webnovel

CHAPTER 3 : PABRIK KERTAS

Bel berdering menandakan kelas dimulai, namun tidak seperti biasanya karena hari ini tak ada pelajaran. Semua kelas sibuk mengurusi tempat magang masing-masing, begitu pula dengan kelompokku. Tapi sebelum itu alangkah lebih baik, jika bersantai menikmati segelas black coffe terbaik kepunyaan ibu kantin.

Jeda waktu sepuluh menit, Ringgo dan Leo datang menghampiriku, dari tampangnya Leo sangat bersemangat berbeda sekali dengan Ringgo yang pucat seperti ikan mati—mungkin itu alasannya kenapa Leo merangkulnya.

"Heeeiii… heeeii Alice"

"Ooohhh… hai juga kalian kemari duduklah"

"Mawar mana? Belum datang?"

"sepertinya belum"

"jadi kau yang pertama yaa?"

"tentu saja aku adalah orang yang tepat waktu"

"hahahaa… maaf-maaf kalau kami terlambat. Kau bisa liat sendiri kan wajah temanmu ini yang mau mati?"

"ya-ya-ya-ya bukan masalah kok"

Di tengah pembicaraan kami bertiga, akhirnya orang keempat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Gadis belia yang manis tampak alami tanpa make up berlari menuju tempat kami. Kehadiran gadis yang masih sayu menyedot perhatian dua pejantan di depanku. Bukan karena si gadis tak memakai make up—malah bajunya yang kurang rapi menjadis sasaran komentar bagi laki-laki, apalagi Leo yang merupakan teman-nya sejak sekolah menengah pertama.

Segelas coffe dari ibu kantin telah memperbaiki mood-ku. Di saat seperti inilah, terkadang bisa menjadi orang yang lebih perhatian. Memandang Mawar yang masih berantakan aku bernisiatif menyisir rambut hitamnya. Sejak awal bertemu aku memang sudah gemas dengan rambutnya yang tebal, tak kusangka lebih lembut dari yang kubayangkan—indah seperti kelopak bunga mawar hitam.

Lelaki yang banyak bicara di sebelahku, malah seperti burung beo tak bisa diam tuk sejenak. Menganggap kami para perempuan terlalu santai, "bukankah ada hal penting yang harus segera kita lakukan!" begitulah gubris-nya. Sebaliknya, si mata ikan hanya tersungkur di meja tak memiliki hawa kehidupan.

Memang benar ada hal yang lebih penting—menjadi alasan kenapa kami berkumpul di tempat ini. Kami berempat adalah kelompok yang tidak kebagian tempat magang, jadi harus mencari secara mandiri. Memang kebijakan sekolah ini terkesan tidak adil dan diskriminatif, hebat-nya selain kelas C tak ada yang melakukan protes anarki terhadap SHS, semuanya menerima kebijakan itu. Dari fenomena ini yuang kudapat adalah rata-rata semua siswa di sini tak menganggap itu adalah masalah yang besar, mereka berusaha membuktikan kemampuannya kepada pihak sekolah daripada banyak bicara dan melakukan berbagai sanggahan di ruang guru.

"tenanglah Leo, aku sudah menyelesaikan masalah kita, aku punya kenalan di pabrik kertas. Bahkan aku sudah melakukan kontak dengan pihak perusahaan, katanya kita bisa magang di sana" tegas Mawar

"waaahhh… benarkah?" seketika Leo yang daritadi mengoceh tanpa titik koma berhenti bagai jam yang kehabisan baterai.

Seperti dugaanku, salah seorang di antara kami takkan membiarkan kegagalan begitu saja datang. Ternyata Mawar hitam ini memiliki koneksi yang luas, sebagai apresiasi kepada Mawar—aku merogoh kuncir rambut di saku lalu kupasang pada rambutnya yang sudah rapi.

Penampilan Mawar yang sudah sempurna menjadi tanda keberangkatan kami ke tempat magang yaitu pabrik kertas.

