Operasi dimulai oleh Leo yang berteriak ke atas untuk memberikan tombak padanya. Ia berusaha menusuk-menumbuk-mengoyak daging paus supaya kipas yang tersangkut bisa lepas dan kembali berputar. Tiga orang lainnya turun dan ikut membantu, Obama mengusulkan untuk membakar paus dengan minyak—selain itu juga bisa sebagai perlindungan diri dari serangan hiu. Kali ini Obama cukup pintar, dibanding ketiga orang lainnya, aku salut padanya. Memang nyala api tak begitu besar, namun memberikan efek yang signifikan melunakkan jasad paus.
Api mulai menyambar ke bangkai paus. Mereka berempat tampak serius menusuk dan membelah daging. Para hiu mulai meninggalkan perairan yang tercemar minyak, sehingga mereka berempat bisa lebih leluasa lagi. Walaupun hiu mulai menjauh tetap saja bukan hal yang mudah mengoyak daging paus yang begitu tebal, ditambah medan yang licin terpeleset bukan lagi menjadi hal yang mengejutkan.
Selanjutnya mereka berempat memakai perlengkapan diving—menyelami lautan dan mengitari bangkai paus untuk membelah sebagian daging dari sisi lain. Segera menemukan titik kipas, mereka kembali memotong dagingnya. Pergerakan tubuh sangat berat di dalam air jauh berbeda saat di daratan. Memotongnya di dalam air hampir mustahil. Tak kehabisan akal, mereka memasang peledak untuk menghancurkan bagian yang telah ditargetkan. Dengan perhitungan yang matang semoga tak sampai menghancurkan kipas pendorong kapal.
Usai menyalakan peledak mereka bergegas berenang kembali ke permukaan menghindari jangkauan ledakan Leo, Davinci, dan Obama sudah mengambil nafas lega di dek kapal. Ketiga orang itu baru menyadari bahwa Oki belum kembali ke permukaan. Selicin belut mereka bertiga menyelam mendapatkan Oki. Kaki Oki sepertinya kram, dan tak bisa naik ke permukaan. Rasa kram di dalam air benar-benar luar biasa hingga membuat tak sanggup bergerak. Ini menjadi masalah serius ketika berada di lautan—bahkan kau bisa kehilangan nyawa karenanya.
Menyelam kembali ke laut sangat berbahaya, apa mereka sempat mendapatkan Oki kembali sebelum terjadi ledakan? Warna air laut berubah menjadi kemerah-merahan, gemuruh dari dalam air mulai terasa. Mereka berempat tak kunjung menampakkan diri ke permukaan. Apa mungkin mereka terkena ledakan? "Kita harus menyusulnya"
Ledakan sudah terjadi, kapal terombang-ambing hingga kami terpental ke sana-sini. Apapun yang terjadi pada kami tidak penting, yang utama adalah nasib keempat pahlawan yang menyelami lautan. Air memang bisa meredam ledakan yang terjadi sehingga efeknya tak begitu kuat dibanding di udara bebas, tetap saja jika terlalu dekat tubuh manusia bisa tercerai berai jika terkena radiasi secara langsung. Getaran berlangsung hingga satu menit, waktu yang cukup lama untuk sebuah getaran. Bergegas aku ke tepian berharap mereka berempat sudah kembali ke permukaan laut.
Sedetik kemudian Obama menampakkan diri sambil menggelengkan mukanya. Siaaall… tanpa pikir panjang aku hendak terjun ke air, tapi Ringgo sudah mendahuluiku—tak mau kalah aku menyusulnya. Tanpa perlengkapan apapun aku menyelami lautan, waktu adalah taruhannya. Menunggu memasang peralatan diving akan memperlambat waktu penyelamatan. Oleh karena itu aku harus berenang dengan cepat mengingat napasku terbatas. Satu menit adalah waktu maksimal yang kumiliki di dalam air, lebih dari itu aku akan menjadi beban.
Di dalam air kulihat daging tercerai berai bekas terdampak ledakan, aku harap itu bukan daging teman-teman. Aku tak memakai perlengkapan diving sehingga tak bisa menyelam lebih dalam, kupaksakan mataku untuk tetap terbuka meski rasanya begitu perih terkena air laut. Kulihat Dav yang masih berusaha mengangkat Leo, dan Oki yang sudah tak sadarkan diri. Kemungkinan mereka berdua yang paling dekat dengan daya ledak, sehingga tubuhnya tak mampu menahannya. Secepat torpedo aku dan Ringgo membantu Dav merangkul mereka menuju kembali ke permukaan. Leo dan Oki tak sadarkan diri akibat terkena efek ledakan, sedangkan Dav masih gemetar merasakan sisa-sisa sensasi ledakan. Mereka berdua segera dibawa ke ruang medis untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Kipas pendorong akhirnya berputar—nahkoda kembali melanjutkan pelayaran. Para siswa termenung bangkai paus yang dimakan oleh burung pemakan bangkai. Namun, sebenarnya predator paling berbahaya adalah manusia. Harus berapa banyak lagi biota laut mati karena ulah manusia? Tak hanya sampah plastik yang menjadi faktor utama kematian para binatang itu… tapi juga perburuan liar-cepat atau lambat akan memunahkan spesies yang ada.
