webnovel

CHAPTER 23 : SESEORANG BERNAMA ALICE

Siang hari nan terik memaksaku untuk mencari air, bisa dibilang perjuanganku tak begitu mudah. Sudah beberapa kali yang kutemukan hanyalah sungai kering, dan kubangan kosong. Jarak ke tower rasanya sudah semakin dekat, apa sebaiknya aku minum setibanya di tower saja? sejenak aku mencium bau yang tak asing bagiku, bau yang tak seharusnya ada di hutan. Aku mempertajam penciumanku melacak asal bau itu, dalam bayangkanku aromanya menggambarkan sebuah tempat industri. Sebuah aroma yang muncul karena proses kimiawi yang terlepas di udara, begitu pula dengan kucing hitam yang berjalan di depanku bermain dengan botol bekas cat—lantas aku memungutnya.

Aku melihat ke sekeliling, terdapat corak di sebuah batu. Ini adalah petunjuk keberadaan manusia di sekitar sini, itu berarti aku sudah semakin dekat dengan tower. Tak lama kemudian seseorang menampakkan diri

"Alice?"

"ohhh hai… Oki"

"apa yang kau lakukan di sini?" tanya anak kelas D kepadaku

"bau cat ini yang menarikku kemari, bagaimana denganmu?"

"ohhh yaa… aku juga begitu"

"apa kau sudah sampai tower Oki?"

"ohh iyaa tentu"

"lantas kenapa kau kembali ke sini?" tanyaku lagi

"aaahh itu tidak penting, kau kelihatan lelah biar aku tunjukkan jalan ke tower!"

Aku tak lagi bertanya lebih dalam kepada Oki, sepertinya dia tak mau menceritakkannya, tapi beruntung juga aku bertemu dengannya yang mau memanduku ke checkpoint ketiga yaitu pusat tower.

Akhirnya tiba di tower Balilines, kebanyakan peserta sudah tiba di sini terlebih dahulu. Semuanya melepas lelah mengambil makanan dan minuman yang disajikan—tampak seperti pesta. Tower ini menjulang tinggi dengan tembok bebatuan yang alami memberikan kesan artistict, ditambah dengan lampu-lampu hijau di sekeliling memberikan rasa nyaman dan tentram. Berbagai snack bisa diambil sesuka hati di meja makan, adapula yang mandi di kolam renang—untuk melepas penat.

Pertemuan penting akan berlangsung sebentar lagi, kami beralih ke puncak tower. Di sana adalah taman nan indah, dengan ciri khas paving sebagai pelatarannya. Satu per satu dari kami memilih tempat duduk dari kayu, diiringi dengna lilin aromatherapy seakan lupa dengan apa yang sudah kita lalui sejak tadi. Aku pun juga terhipnotis dengan suasana ini, terlena dengan keindahan tempat yang estetik dan berkelas ini.

Seseuatu keluar dari tengah-tengah permukaan pelataran, mengalihkan perhatian kami semua. Kemudian Bu Emi keluar dari sebuah lencanatu menuju podium yang di tengah.

Ia mulai berpidato dan memberikan selamat kepada yang bisa melalui checkpoint dan berhasil tiba di tower ini. Seperti yang terlihat—di podium telah terpampang lencana kelinci yang menjadi hadiah utama dalam ujian kali ini. Lencana tersebut terbuat dari emas dua puluh empat karat, ditambah dua berlian biru sebagai hiasan mata kelinci. Jika diuangkan lencana tersebut setara dengan uang seratus juta rupiah—pastinya lencana tersebut masih belum tersegel.

Lencana bisa diambil besok pagi pukul lima dini hari, siapapun yang berhasil membawa lencana kelinci ke garis finish maka dialah yang berhak memiliki lencana tersebut. Kemudian si pemilik akan melakukan ikatan perjanjian dengan lencana tersebut menggunakan darah yang ditempelkan dibalik lencana tersebut, maka saat itulah lencana resmi tersegel dan menjadi hak penuh si pemilik.

Mencuri start mengambil lencana adalah hal yang mustahil, tepat setelah Bu Emi meninggalkan podium—pengaman jeruji otomatis aktif. Anak-anak hanya bisa memandanginya dari jarak kurang lebih dua meter.