"waaaahhhh luaaar biasaaa—banyak sekali kertasnya? Kira-kira berapa pohon yang ditebang untuk membuat semua kertas ini?" kata Leo. Seperti biasa mulutnya itu tak bisa dijaga—tanpa rem. Sesaat pegawai di resepsionis melirik sinis ke arah kami, padahal first impression adalah hal yang penting di saat seperti ini. Kejujuran Leo ini sedikit membuatku khawatir terhadap sikap karyawan di perusahaan kepada kami nantinya.

Kami berempat yang menggerombol di pintu masuh dihampiri oleh seseorang, untungnya bukan seorang satpam melainkan direktur pabrik kertas yang secara langsung menyambut kami—semoga beliau tak mendengar ucapan Leo tadi.

"selamat datang—jadi kalian yaa murid SHS yang hendak magang di tempat kami"

"iyaaa benar pak" jawab Mawar

Segan beliau mengajak kami berkeliling melihat bagian dalam pabrik kertaas. Ruang demi ruang semakin megah memanjakan mata. Ungkapan luar biasa memang pantas untuk mendeskripsikan kehebatan pabrik kertas ini. Siapa yang mengira tumpukan kertas yang tersusun dengan rapi begitu estetik layaknya karya seni. Aroma kertas-kertas ini pun begitu harum dan mempunyai ciri khas tersendiri.

Sekilas pandangan kami pun teralihkan oleh tiga orang yang berdebat dengan salah satu pegawai, nampaknya itu adalah customer yang complain kepada pihak perusahaan.

"hoooii… hooiii… apa seperti ini caramu menarik pelanggan?" kata bapak-bapak gendut memakai setelan jas.

"maafkan saya tuan… tapi barang yang sudah dibeli tak bisa dikembalikan lagi" jawab sang pegawai

"kauu tau! Aku adalah pelanggan tetap di sini sudah lebih dari 5 tahun, untuk satu kali atau 2 kali kesalahan mungkin aku maklumi. Tapi kalian sudah berkali-kali mengirim barang cacad kepadaku! Pokoknya aku minta semua uangku dikembalikan!"

Panasnya situasi di sana menarik perhatian Pak Claude—menelan ludah lantas ia meninggalkan kami untuk menghandle pelanggan.

"Pelanggan yang terhormat adakah yang bisa saya bantu"

"oohhh kebetulan sekali kau di sini Claude, apa kau tau selama ini karyawanmu ini mengirimiku barang cacad? Apa ini perlakuan yang pantas untuk seorang pelanggan tetap?"

"tenanglah dulu Pak Franz… saya akan menanganinya, kami kembalikan uang bapak tapi mohon di retur barang yang sudah dikirim"

"naaah gitu dong—gitu aja ribet!" mengencanngkan dasi sang pelanggan pergi keluar.

Menghadapi complain dari customer dengan baik sesuai tata krama adalah etika yang harus ditanamakan di perusahaan manapun, karena pelanggan adalah raja sehingga harus dilayani sebaik mungkin. Dalam hati aku bergumam, 'apa bisa aku menjadi orang ramah seperti Pak Claude? Lebih baik aku meminta di bagian yang tak bertemu dengan pelanggan, seperti yang terlihat barusan—berhadapan dengan pelanggan pasti merepotkan'

Usai melalui rangkaian pengenalan pabrik kertas, kami berempat dibagi ke dalam divisi yang berbeda. Leo masuk ke divisi pengiriman, Ringgo di bagian gudang, Mawar sebagai asisten sekretaris, dan diriku sebagai asisten administrasi. Aku tertawa pelan—ternyata doa yang kupanjatakan terkabul juga, yaitu tak berurusan dengan customer. Kupikir sejenak bisa terlepas dari duo yang berisik selalu berdebat sejak tadi, pada akhirnya aku masih menjumpai mereka. Memang kami berempat ditempatkan dalam divisi yang berbeda, kenyataannya apa yang kami kerjakan masih terintegrasi satu sama lain.

