya.

Di belakang Kuncup Bunga yang terkulai, menyusul cambuk-cambuk bermata yang lain. Nami melihat orang-orang tertatih berlari, mengerang kesakitan dengan tubuh-tubuh yang melepuh separuh. Gadis itu melompat ke arah mereka.

"Aku…aku tak sanggup…"

"Cepatlah! Aku akan membopongmu."

"Tinggalkan aku saja…"

"Aku akan menarikmu!"

Terbiasa memanggul batu, Nami mencoba memanggul seorang perempuan bertubuh kecil yang terluka. Sebelah tangannya menarik sekuat mungkin seorang lelaki yang juga terluka.

Cambuk-cambuk bermata mengejar mereka.

Nami terengah. Nyaris tak mampu bergerak. Bagaimanapun, ia juga sangat kelelahan dengan kejadian tiada henti dalam beberapa hari ini.

Nami mungkin menyia-nyiakan kesempatan yang tadi telah terbuka : kesempatan untuk hidup dan menyelamatkan diri. Ketika sedetik keajaiban terjadi, saat cambuk yang bersiap menerkam kepala tetiba mengering layu. Ia bisa saja menyelamatkan diri segera. Tapi ia tak dapat membiarkan begitu saja, Nistalit menderita di depan matanya. Ia adalah mereka, penderitaan mereka adalah penderitaannya.

Sepertinya mustahil mencapai tepian sungai. Cambuk-cambuk bermata itu bergerak lebih cepat.

Rrrssssshhhhh.

Heeerrrrrsssssh.

Cambuk-cambuk itu layu lagi. Di belakangnya, menyusul lagi cambuk yang lain. Soma dan beberapa lelaki membantu mereka yang terluka untuk segera masuk ke dalam sungai. Mereka menemukan cara jitu menaklukan cambuk Kuncup Bunga. Dalam remang cahaya bulan yang menyusup masuk, berhelai-helai cambuk layu dan mengering. Dalam redup cahaya, tubuh-tubuh Nistalit mengkerut, meringkuk. Hanya tersisa tulang-tulang yang melengkung, memeluk diri sendiri di saat akhir. Tak ada waktu untuk mengangkut mereka dan menyandarkan di pohon kersen. Tak ada penghormatan terakhir. Tak ada matahari yang akan membantu tubuh kering Nistalit menjadi debu.

❄️💫❄️

Mereka berenang menyusuri sungai yang tak terlalu dalam.

O, tidak. Sepertinya mereka tak berenang.

Nistalit Giri berjalan di tengah sungai. Berjalan dan berenang bersamaan, bergerak cepat. Luka-luka yang tadi ditimbulkan oleh cambukan, membaik. Dipandu Soma, Suta dan Nami; rombongan yang tersisa bergerak terus mengikuti arus sungai. Menjauhi Giriya, dunia lama mereka. Meninggalkan kenangan dan mungkin, mencoba menjemput masa depan yang lebih menjanjikan.

"Apakah kita telah selamat?" gemetar tanya seorang perempuan, yang tadi dipanggul Nami.

"Entahlah," Nami mencoba tersenyum.

Mereka terus bergerak menuju ujung sungai bawah tanah. Saat cuaca fajar menyambut, kehangatan dunia baru dalam terpaan cahaya matahari yang sama.

Nistalit Giri berpelukan, merapat. Anak-anak kecil menggelayut di kaki Nami. Beberapa bersembunyi di belakang tubuh Soma.

"Siapakah mereka?" tanya seorang Nistalit.

Para lelaki muda berdiri berjajar di tepi sungai. Memegang tombak. Pakaian berwarna coklat tua dari kulit pohon bakau. Selendang warna kekuningan tersampir di bahu kiri. Seluruh rambut panjang diikat ke atas, menggunakan tali dari akar bakau.

"Akasha Gangika," gumam Nami, antara takut dan harap beriringan. Apakah mereka lebih baik dari Akasha Giriya? Atau lebih kejam?

Prajurit Gangika dan Giriya, memiliki keperkasaan yang sama. Hanya saja, mereka tidak tampak seberingas anak buah Hulubalang Daga.

Nami dan rombongan tak perlu lagi berenang. Di tengah sungai, sebuah jalan setapak tembus pandang terhampar bagi mereka agar dapat dipijak dan dilalui.