Akhirnya kami bisa lepas dari situasi sulit, begitu pula dengan ombak di laut yang sudah sedikit lebih tenang. Perairan paling tenang adalah perairan paling berbahaya, karena di sana adalah sarang dari monster ganas. Sama halnya dengan tempat yang kukunjungi saat ini, kunaiki anak tangga ini mempersiapkan mentalku. Tetap tenang dan fokus, aku tak boleh menunjukkan wajah pengecutku. Kibaran bendera kapal yang diterpa angin benar-benar menggambarkan kengerian orang yang berada di sana sendirian. Terlihat punggung seseorang yang menikmati angin sore, lalu aku menghampirinya.
"Alice" keberadaanku mengagetkannya, ia berbalik menoleh kepadaku.
"apa lukamu sudah sembuh?"
"yaa.. kurasa pipiku sudah tidak bengkak" sambil memegang pipinya
"bukan—maksudku apa luka hatimu sudah sembuh?"
"apa maksudmu?" bertanya seakan tidak mengerti
"harus berapa lagi yang kau korbankan untuk memuaskan hasratmu? kau-ini benar-benar kanibal!" jawabku memojokkannya
"sepertinya berpura-pura di depanmu memang tak ada gunanya. Kau tau bahwa seekor hiu adalah kanibal sejak dilahirkan di dunia. Kalau boleh aku bertanya—sejak kapan kau mengetahui rencanaku?"
"kau ini… rupanya lihai juga sampai melibatkanku dalam rencana busukmu. Sejak awal aku sudah mengetahui rencanamu. Lalu apa yang kau dapatkan setelah berhasil meluapkan rasa dendammu?"
Dia tak menjawab pertanyaanku, malah tertawa terbahak-bahak sambil merentangkan tangannya menghadap matahari terbenam. Dalam tawanya itu berlinang air mata mengingat kejadian tujuh tahun yang lalu. Seorang anak kecil yang tersungkur ke tanah—hingga pantatnya kena debu jalan. Ia tak bisa apa-apa… tak berdaya bahkan dicaci maki saudaranya. Dia lebih kecil daripada lainnya, tak berdaya, tapi yang lebih buruk lagi ia lebih miskin daripada yang lainnya.
Kemiskinan itu menghambat dirinya… beribu-ribu keinginannya tak pernah terpenuhi. Bahkan kedua orang tuanya mengurung cita-citanya. Ia melihat realita di balik tumpukan besi berkarat. Pagi hari saudaranya pergi dengan kesibukan masing-masing, tiba saat sore hari tumpukkan besi berkarat menghiasi halaman rumah mereka. Si bungsu hanya bisa berdoa pada dewa besi, supaya memberinya besi yang berlimpah—dengan begitu si ibu akan memasakkan 'daging tempe kesukaannya' tapi hiu tetaplah hiu, dia adalah monster karnivora yang takkan puas hanya dengan diberi lauk tempe.
Sesekali ia mencoba melawan yang kuat, tetapi tetap saja yang punya uang yang akan menang. Tahun demi tahun ia mulai menyadari keciptaannya di dunia. Begitu tak adilnya dunia ini baginya. Ia sadar bahwa hukum yang berlaku di dunia ini hanya memihak orang kuat. Namun, orang yang kuat adalah orang yang menyadari kelemahannya. Bertahun-tahun ia bekerja sebagai kacung dimana pun pergaulannya, menyembunyikan bakat dan jati dirinya. Lalu seseorang menyadari bakat itu—dan mengulurkan tangannya kepada sang hiu.
"hanya kepada orang itu saja aku akan setia, seekor hiu bisa memakan saudaranya tapi takkan bisa memangsa induknya. Lantas bagaimana nona Alice, meski kau mengetahui rencanaku apa kau punya buktinya?"