"Heeeiii Ringgo, apa kau sudah menata kertas-kertas dengan benar? Jangan sampai berserakan lhhooo!" oceh Leo yang terburu-buru.

"ooozzz…. Siap boooozz" jawab Ringgo dengan datar.

Saat melihat mereka berdebat dan saling mengolok, aku merasakan keakraban dalam diri mereka. Kekesalan Leo semakin membara akibat tanggapan Ringgo yang selalu santai dan tenang seperti air danau. Motivasi maupun cacian seakan tak bisa memabangkitkan selera Ringgo, begittu pula dengan api yang tak bisa menembus air.

"Hooiii-hoooii-hooiii mana semangatmu? Apa itu sikap yang kau tunjukkan pada rekan kerjamu?" ujar Leo

"haaahhh… berisik sekali kau ini Leo"

Kukira api akan semakin tersulut, ternyata si air berhasil memadamkannya. Tampak tak ada dendam kepada rivalnya, Leo merangkul Ringgo.

"tunggu dulu kenapa wajahmu lebih pucat dari sebelumnya?"

"entah kenapa pekerjaan ini membuatku pusing" jawab Ringgo

"jangan salahkan pekerjaan dong! Apa mungkin kau makan-makanan pedas lagi? Terlalu sering diare bisa juga membuatmu pusing lhooo karena kurang cairan" nasehat Leo

"yaaa… sebenarnya sedikit"

"tuuuuh—kan ketauan! Aku bilang juga apa"

"yaaa mau bagaimana lagi aku suka makan yang pedes-pedes"

Obrolan mereka semakin jauh dari pekerjaan, hal itu membuatku kesal karena akan berdampak pada pekerjaanku menjadi terhambat—menghela napas kumarahi mereka berdua agar lebih serius bekerja.

"Heiii kalian berdua bercanda mulu! Bagaimana? Apa sudah di-pack semua kertas-kertasny? hari ini semua pesanan harus sudah diantarkan!"

"Tenang saja karena ada Leo di sini pasti semua terselesaikan!"

"Ooohh iya Ringgo, bagaimana dengan kertas yang di retur pelanggan apa sudah kau cek ole divisi gudang?"

"ohhh itu yaa… sudah kok, tapi aku heran padahal tidak ada kecacatan dalam barangnya tapi kenapa pelanggan ini minta barangnya di retur? Aneh sekali" jawab Ringgo

"jadi begitu yaa, terkadang memang ada pelanggan nakal lhooo" sahut Leo

Aku mengangguk mantap setelah mendegar tanggapan dari mereka berdua. Dalam perjalanan menuju office aku bertanya-tanya, kenapa pelanggan meretur barangnya? padahal tak ditemukan kerusakan sama sekali. Aku teralihkan dari lamunan—seseorang menepuk punggungku

"heeei Alice sedang memikirkan apa kau? Kelihatannya serius sekali?" tanya Mawar

"hmmm… bukan apa-apa kok, aku hanya kaget saja sekarang kita diberi banyak tugas semenjak magang di sini" balasku

"iyyaaaa kaaan… aku juga berpikir begitu, meski begitu kamu jangan terlalu memaksakan dirimu. Menjaga kesehatan itu juga penting!" ucap Mawar

"ngomong-ngomong direktur kemana?"

"ohhh—beliau yaaa, dia check up ke rumah sakit katanya tidak enak badan" jawab Mawar yang merenggangkan badan

"luaaarrr biasa bu sekretaris… kau sudah seperti istrinya saja hingga mengetahui jadwalnya sedetail itu. kenapa kau tidak menikahinya saja?" candaku

"siapa juga yang suka yang suka sama om-om… ya meskipun dia tajir sih hahaha" balas Mawar mencengkram pundakku lebih kuat

"tuuuhh kan kau punya rasa padanya, kalian itu cocok sekali" balasku tak mau kalah.

