Satu minggu pernikahanku telah berlalu, tetapi aku masih tinggal seorang diri. Tanpa adanya satu pun orang yang bisa menemaniku di waktu malam, bahkan waktu makan. Bibirku mengerucut, daguku menempel pada permukaan meja dekat rak buku.
Mataku sesekali mengedip, pandanganku masih menatap redup cahaya pagi. Dua tanganku bergelantungan di bawahnya.
"Huuuft!"
Mengembus napas kesal karena kejenuhan. Tapi kenapa? Karena kurang merasa nyaman, dua tanganku mendorong ujung meja hingga kepalaku terangkat. Meraih ponsel, lalu menggeser layar bersinar di depan mataku.
Sebuah kotak galeri dalam ponsel. Mataku memperhatikan foto-foto keluargaku. Aku, ayah, ibu, dan adik sepupuku—Riko. Dia pemuda manis yang masih berada di bangku kuliah.
"Hmmm … gue kok jadi rindu sama dia, ya?" Ketika bibirku condong ke depan, tiba-tiba mulai menggerutu. Memiringkan kepala, meraba wajah foto di layar ponsel lamaku seakan dapat mengirim rasa rindu.
"Riko," sebutku sambil meraba dan memperhatikan raut wajah si manis.
Adik sepupu laki-laki yang suka memelihara poni bergelantungan di samping, gayanya sudah mengalahkan anak muda zaman sekarang. Dalam foto dia tersenyum dengan salah satu tangan di pinggang, dan di sebelah tangannya merangkul pundakku.
"Apa gue mampir ke kampus dia aja kali ya?"
"Cuma dia yang belum tahu kalo gue udah nikah."
Kepalaku sontak menoleh, ke dekat ponsel baru pemberian Jose—suamiku. Lalu jemariku menaruh kembali ponsel, beranjak tanpa memedulikan meja dan keadaan di kamar sempit ini. Kakiku bergegas ke ruang kamar yang ada di sebelahnya. Lebih tepat di depanku, sebelah kanan.
Aku masuk, berhenti dan memperhatikan kekosongan dalam ruangan ini. Kenangan itu? seminggu yang lalu, aku terngiang dengan suara yang membisingkan ruang kamar lebar ini. Tepat ketikaku berdiri dengan pakaian mini di depan lemari baju. Protes karena pakaian tidur terlalu pendek dan seksi.
Seketika aku menghamburkan lamunan itu, kepalaku menggeleng-geleng, tidak ingin mengingat kejadian yang menjijikkan. Namun aku membutuhkan kamar mandi, lalu segera menyusuri ruangan untuk meraih handuk baju.
Tapi, di depan pintu dekat bakul keranjang baju. Penuh dengan pakaian kotor. Mataku melihat tumpukan bajuku yang sudah dua hari tidak dicuci.
"Ah … nyebelin banget! Masa gue harus nyuci lagi?" keluhku. Lagi-lagi bibir bawahku menjulur sangat panjang, kesal dan meringis seorang diri.
Dua tanganku meraih bakul lalu memasukkan semua tumpukan baju ke dalam mesin cuci. Aku berdiri sambil mendengar suara mesin cuci sedang berputar tenang. Pikiranku hampa.
"Kalo di rumah, mama yang cuci baju. Terus kalo pagi mama udah nyiapin makanan. Lah gue sekarang bisa-bisanya jadi babu rumah sendiri," keluhku sambil mengetis-ngetis ujung kuku. Kepalaku merunduk, memperhatikan setiap ujung kuku yang semakin panjang.
Jari-jemariku bermain-main nakal, tetapi pandanganku sungguh mengesalkan. Kemudian aku tidak peduli dan masuk ke dalam ruang khusus mandi. Berendam dalam bath-up sangat menyenangkan. Aku memanjakan kulit halus ivoriku.
Sesekali kuusap dengan busa yang berlimpah. Waktu telah memanggilku untuk menyudahi semuanya. Bahkan waktu ini lebih cepat dan membuatku lebih sibuk dari sebelumnya.
Aku resah, karena semua pekerjaan rumah dikerjakan olehku seorang diri.
Aku harus menjemur baju di balkon dekat ruang tengah lantai dua. Mengangkat sekumpulan baju setengah kering melalui pintu keluar. Menggerutu seorang diri tidak ada yang bisa mendengarku. Tangan-tangan halus ini harus menjemur pakaian di antara tiang besi dengan gantungan baju.
Sesekali kepalaku merunduk ke bawah, dua pengawal sudah memasuki halamanku.