"baiklah akan kukatakan kepadamu"
Pertikaian sepasang kekasih di bar adalah awal kau memulai aksimu. Kukira hanyalah pertengkaran pasangan biasa, tapi setelah terkapar lemasnya seorang pria. Itu menjadi kasus serius yang perlu diselidiki. Yaa.. mungkin aku adalah sosok yang tak terduga dalam rencanamu! Pria itu tiba-tiba mengaku mejadi kekasihku sehingga mau tak mau aku terkena imbasnya.
Aku menyadari kehadiranmu di bar, karena aku menganggapmu sebagai orang yang baik sehingga menumpulkan pisau analisisku. Pada waktu itu tak ada kecurigaan sedikit pun mengenai hawa keberadaanmu. Apalagi situasi rumit yang terjadi padaku terlibat sebagai orang ketiga dalam hubungan pasangan kekasih, aku hanya memikirkan diriku sendiri.
Sepengetahuanku selama ini kau menjadi kacung bagi anak-anak kelas D, bahkan sejak awal kali masuk sekolah kau bahkan tak berani melawan anak-anak yang menindasmu. Aku semakin yakin, saat terjadi perkelahian dengan Oki, padahal kau anak yang penakut namun berusaha membelaku—jelas itu aneh! Terbukti juga saat, masuk di ruang medis kau tak berani menentang gadis yang sedang memarahmimu, malah menuruti segala perintahnya.
Saat di bar kau sudah menyiapkan segelas air yang kau taruh di meja bar, lalu kau larutkan stimulan di dalamnya. Lantas pria yang kehausan setelah suaranya habis untuk berdebat tanpa pikir panjang akan meminum apa saja yang berada di dekatnya.
Usai pertikaian di bar kau datang kepadaku dan bertingah sok heroik di depanku sehingga terluka oleh pukulan Oki—tapi memang itulah tujuanmu untuk mendapatkan alibi di depanku. Keesokan harinya kau memulai lagi aksimu, dengan Oki sebagai targetmu. Saat musyawarah penentuan pemilihan yang menyelam kau Kau memanfaatkan posisimu sebagai kacung untuk memuaskan Oki, dengan memberikannya apapun yang dia inginkan—tentunya sudah kau campur dengan racun yang kau gunakan sebelumnya. Beruntung Leo dan Dav menyadari Oki yang sedang kram otot, berusaha mengangkatnya ke permukaan.
"hahaahha… luaaar biasaaa Alice. Aku salut padamu. Lantas apa yang kau mau dariku?" seketika mendekatkan wajah dan menonjolkan bola matanya padaku.
"apa… ternyata inikah dirimu yang sebenarnya? Apa mungkin gugurnya sebagian besar anak kelas D adalah ulahmu juga?"
Obama tak menjawabku malah tertawa terbahak-bahak, hingga seseorang hadir memastikan kebenaran itu sendiri kepada Obama.
"Apa semua itu benar Obama? Cepat jawab!"
Obama lepas dari jangkauanku, berlari menerkam gadis itu menjadikannya sebagai sandera. Ini benar-benar gila, aku tak boleh gegabah. Gadis itu masih tak mempercayai tindakan Obama, berlagak sombong kepada Obama, karena selama ini yang ia tau Obama hanyalah seorang yang lemah. Akhirnya Obama, mengeluarkan pisau untuk menakuti gadis yang selalu memarahinya itu.
Obama menggiring dia ke tepian, bisa gawat kalau sampai jatuh ke laut. Dengan cepat kulempar jepit rambut hingga mengenai dahinya, berlari kutendang pisau di tangan Obama. Aku masih meneruskan serangan beruntunku—kali ini aku mengajukan penawaran kepada Obama supaya menyerah. Dengan gigih dia menolaknya begitu saja, berlari mengambil kembali pisaunya—segera aku melindungi gadis incarannya. Ternyata prediksiku salah, ia menggunakan pisau itu untuk memotong tali pengait lalu kabur menggunakan sekoci.
Dia berhasil lolos kali ini, aku tak perlu mengejarnya karena dia bukan prioritasku saat ini. Mungkin saat ini aku hanya bisa melakukan check, tapi untuk langkah selanjutnya akan kupastikan checkmate Obama! Lihat saja nanti. Usai menepuk-nepuk rokku dari debu, kuraih tangan gadis yang duduk di lantai.
"ma-maafkan aku!" aku heran dengan ucapannya itu, bukannya berterimakasih malah minta maaf padaku. Ya mungkin itu timbul dari rasa bersalahnya, yang seenaknya menuduhku sebagai perebut kekasihnya. Setidaknya aku harus memberikan suatu peringatan kepadanya supaya dia tidak mengulanginya.
Lalu aku menyipitkan mataku memandang tajam gadis di depanku, "baiklah aku akan memaafkanmu, selanjutnya jangan menghalangi jalanku!"