"huuuufffttt… bercandamu sudah kelewatan, sudahlah aku mau pulang. Kau juga sebaiknya lekas pulang. Katanya di sini kalau malam tempatnya jadi angker lhooo" ucap Mawar menakut-nakuti.

Tentu saja aku takkan terpengaruh dengan candaan untuk anak kecil. Lantas Mawar meninggalkanku di kantor sendirian, sekarang hanya ada aku dan fana merah jambu di ruangan ini. Semakin memandangnya semakin aku terlena dalam kantuk, ia memang telalu indah untuk dilihat sehingga aku tak kuasa untuk menatapnya lebih lama.

Heninggg…

Tenaaanngg…

Nyamaannn…

Menatapnya secara langsung mataku menjadi gatal, hingga jemariku mengucekya sesekali.

Namun apa yang kudapat? begitu terkejut diriku saat membuka mata, ruang kerjaku menjadi berantakan? Ada apa ini? Apa aku melantur saat tidur tadi? Aaaahhh itu rasanya tidak mungkin

Aku melihat keluar jendela ternyata senja sudah meninggalkanku—aku harus lekas pulang. Melalui koridor kulihat keluar jendela pabrik ini begitu sepi seperti kuburan saja, bahkan ada burung hantu yang bertengger di pohon.

Aku jadi teringat kata Mawar, ternyata ada benarnya juga

Ternyata kalau malam liftnya sudah tidak beroperasi, terpaksa aku harus menuruni tangga. Yang benar saja ini lantai tiga belas, sampai bawah mungkin aku sudah tidak punya tenaga kembali ke rumah.

Baiklah ini anak tangga pertama, aku menyusurinya dengan perlahan menjaga stamina—yaaa buat apa terburu-buru nanti juga sampai bawah.

Aku benci mengakuinya tapi bulu kudukku mulai berdiri, mungkin karena angin malam. Punggungku juga jadi berat terasa letih.

"Heeeiii… heeeiiii…"

Pelan dan samar-samar aku mendengar suara seseorang, karena parno aku jadi melarikan diri.

Banyaknya anak tangga yang tak kunjung habis menyebabkan napasku terengah-engah aku tak kuasa lagi untuk berlari, entah berapa anak tangga aku bisa sampai lantai dasar.

Kilau cahaya mendebarkan jantungku

"hei nona kenapa kau terus berlarisaat kupanggil" tegur satpam

"hehe—maaf pak aku kira anda hantu jadi aku lari" kataku

"apaaa? Apa semenakutkan itukah mukaku?"

"yaaa kalau aku perhatikan dengan seksama muka bapak memang menakutkan, apalagi bawah kelopak mata anda menghitam seperti zombie"

"ohh ini… aku hanya kurang tidur saja. bagaimana lagi pekerjaan jadi satpam menuntutku untuk tetap terjaga di malam hari"

Sambil berbincang-bincang kami terus menyusuri tangga, sedikit banyak Pak Satpam bercerita mengenai sejarah pabrik kertas yang terkenal angker. Menurut rumor yang beredar terkadang terjadi kecelakaan di tempat kerja bahkan sampai merenggut nyawa karyawan—banyak orang malabeli orang yang bernasib sial sebagai tumbal.

Cerita rakyat tetaplah cerita rakyat yang konon hanya menjadi bumbu untuk menakuti bocah, namun sebagian orang percaya akan validitasnya sama halnya pak satpam di sebelahku ini. Aroma busuk mendadak menyambar penciumanku, Pak satpam juga merasa demikian hingga dia terpaku tak bergerak.

"aarrrggghhh… tolong aku" bukan karena kami sepaham, melainkan tiba-tiba saja tangan seseorang yang tersungkur di lantai meraih kaki pak satpam.