Masing-masing kelas mulai merapat membicarakan lencana emas. Tentunya akan besok akan terjadi keributan. Siapapun yang berambisi akan mengambil lencana di podium. Mungkin bisa jadi perkelahian, bertarung berebut satu sama lain—layaknya anjing-anjing yang merebutkan tulang yang tak memiliki daging. Hanya sang predator yang akan menunjukkan jati dirinya besok.

Berbeda dengan kelasku yaitu kelas C, setelah melewati tiga checkpoint kami sudah mendapatkan sembilan puluh point, kemudian sepuluh point lagi didapatkan jika berhasil kembali titik akhir. Dengan begitu kelas kami akan mendapatkan nilai sempurna. Point kali ini juga dapat ditukar dengan uang, satu point bernilai satu juta rupiah, artinya jika mendapatkan point seratus setara dengan harga lencana yang merupakan hadiah utama dalam ujian.

Aku bisa mengerti kenapa anak-anak kelas C tidak menginginkan lencana tersebut, karena bertarung dengan kelas lain hanya akan memperburuk keadaan kami. Kami tahu kapasitas dan kemampuan kami takkan bisa menang kelas yang lebih elit daripada kami. Bermain aman dan tidak mengusik sang predator adalah kemenangan tersendiri bagi kami.

Kurasa aku akan mengikuti suara mayoritas, dengan begitu aku bisa pulang dengan aman dan nyaman tanpa ada beban.

Bahkan kelas D tak berani menampakkan dirinya di sini. Auranya saja sudah begitu tegang bagi kelas C, apalagi terhadap kelas D—bukan pujian malah serangkaian hujatan akan menerpa keempat anak tersebut. Membayangkannya saja sudah membuatku muak.

Dimana pun berada seleksi alam akan tetap berlaku, begitu pula dalam sekolah ini. Setiap orang memiliki kemampuan dan skill yang berbeda-beda, sekolah ini memiliki standar khusus untuk menilai kemampuan setiap individu. Oleh karena itu, kelas yang kami tinggalin menunjukkan seberapa tinggi kemampuan kami.

Kurasa kelas D juga akan berpikiran sama dengan teman satu kelasku. Memilih cara aman dan mendapatakan point yang sesuai dengan kapasitas mereka. Sejak awal memang tak ada kesempatan untuk membalikkan tangan dan memutar roda kehidupan. Karena semua sumber daya telah dimiliki kelas penguasa, kami yang tinggal dalam kelas urutan bawah hanya akan dicetak sebagai pekerja, sebaliknya manifestasi penguasa akan langgeng diwariskan kepada penerusnya.

Mungkin aku terlalu dalam memikirkan ini, membayangkan ketidakbergunaan hidup mereka membuat diriku lelah. Pihak sekolah memang sangat pengertian sekali, menyediakan fasilitas pemandian air panas di sini. Apalagi, sumber air panas alami dari belerang pegunungan, sungguh… aku tak boleh melewatkan kesempatan ini. Berendam di air panas ditemani dengan dinginnya segelas Ice Coffe pasti aku sudah berada di puncak kenikmatan surgawi.

Pemandian air panas memang terapi yang pas untuk melepas penat. Segala ion-ion negatif luntur dengan sendirinya begitu merendam tubuhku dalam air panas. Apalagi aroma belerang memberikan efek rileks pada otakku supaya tidak bergetar. Tower ini memiliki segalanya! Imbalan yang pantas usai kami berpetualang di hutan berhari-hari. Suara jangkrik dan serangga lainnya memanjakan pendengaran, serta angin malam yang sejuk mententramkan hati.

Akulah yang pertama masuk ke dalam pemandian ini, biarkan yang lain melakukan rapat penting. Daripada aku setengah niat mengikuti rapat, lebih baik aku melakukan hal yang kuinginkan dengan sepunuh hati. Inilah kebebasanku walaupun kadang orang bilang egois. Selama keegoisanku tak merugikan orang lain, mungkin itu masih bisa diterima. Bukankah lebih egois orang yang melakukan kegiatan dengan setengah-setengah? Karena tindakan mereka menjadi tidak menghormati orang lain.