"Duh, pagi-pagi udah ganggu aja!" resahku mengempaskan pakaian yang hendak kugantung.
Sudah begitu banyaknya pakaian yang sudah dijemur di antara tiang dekat balkon kecil. Aku masuk dan mengunci kembali pintu. Seluruh pandanganku gelisah, tetapi aku harus secepatnya meninggalkan ruangan yang menyebalkan ini.
Tepat di depan cermin kamar besar, aku berdiri sambil menatap penampilan yang santai. Celana levis, blouse berwarna krim, penjepit rambut dengan tas selempang kecil yang lebih berteman baik. Lalu kakiku memakai sebuah sepatu hak setengah tinggi, menuruni anak tangga dengan gesit. Keluar dari ruangan terdalam menuju ambang pintu.
Kejutan.
Dua pengawal ini hadir kembali di depan mataku.
"Selamat pagi, Nona."
Ya, pak Yoanto lebih berkesan elegan dan hormat. Dia merunduk sambil memegang kedua lengannya tepat di depan perut. Begitu pun dengan sosok Agam, mereka berdua tidak ada bedanya.
Berdiri dan menyapaku ketika hendak pergi.
"Ya, selamat pagi juga. Tapi, hari ini kasih gue waktu buat Hang Out. Gue mau ketemu saudara sepupu gue." Lugunya diriku harus meminta izin kepada mereka berdua.
"Kami akan mengantarkan nona ke mana pun nona pergi. Seperti biasa, nona harus sudah bisa memakai mobil sendiri setelah satu bulan." Pak Yoanto menebarkan senyuman memaksa, dengan tangan lagi-lagi seperti awal.
"Haa ... boleh banget!" jawabku memaksa senyum. Daguku sedikit terdongak dan menuruti keinginan mereka.
Akhirnya kami duduk di posisi semula. Mereka duduk di depan, sedangkan aku duduk di kursi belakang tanpa mengawasi keduanya. Menoleh ke lain arah, dengan raut wajah datar.
"Kalau boleh tahu, di mana kampus saudara nona itu?" tanya Agam sedikit melirik.
"Esa Unggul," ucapku singkat. Nada suaraku sedikit datar, masih memalingkan wajah ke arah jendela tepat di sebelah kiri.
"Kok ke sana?" keluh Yoanto mengerutkan kening.
"Kan siap antar?!" sosorku dengan alis menegak tinggi. Kesal, dua tanganku bersedekap kembali menoleh ke arah kiri.
"Tenang aja, Nona. Kita akan anterin," putus Yoanto tegas.
Mobil ini melaju, tidak peduli seberapa jauh yang akan kami lalui sekarang. Mungkin, akan sampai beberapa puluh menit saja, lalu memutar kembali pada malam hari. Aku sengaja melakukannya supaya tidak berada lebih lama di rumah baruku itu.
Hampir beberapa puluh menit berlalu, kami melewati jalan yang mengurangi angka kemacetan. Bertemu dengan bangunan yang sudah aku harapkan. Dengan gesit, tanganku membuka pintu setelah mobil memarkir di salah satu halaman parkiran.
Dua pengawal itu berdiri dan hendak menghadang jalanku.
"Oke, nggak akan lama kok! Gue pasti balik lagi." Tanganku mengacung ke depan mereka berdua.
Rasanya, aku tidak merasa bebas setelah diikuti oleh dua pengawal ini. Tubuhku memutar untuk menemui seseorang yang akan aku hubungi sekarang.
("Lo di mana? Kakak udah nyampe nih!")
Suaraku sedikit keras di antara jalanan, begitu percaya diri melewati banyaknya kerumunan. Berhenti di depan sebuah gerbang kampus yang tidak jauh dari bangunan tersebut. Tepat di bawah pepohonan, seseorang melambai hangat ke arahku.
Kepalaku tertoleh ke wajah yang sudah tidak asing lagi. Kakiku mulai mengguyur jalanan, tetapi seseorang telah merampas ponselku yang sedang kupegang.
"Hah!" Kepalaku berputar, mulutku terayun lebar sambil memelotot ke arah pria berjaket tebal merampas paksa ponsel berharga milikku.
Dengan cekatan, Riko—adik sepupuku melaju pelariannya untuk mengejar si pencopet. Namun tanganku menarik kuat lengannya, tetapi aku malah terbawa pelariannya mengejar si pencopet.
"Riko!!"
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!
Creation is hard, cheer me up!
I tagged this book, come and support me with a thumbs up!
Like it ? Add to library!
Have some idea about my story? Comment it and let me know.