Sangat tidak masuk akal! Sejak tadi kami berbincang tak ada seorang pun yang melintas, bagaimana hawa keberadaan orang itu tak kami sadari sama sekali. Orang tersebut berkata tidak jelas, selain itu tangannya juga berdarah. Bukannya menolong, pak satpam malah mengajakku untuk melarikan diri.

"waaaaahhhhh zombie—itu pasti zombie" teriak pak satpam

"apaaa? Bukankah itu hanya cerita rakyat?" balasku dengan panik.

"siapa peduli, larilah nona—cepat cari bantuan!" pak satpam memberanikan diri untuk menghadap zombie yang menyerang. Nahas, pembelaan itu sia-sia sang zombie mulai menerkam pak satpam. Aku hanya bisa menutup mulut, berlari sekuat tenaga mencari bantuan sesuai perintah. Aku menuju lantai dasar berharap semoga di bawah tidak ada zombie yang menghadangku. Hingga tiba saatnya di bawah, namun aku tak menemukan seorang pun yang berjaga di sini. Bagaimana ini? Ohh iyaaa aku akan menelepon teman-teman.

Siaaall hpku mati di saat seperti ini

"wwwuuuaaaaa…" suara kesuraman mendesis dari balik punggungku terasanya nyata bahkan aku sampai memejamkan mata.

Gawaaattttt apa akan tertangkap? Mungkinkah aku akan menjadi zombie

"Alice—ada apa denganmu tak usah takut begitu? Maaf aku mengagetkanmu!" sapa Ringgo menepuk pundakku

"huuuffftt… syukurlah kalau itu kau Ringgo, heeii dengar ada zombie di dalam!"

"haaaah zombie? Hahaha—bercandamu memang buruk Alice, mana ada zaman sekarang ada zombie?"

"apa maksudmu aku berbohong?" menyentakknya

"tidaaak-tidak begitu… mungkin kau hanya kelelahan jadi berhalusinasi" sanggahnya penuh logika realistis

Aku mendengus kesal kutarik tangannya, "baaiikklaah ayo kita buktikan ke dalam"

"yaaa baiklah… ngomong-ngomong kau dapat salam dari Obama, aku bertemu dengannya tadi saat di perempatan jalan. Tak kusangka dia magang di kepolisian melakukan razia di perempatan"

"oohhh iyaa—salam kembali yaa"

Kami berdua kembali ke dalam untuk memastikan perkataanku, aku yang sudah syok, kali ini memutuskan untuk bersembunyi dibalik punggung Ringgo

"ngomong-ngomong Ringgo kenapa kau belum pulang jam segini?"

"yaaa—aku habis mengirim barang, makanya aku tadi bertemu Obama. Seharusnya ini tugas Leo sebagai yang berada dalam divisi pengiriman. Tapi dengan wajah ceria dia malah berkata semua aku percayakan kepadamu. Brengseeekk memang!"

"hahaha membayangkan wajah Leo yang resek itu menyurutkan kekhawatiranku"

"heei—heeei bocah bisa kau singkirkan senter itu, silau tau!" teriak seseorang dari seberang, kami bertemu lagi dengan Pak satpam.

"bukankah tadi kau tadi sudah dimakan zombie pak? Kemana zombienya?" tanyaku penasaran.

"haaahhh—zombie? Bercandamu jelek sekali tak ada zombie di sini? Memang zaman apa ini?"

"haaaah—apa kau mempermainkanmu? Bukannya kau tadi yang memintaku untuk mencari bantuan? Itu buktinya ada bekas sayatan di hidungmu! Pasti habis dicakar zombie tadi?"

"tidaaak nona—ini hanya karena flu saja" aku malah berdebat dengan satpam yang melantur ini, bisa-bisanya dia memutarbalikkan fakta.

"sudahlah-sudahlah Alice, mungkin kau memang kelelahan—pak satpam ini juga mengatakan tak ada zombie di sini, ayo kita pulang saja"

Aku merasa dipermainkan di sini—apa kejadian barusan hanya sandiwaranya saja?