Sudahlah, untuk apa aku terus memikirkannya. Lebih baik aku menikmati setiap detik fasilitas ini sebelum keadaan menjadi ramai. Lalu aku mengambil gelang untuk menguncir rambutku yang setengah bahu ini, supaya tak terkena air. Bisa panjang urusannya jika aku sampai terkena flu di saat ujian. Perlahan kulepas baju, dan rokku melipatnya dengan rapi. Aku tak mau besok pagi bajuku menjadi kusut semua, besok adalah hari yang penting! Orang-orang di sini memang pengertian, sudah menyediakan handuk yang bisa kupakai menutupi tubuhku.

Perlahan kucelupkan ujung kaki, memastikan suhu air. Memang awalnya sedikit panas, penuh keyakinan aku turun ke dalam kolam bebatuan itu—pastilah nanti tubuhku bisa menyesuaikan suhu air. Lantas aku duduk merendam tubuh bagian bawah, dengan kedua tangan aku basuh dadaku supaya terlepas dari udara yang dingin. Berlanjut pada wajah dan telingaku merata hingga semuanya terasa hangat hingga ke lubuk hati.

Kenyamanan ini membuatku terkantuk, kemudian aku menyandarkan punggung ke bebatuan di belakang menghadap langit malam penuh bintang. Apa boleh aku bahagia? Tersirat dalam pikirku mengingat kejadian enam tahun lalu. Ini adalah cerita hubunganku dengan ayah yang sangat disiplin. Beliau adalah sosok ayah yang sangat kukagumi, ia mengajarkan semua yang ia ketahui padaku. Semua kisah hidupnya begitu mendebarkan, membuatku sangat bersemangat untuk mengetahui kelanjutan kisahnya. Aku ingin menjadi seseorang yang kuat seperti ayah, ia juga baik kepada semua orang. Bisa memandang fenomena secara obyektif, dan membela orang yang tertindas. Bagiku ayah adalah pahlawan yang sebenarnya.

Keseharianku bersama ayah sangat menyenangkan, mungkin hari itulah terakhir kalinya kau merasakan kebahagiaan yang diberikan oleh seorang ayah. Seperti biasanya ayah pulang dari kerja selalu menggendong dan memelukku. Seringkali dia mencubit pipiku dan menanyakan hal-hal apa saja yang kulakukan sepanjang hari. Tentu saja aku sudah menyiapkan jawaban yang sempurna supaya ayah kagum dengan pencapaianku.

Di pagi hari aku bermain bersama kelinci pemberian ayah, kadangkala aku juga mempertemukan dia dengan seekor kura-kura. Bukankah itu adalah hal yang menggelikan melihat dua hewan yang memiliki sifat yang berbeda dipertemukan. Jika si kelinci melompat ke sana kemari dengan gesit, sedangkan si kura-kura hanya bisa menggerakkan lehernya melihat keindahan kelinci. Mungkin si kura-kura juga ingin melompat-lompat seperti kelinci. Tapi aku tak membiarkan si kura-kura berkecil hati, lantas aku taruh ia di bak air supaya ia bsa berenang bebas. Kini bergantian si kelinci melihatnya penuh seksama.

Selesai dengan semua hiburan itu, aku menemui guru yang setiap hari datang ke rumahku. Perlu kau ketahui aku tak pernah pergi ke sekolah, ayah melarangku untuk pergi ke sana. Padahal aku sangat ingin mendapatkan seorang teman, bisa bercanda dan mengobrolkan hal-hal kecil kurasa akan menyenangkan. Sayangnya saat-saat itu tak pernah tiba. Aku tak mengerti kenapa ayah melarangku beruhubungan dengan anak seumuranku, tapi ia pernah mengatakan bahwa aku adalah orang yang berbeda karena aku adalah anaknya.

Home schooling memang menguntungkan, karena interaksi yang terbangun antara aku dengan guru bisa lebih intim, jadi aku bisa lebih cepat memahami apa yang disampaikan oleh guru. Tak hanya itu, guru juga menyarankanku untuk mengerjakan pelajaran yang kusukai dengan bersungguh-sungguh. Guruku berpesan, manusia bukanlah orang yang sempurna, bahkan seorang guru hanya menekuni satu bidang pelajaran supaya ia dapat meraih gelar dalam bidang yang ia tekuni. Begitu pula seseorang tak harus mempelajari semua bidang, hanya perlu menemukan hal yang disukai, dan kerjarlah impian itu sampai mati. Maka kau akan menemukan buah yang manis di akhir perjalananmu!

