Sementara peserta ujian kelas D hanya berjumlah empat orang tidak meruntuhkan semangat mereka. Hingga titik ini keempat orang kelas D masih memiliki harga diri yang tinggi—layak untuk diperjuangkan. Terlebih Oki yang memiliki sifat arogan daripada ketiganya. Dia hanyalah pria ganteng dengan otot saja, apalagi adanya sepasang kekasih yang tidak akur kelompok ini benar-beanr tak memiliki kekompakkan sama sekali. Paling sial adalah Megumin cewek kikuk yang selalu bingung dengan situasi di sekitarnya.
Di barisan paling depan Oki memimpin penjelajahan, dengan kedua tangannya berusaha memilah-milah dedaunan yaang menghalangi jalan. Tak jarang ia mengeratkan giginya kesal akan sesuatu. Ia mulai menyadari kelemahannya, betapa bodohnya hanya mengandalkan arogansi semata. Terlebih lagi dirinya yang dipermalukan Obama menyalakan api amarah yang melahap benua hatinya.
Bahkan sepasang kekasih terdiam kaku atas bentakan si Oki. Yaa… setidaknya itu bisa membuat sepasang kekasih akur. Mereka tak lagi bermusuhan sekarang—karena sudah memiliki musuh yang sama yaitu Oki. Di barisan keempat Megumin berpatah-patah mengatakan sesuatu, ia takut menghadapi Oki.
Sisa murid kelas D membuktikan ketidakmampuan siswa dalam mengikuti kurikulum Singhasari High School. Hanya satu kegagalan lagi, nasib murid kelas D menuju masa kekelaman… Drop Out sudah menunggu siswa-siswi yang gagal. Meski begitu pada ujian kali ini memberikan harapan untuk kelas D naik ke tingkat yang lebih tinggi. Pada awalnya kelas D tidak ada, kelas D dibentuk dari kegagalan siswa kelas A sampai C yang gagal menghadapi tes. Kenyataannya murid kelas D hanya berasal dari setengah murid kelas C.
Penjelajahan terhenti, para remaja sedikit ragu untuk melanjutkan. Meski terlihat garang—Oki juga memiliki ketakutan pada sesuatu. Demi menjaga image-nya, bagaimana pun caranya Oki harus tetap terlihat keren. Itulah prinsip yang dipegang seorang cowok tampan.
Mereka menghadapi sebuah area pemakaman, lebih tepatnya kuburan. Meski siang bolong begini, suasana makam tetap mencekam. Oki menelan ludah, dan mengedipkan matanya beberapa kali sebelum bersiap masuk ke dalam pemakaman.
Obrolan di belakang sedikit membuat amarah Oki bangkit sehingga menurunkan tingkat paranoidnya. Obrolan menjijikan terdengar dari sepasang kekasih yang selalu saling menjaga satu sama lain, hingga dunia ini menuju akhir. Tak peduli apapun yang terjadi akan selalu mendukung dan menerima apa adanya.
Apadaya sentakkan Oki jauh lebih menakutkan daripada ribuan mayat yang bersemayan di dalam kuburan. Begitu pula Megumin hanya bisa mengangguk-angguk, kian masuk ke dalam area makam usai dipelototi Oki.
Selangkah-demi selangkah mereka memasuki pemakaman. Ini adalah makam yang cukup luas, bahkan pepohonan yang tumbuh di sini menjulang ke atas hingga menutupi sinar matahari.
Si Cewek mulai berbisik pada kekasihnya "apa benar ini jalannya? Bukankah Oki itu sedikit bego, aku jadi ragu kalau kita berada di jalur yang benar." Sang lelaki belum sempat menjawab, Oki sudah melirikkan matanya ke belakang. Serentak membuat keduanya merinding.
Lalu Oki berusaha menegaskan, "kurasa ini jalur yang benar, aku sudah mengikuti kompas sejak awal. Lagipula towernya berada di tengah pulau kalau kita berjalan lurus ke depan pasti akan sampai di tengah pulau." Mendengar perkataan itu ketiga orang di belakang hanya bisa diam membisu—seperti orang yang sudah kehilangan nyawa.
Kemudian Oki melihat pada kompas, sedikit curiga dengan apa yang terjadi. Beberapa kali dia mengocok-ngocok kompasnya supaya jarumnya berputar menuju arah utara. Tetapi sialnya kompas itu tak bergerak sama sekali.