Di antara prajurit, menyembul sosok yang berbeda. Berpakaian coklat , dengan sulaman di baju dan celana panjangnya. Selendang kuning berkilau tersampir di bahu kanan. Rambut hitamnya diikat ke atas, menggunakan jepit berbahan emas berukir yang indah. Ia membawa tombak dua mata yang diselipkan di pinggang. Wajahnya tenang dan waspada. Sepasang alis melengkung tegas.

Lelaki itu, sepertinya pemimpin di Gangika.

"Siapa di antara kalian yang menjadi pemimpin?" tanyanya.

Sebagian menunjuk Soma. Sebagian menunjuk Nami. Keduanya maju, memberikan penghormatan yang dalam. Soma memandang Nami, memintanya untuk berbicara.

"Kami menghaturkan penghormatan yang dalam bagi Paduka Panglima Kavra banna Gangika," Nami mengetupkan kedua belah tangan di depan dada.

Lelaki di depannya tersenyum.

"Dari mana kau tahu kalau aku Kavra, Nistalit?" ia bertanya.

"Maafkan bila saya salah menebak, Tuanku," Nami berbicara sopan. "Melihat sungai ini sepertinya telah mendapatkan mantra yang melindungi kami, hanya para pemimpin tinggi Akasha yang dapat melakukannya."

Kavra, yang diperintahkan Nadisu untuk menjemput pelarian Nistalit yang berhasil kali ini, memerintahkan anak buahnya untuk memberikan tempat layak. Makanan. Pakaian. Betapa terhormatnya Nistalit mendapatkan perlakuan seperti ini!

Nami memberikan contoh kepada rombongan untuk berterima kasih sepenuh hati pada Kavra dan prajuritnya. Ia duduk bersimpuh. Mengatupkan kedua tangan di depan dahi. Seluruh Nistalit Giri mengikutinya.

"Berapa orang bersamamu, Nistalit Perempuan?" Kavra bertanya pada Nami.

Pertanyaan yang sangat menggodam. Berapa orang yang berangkat mengendap, berapa yang berhasil selamat?

"Kami tak tahu pasti, Tuanku," sahut Nami menahan kesedihan. "Sepertinya, jumlah kami tinggal separuh."

Kavra mengangguk.

"Apa yang bisa kalian lakukan?" tanyanya.

"Kami bisa memahat dan memecah batu," sahut Soma. "Para perempuan kami mahir mengukir."

Kavra mengangguk lagi.

"Lalu anak-anak itu?" Kavra menunjuk sejumlah anak. "Mereka bisa apa? Kami tak membutuhkan mereka di sini."

Nami terbelalak.

"Tuan Yang Mulia Kavra! Kasihanilah anak-anak itu," Nami meminta dengan sangat. "Orang tua mereka tewas di tepian sungai bawah tanah."

"Kami akan mengembalikan mereka ke Giriya," Kavra menyahut.

"Tuanku!" Nami mendekat ke arah Kavra, bersimpuh dalam-dalam.

"Nami, hentikan!" Soma dan Suta berusaha menahan Nami.

"Anak-anak itu memiliki guna, Tuan," suara Nami bergetar.

"Apa yang bisa mereka kerjakan??"

"Anak-anak ini…," Nami terdengar ragu. Tetiba teringat ketika ia diselamatkan dari cambuk Kuncup Bunga. "Mereka cerdas dan berbakat. Mereka yang menyelamatkan kami dari cambuk Kuncup Bunga."

Kavra menatap Nami beberapa saat.

"Apa yang mereka lakukan?"

Nami menjelaskan, bahwa ketika ia terjatuh dan terancam sengatan cambuk, anak-anak itu berlari membawa air sungai dalam wadah tas kulit binatang. Air itu dilemparkan ke arah cambuk.

"Melempar air?" Kavra mengerutkan kening.

Nami mengangguk.

"Begitulah, Tuan. Bukankah Tuan telah memantrai air sungainya? Anak-anak itu memanfaatkan air sungai bermantra untuk memukul balik cambuk Kuncup Bunga."

Kavra membelalakkan mata.

Sejurus kemudian ia tertawa.

❄️💫❄️