Setelah mempelajari bidang akademis, guru seni bela diriku pun tiba. Seorang perempuan juga harus mempelajari bela diri supaya bisa mengatasi pelecehan yang biasa dilakukan orang-orang tak bertanggung jawab. Manfaat lain mempelajari bela diri adalah untuk menguras kaloriku usai makan snack dan minum cola sepanjang malam. Begitulah keseharianku bersama orang yang jauh lebih tua denganku, tatkala orang-orang itu berbagai pengalamannya kepadaku, dan juga menceritakan penyesalan-penyesalan dalam hidupnya—berharap aku tak terjatuh dalam lubang yang sama.

Jam empat sore ayah telah pulang, kusambut dengan riang supaya rasa lelahnya itu bisa lebih ringan. Kuberikan lemon dingin kepada ayah untuk meredakan dahaganya setelah melalui kemacetan berjam-jam demi menemuiku di rumah. Usai melepas jasnya dan berganti pakaian, ayah mengajakku pergi ke taman. Di sana ia membaca buku kesukaannya. Takkan kubiarkan ia sibuk sendiri, aku menyuruhnya membaca buku dengan keras layaknya membaca dongeng. Tentu saja ayah takkan menolak, melihat ia mengelus rambutku dengan senyum. Sayangnya aku terlalu capek untuk mendengarnya membaca buku, hingga aku tidur di pangkuannya.

Petang pun menjemput, saatnya kembali ke rumah. Aku sudah sangat lapar begitu pula dengan ayah. Di saat seperti ini ia juga tetap menjadi ayah yang hebat, sepertinya dia adalah pria yang bisa melakukan apa saja bahkan memasak. Malam ini ia membuat nasi goreng seafood. Ayah melarangku untuk menggunakan pisau, mungkin belum waktunya. Jadi aku hanya bisa mengupas kulit udang, dan menyiapkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan sesuai arahannya. Dengan cepat ayah mencampurkan semua bahan-bahan ke dalam penggorengan. Asap mulai keluar dari wajan terasa begitu sedap, ini pertanda masakan telah matang. Segera aku siapkan dua piring di meja, ayah mengeri akan hal itu dan ia menyajikan nasi goreng seafood di piring kami berdua. Supaya lebih lengkap bergegas aku membuat dua teh hangat untuk mengimbangi kecepatan ayah.

Begitulah keseharianku dengan ayah berada di rumah yang besar ini. Walapun para guru privat silih berganti menemaniku sepanjang hari tetap saja hanya kehadiran ayah dengan nasi gorengnya yang dapat menyembuhkan rasa sakit yang menyayat hatiku. Harumnya masakan ayah membuat perutku berbunyi, kami bersiap menyantap nasi goreng ini. Sendok demi sendok kuresapi tiap kandungan dari butir-butir nasi yang tercampur rata dengan bumbu spesial hingga putih bersih piring kepunyaanku. Rasa spicy di lidah memang menyengat efek dari merica dan cabe, untuk menetralisirnya segera kuminum teh hangat di sisi kananku. Proses kimiawi yang terjadi pada tubuh setelah mencerna makanan akan menimbulkan perasaan senang. Kini saatnya yang tepat untuk aku ajukan sebuah pertanyaan kepada ayah.

"ayah besok adalah hari ulang tahunku"

"waahhh… benar juga, untung kau mengingatkanku! Baiklah Lisa, kamu ingin kado apa biar ayah bawakan besok pulang kerja?"

"aku ingin bertemu dengan ibu!"

Lalu ayah menghentikan suapannya, dan menaruh sendok di piring. Tiba-tiba ia menggelitiki diriku, sangat geli sekali hingga aku tak tahan berguling-guling di lantai. Kemudian ayah menggendongku di pundaknya—membawa ke kamarku. Di sana ayah memeluk erat dan mengelus rambutku.

"apakah ayah masih kurang bagimu?"