"Teman-teman sepertinya aku punya kabar buruk, kompasnya rusak he.. he.. he.."
"GOOBLLOOOKK"
Bersamaan ketiga orang menyerbu Oki, memukulinya dan menginjak-injaknya layaknya babi. Hilang sudah arogansi dan image yang dijaga Oki selama ini.
Keributan mereka terhenti oleh suara yang memanggil, satu dari mereka mulai mendengarnya, dan meyakinkan pada yang lain. Lantas mereka semua juga mendengar suara panggilan tersebut.
Mereka baru teringat sedang berada di kuburan, tentu saja bukan suara manusia imbuh hati nuraninya. Lalu mereka lari terbirit-birit, tanpa arah yang jelas menjauhi suara panggilan.
Sekitar limar ratus meter mereka berempat mulai kelelahan, dan berhenti berlari. Tanpa sadar sudah semakin dalam di area pemakaman. Oki dan sang lelaki sempat berselisih di sini, ia menyalahkan Oki karena memilih jalan pada pemakaman ini. Tetapi Oki menyangkalnya, karena kompas yang dipegangnya rusak.
Megumin berusaha menenangkan mereka berdua, meyakinkan bahwa jika ada jalan masuk pasti ada jalan keluar. Perkataannya itu sangat logis, dan mampu diterima oleh akal sehat mereka. Sang lelaki meminta pertanggungjawaban Oki, ia tak mau tak jika ada hal buruk yang menimpanya atau kekasihnya.
Kuburan yang luas ini seperti labirin yang menjebak Oki dan lainnya. Menyusuri jalan setapak tak membuahkan hasil, hanyalah batu nisan yang menjumpai mereka. Apalagi bau wangi-wangian yang khas dari pemakaman membuat bulu kuduk berdiri. Bagi yang berpasangan enak sekali, tinggal berpeluk mesra.
Semak belukar tiba-tiba bergerak sendiri, seperti ada sesuatu dibaliknya. Oki berharap semoga yang muncul bukanlah hantu atau sejenisnya. Kabur tak menyelesaikan masalah, rasa penasaran membawa Oki untuk memerikapa yang ada di balik semak-semak. Akan lebih bahaya jika di dalamnya adalah seekor ular, oleh karena itu Oki sempat berpikir mencari ranting untuk menjaga jarak.
Ranting yang dipegangnya mulai membilah semak, perasaannya semakin tak enak bergejolak tak menentu. Sementara tiga anak lainnya bersembunyi dibalik punggung Oki. Usai menelan ludah, Oki sudah siap menerima konsekuensi apa yang terjadi selanjutnya—membuka dedauan yang menutupi penglihatan.
"WOOOOAAAHHH" serentak teriakan kecewa keluar dari mulut mereka, ternyata hanya tikus yang lagi ena-ena. Namun tidak untuk teriakan susulan, rasanya ada telapak tangan yang menjamah bahu Megumin. Ketiganya berteriak bukan karena takut akan sesuatu, tetapi kaget karena teriakan Megumin.
Kemudian keluar suara yang membuat Megumin semakin merinding, nafas dingin berhembus pada telinga Megumin, "kenapa kalian lari? Padahal aku daritadi memanggil kalian"
Dengan cepat semuanya menoleh ke belakang, terlihat seorang gadis berambut kepang berkacamata. Siapapun juga pasti kaget dan lari jika seseorang menyapa dengan misterius dari belakang.
Gadis kepang memperkenalkan dirinya dari kelas A yang menjaga area dekat checkpoint. Saat dirinya buang air kecil, tertinggal oleh temannya malah tersesat ke dalam makam ini, begitulah jelasnya.
Gadis kepang mengira Oki dan ketiganya adalah teman dari kelas A, karena memakai baju yang sama. Oleh karena itu, sejak awal masuk pemakaman ia terus memanggil dan mengejar mereka.
Perkataan gadis kepang menyenangkan hati Oki, tandanya di dekat terdapat checkpoint. Lantas ia menanyai gadis kepang tersebut mengenai letak checkpoint. Sedikit kesal dia menjawab pertanyaan Oki, jika tau mana mungkin gadis kepang tersesat hingga ke pemakaman. Benar-benar jawaban yang tak bisa diharapkan, terpaksa mereka bergabung untuk menemukan jalan keluar.