"tidak—kau adalah ayah terbaik yang pernah kumiliki"

"lantas kenapa kau ingin bertemu ibu? Bukankah dengan ayah saja sudah cukup?"

"aku hanya ingin kita bertiga kembali seperti dulu, apapun yang ayah lakukan untuk menggantikan posisi ibu. Tetap saja selalu ada hal yang kurang! Selalu ada ruang di hatiku untuk ibu yang tak bisa digantikan oleh siapapun. Aku ingin bertemu ibu!" tanpa sadar air mataku sudah mengalir di pelukan ayah.

"jika ibu adalah hadiah ulang tahunmu, maafkan ayah karena tak bisa membawanya"

Mendengar jawaban ayah emosiku meluap langsung aku memukulinya menjerit sekuat tenaga. Meski begitu ayah tak merasa marah kepadaku, ia masih mencoba menahanku di pelukannya.

"dengar Lisa! Mungkin suatu saat kau bisa bertemu ibumu, karena itu jadilah mandiri dan lebih kuat! Ayah tak bisa selalu menjagamu! Hanya tekad dan ketetapan hatimu yang bisa membawamu bertemu dengan ibu—ingat itu!"

Di malam itu ayah menceritakan banyak hal mengenai masa hidupnya dan bagaimana bisa ia bertemu dengan ibu. Mendengar ceritanya berjam-jam tak sadar aku sudah tertidur, ketika aku membuka mata sang surya sudah menjemputku. Seperti biasanya, rumah ini menjadi sepi ketika ayah pergi bekerja. Untuk mengisi kekosongan aku membersihkan rumah sebelum para guru berdatangan.

Beberapa jam telah berlalu, namun tak satu guru privat pun datang. Apa mungkin mereka semua mengambil libur? Aku semakin resah, hanya ada kelinci dan kura-kura yang menemaniku di sini. Mungkin aku sudah sedikit gila hingga berbicara kepada mereka berdua. Aku memaksa mereka mengerti diriku, tapi kenyataanya mereka hanya menginginkan wortel yang kupegang.

Tok… tok… tok… suara ketukan pintu. Akhirnya seseorang datang, hari ini pelajaran apa ya yang menanti diriku? segera aku buka pintu depan. Benar dugaanku tamu yang datang adalah bu guru, karena keterlambatannya aku ingin memprotes beliau.

"gawat Lisa, ayo cepat ikut ibu ke rumah sakit! Bapak Kepala—maksudku ayahmu dalam kondisi kritis!"

Belum sempat aku melakukan aksi protes, bu guru sudah membuatku jantungan. Apa maksudnya ini, bukankah semalam ayah masih baik-baik saja? segera aku ikut bu guru menuju rumah sakit. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk pada ayah, rasa khawatir yang berlebihan ini membuat tubuhku menjadi menggigil. Aku tak mau membayangkan hal yang aneh-aneh. Lantas aku bertanya pada bu guru mengenai apa yang terjadi. Tapi dia berdalih tak ada waktu untuk menjelaskan.

Sesampainya di rumah sakit, ayah benar-benar tak berdaya selang infus telah menancap pada tangannya. Aku memegang tangannya, dan memanggil-manggil ayah supaya tersadar. Dokter bilang ayah terkena stroke, ini adalah penyakit yang serius. Suara hatiku berkata mustahil, padahal ayah selama ini sehat-sehat saja dia juga rajin berolahraga—tapi kenapa bisa?

Jemari ayah bergerak, remang-remang matanya terbuka—aku langsung memeluk dirinya. Dia mengeluarkan suara yang tak begitu jelas, "Alice… Alice…" siapa itu Alice?

"ini aku Lisa! Aku di sini ayah" mungkin ayah mengigau, sangat jelas yang kudengar dia bukan memanggil namaku. Aku melihat ke sekeliling berharap jawaban dari bu guru atau dokter, hanya gelengan kepala yang kudapat. Setelah itu kondisi ayah semakin kritis, fasilitas pengobatan di Indonesia tak cukup mutahir sehingga ayah dibawa ke Amerika untuk mendapatkan perawatan yang dibutuhkan. Begitu pula diriku yang ikut pindah ke Amerika selama tiga tahun.