Suara gemuruh terdengar dari langit, sesuatu yang buruk akan terjadi. Meski bodoh, Oki sudah menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia mempercepat langkah kakinya. Hanya butuh beberapa detik hujan mulai turun, beruntung di sini pohonnya lebat sehingga bisa menghambat hujan turun.
Rintikan hujan perlahan membasahi kepala mereka, bergegas Oki mengambil keputusan untuk berteduh di gubuk yang dilihatnya dalam radius sepuluh meter.
Sesekali Oki menghempaskan air dari bahunya, dengan keyakinan akan membuat bajunya bisa lebih kering. Dilihat dari bangunannya gubuk ini sudah cukup tua, selain itu juga tak ada lampu penerangan di dalam.
Bertemu gadis kepang ternyata ada untungnya, ia membawa lilin, serta beberapa peralatan yang sangat membantu. Itu bisa mengahangkat ruangan, inisiatif mereka membentuk posisi melingkar dan saling berdekatan.
Hujan tak kunjung reda, suasana di dalam ruangan ini semakin sesak. Sepasang kekasih mulai bergumam, sang wanita berkata ia menjadi pusing tanpa sebab. Oki, memarahinya jangan manja di depannya—jika ingin manja berduaan dengan kekasihmu saja.
Lantas sang perempuan membantah, ini bukan pusing yang dibuat-buat. Rintikan hujan yang mengenai kepalanya mungkin sudah menimbulkan efek demam. Ia mulai merengek kepada kekasihnya, takut akan suatu hal. Tentu saja sang lelaki, memeluk dan mengelus rambutnya untuk menenangkan kekasihnya.
Sekitar satu jam tiga puluh menit hujan berlangsung, bahkan untuk orang yang cerwet sekalipun sudah kehabisan cerita untuk dibicarakan. Rasa capek, serta kedinginan mendiamkan orang-orang itu—suasana menjadi hening. Perlahan kelopak mata menjadi sangat berat. Semakin berusaha terjaga, maka semakin ngantuk pula.
Tak sampai enam puluh detik sepasang kekasih yang bersandar sudah tertidur pula. Oki yang mendekapkan wajahnya ke lutut juga mulai terkantuk, dia sudah setengah sadar memasuki alam mimpi. Hatinya berkata, menyerah itu lebih mudah daripada bisa melakukan sesuatu. Kesadaran mulai pudar, antara dunia nyata dengan alam mimpi menjadi tidak jelas—terjungkir balik. Ia melihat dirinya keluar dari ruangan, berjalan ke arah yang tak tentu. Ia merasakan rintikan hujan, namun tidak merasa basah.
Tubuhnya bergerak sendiri tanpa perintahnya, tiba-tiba dia punya keinginan untuk berlari. Tak ada alasan dia melihat ke belakang, ternyata sesuatu mengejarkan. Kini mengerti kenapa harus lari, semakin lama-langkah kakinya semakin berat untuk berlari mengurangi kecepatannya.
Dari belakang seseorang dengan rambut panjang masih berusaha mengejarnya, ia tampak lebih cepat berlari seperti binatang menggunakan kedua kaki dan kedua tangannya. Ia mulai meraung, berusaha meraih tubuh Oki.
Oki merasakan sesak napas, ia kesusahan untuk bergerak. Ia mencoba melewati batang pohon, dan berniat sembunyi di balik batang. Dengan amat kesusahan ia berhasil melewatinya. Makhluk gondrong di belakangnya tiba-tiba hilang begitu saja, hawa keberdaaanya juga tak bisa dirasakan Oki.
Oki menelan ludah, berfirasat bahwa semuanya berakhir—tapi ternyata tidak, makhluk buruk rupa yang dekil muncul begitu saja dua sentimeter di hadapan Oki. Ia menjerit ketakutan, spontan memukul kepala makhluk halus dengan batu. Kembali ia berlari dan melompati ranting-ranting.
Dengan cepat makhluk gondrong menyerangnya dari samping, membuat Oki terguling beberapa meter. Saat ia membuka mata, Oki sudah melayang di udara yang terlihat hanyalah jurang yang gelap. Ia sudah tak bisa bersuara lagi—hanya terdengar suara angin yang dahsyat meruntuhkan dirinya ke dalam jurang.