Hari ketiga.
"Aku terlambat lagi, maaf." Amelia yang baru datang terlihat ngos-ngosan. Ia segera memesan minum dan mengatur nafasnya.
"Kali ini alasannya apa?"
"Eh, kenapa?"
Dani menggeleng, "Pingin tahu aja."
"Emm..." Amelia berpikir sesaat. Otaknya dapat bekerja dengan cepat untuk menciptakan naskah terbaik yang harus ia bawakan di depan Dani. "Aku menemani ibuku ke pasar. Ibu kalau belanja lama tapi enggak mau ditinggal, jadinya ya begitu."
"Oh."
"Oh? Seperti sudah bakal ketebak kalau aku bohong."
"Aku memang tahu," Dani mengangguk "Karena ini alasan paling enggak masuk akal yang pernah kamu bilang selama ini."
Amelia mengerutkan keningnya tidak mengerti.
"Mana ada Tuan Putri yang mau ke pasar panas-panas. Motor di pakai kakak buat ngambil laundry itu juga bohong, 'kan? Terus nemani teman belanja. Yang benar itu teman yang nemani kamu belanja," jelas Dani.
"Wah, sudah mirip Shinichi, keren!" Bukannya malu karena kebohongannya terungkap, Amelia justru kagum dengan kemampuan Dani. "Jadi kenapa kamu ngajak ketemuan?" tambahnya mulai ke inti pembahasan.
Dani menyesap jus tomatnya. Pilihan minuman yang sama setiap kali ia datang ke kafe yang sama. Yang letaknya berdampingan dengan toko aksesoris dan berbagai macam hal mengenai game.
"Selama dua tahun ini aku pura-pura baik-baik saja saat ayah pergi berhari-hari tanpa kabar. Aku tahu ayah sangat terluka dengan kepergian ibu dan Aeni jadi bekerja mati-matian siang dan malam. Berharap dengan itu luka dan kesedihannya bisa terhapus. Karena aku tahu apa alasan ayah seperti itu, aku jadi enggak bisa merengek ataupun protes. Karena aku juga sama, ingin luka dan kesedihanku cepat terhapus. Jadi, yang bisa kukerjakan cuma bermain game seharian. Itu satu-satunya cara yang aku tahu, yang bisa membuat waktu cepat berputar." Dani bercerita panjang lebar mengenai dirinya.
"Jadi intinya aku dipanggil ke sini buat jadi tempat curhat?" Amelia menaikkan alisnya.
Suasana harusnya berubah sedih dan otak seolah sedang memainkan musik latar yang menyedihkan. Orang yang diajak bicara mungkin juga akan mengingat beberapa hal mengenai keluarganya. Tapi tidak. Kalimat Amelia sama sekali tidak menghidupkan suasana sedih.
"Tuan Putri, apa kamu sama sekali enggak peduli pada orang lain?" Dani heran sendiri.
Kalau orang lain mendengar cerita sedih pasti akan memberi tanggapan yang menunjukkan perhatiannya atau paling tidak berpura-pura mengerti dan turut bersedih. Tapi tidak. Amelia benar-benar tidak peduli, terlalu cuek.
"Tergantung. Kalau ada untungnya, ya bisa dipertimbangkan." Lagi-lagi Amelia memberi komentar sesukanya. "Dani, kamu... jangan-jangan suka sama aku. Kamu teman dekatnya Ken jadi enggak mungkin. Pokoknya enggak boleh! Nanti bisa runyam kalau aku butuh perantara antara aku dan Ken."
Dani menghela nafas.
"Tuan Putri, saya tahu saya hanya rakyat jelata yang tidak pantas. Jadi, jangan khawatir!" Dani berkata dengan penuh penghayatan.
"Bagus." Amelia mengangguk. "Jadi intinya apa?"
"Aku sudah membunuh 3 orang." Dani berbicara tanpa beban. Seolah kata membunuh yang ia gunakan digunakan untuk membunuh nyamuk atau semut, bukannya manusia.
Amelia yang siap mecicip pisang keju yang ada di piring Dani hanya mengaga. Pisang keju yang sudah ia sendok dan siap santap di depan mulutnya pun jatuh di meja.
Hening beberapa menit. Setelah cukup mencerna kalimat terakhir yang baru Dani ucapkan, Amelia terbahak.
"Kalau semua alasanku kamu anggap bohong, alasanmu sendiri apa? Ini konyol." Wajah Amelia memerah karena terlalu puas tertawa.
Ekspresi Dani yang tetap serius, mendadak membuat tawa Amelia lenyap.
"Jadi itu betul?"
"Aku harap ada orang yang bisa menghentikanku," pandangan Dani menerawang jauh "Aku harap Ken bisa sedikit mengerti atau setidaknya dia datang untuk bertanya. Tapi..." Kalimat Dani terhenti setelah menyadari ekspresi seperti apa yang Amelia tunjukkan.
"Jangan lagi bicara denganku. Saat ketemu berpura-pura saja enggak kenal." Amelia mengenakan tasnya, bersiap pergi. "Dan juga... Ken pasti akan kesulitan kalau orang-orang tahu dia berteman dengan seorang pembunuh. Jadi jauhi juga dia. Satu lagi…" Amelia bersiap meninggalkan Dani. Tapi kemudian langkahnya berhenti. Masih ada yang belum ia sampaikan. "Berharap orang lain mengerti dan datang unguk menghentikanmu itu kekanak-kanakan. Benar-benar menyedihkan!" sinisnya di akhir kalimat.
Amelia pergi. Benar-benar pergi tanpa menoleh lagi.
Ken menghela nafas lagi.
"Seperti yang diduga dari Tuan Putri. Kepribadiannya memang sesuatu sekali." Dani berbicara pada dirinya sendiri, kemudian tertawa. "Kalau sudah seperti ini jadi enggak perlu ragu lagi."
***
"Masih belum ada perkembangan?" Haikal bertanya pada Iwata.
Iwata menggeleng. "Hari libur seperti ini, apa yang anak-anak itu kerjakan?" Iwata balik bertanya.
"Hari ini ada reuni di sekolah. Ketiganya bilang akan datang karena jam mereka kosong." Haikal menyeruput kopinya yang sudah lewat setengah. Ia melirik jam di dinding kantin. "Ah, sial! Waktunya berganti tugas, aku terlambat!" Haikal mengumpat. Ia pergi terburu-buru dengan membebankan biaya kopi yang baru diminumnya pada Iwata.
Haikal pergi, Huda dan Ken datang. Setelah memesan menu makan siang mereka, keduanya duduk bergabung dengan Iwata.
"Baru istirahat?"
Pertanyaan Iwata hanya dijawab anggukan oleh Huda.
"Ada perkembangan terbaru dari Dani?" Kali ini Iwata bertanya pada Ken yang menguap lebar sembari merentangkan tangannya tinggi-tinggi.
Ken menjawab dengan menggelengkan kepalanya.
Oke. Sepertinya ada sindrom malas berbicara yang baru saja menjangkiti Huda dan Ken. Jadi Iwata memutuskan untuk tidak bertanya lagi.
Karenakan satu-satunya terduga yang dimiliki telah meninggal, usulan Ken yang Iwata ajukan ke Ketua tim untuk mengawasi Dani diterima. Tugas mengawasi pun dibebankan pada Huda dan Ken, bergantian dengan 2 orang dari tim tambahan.
Makan siang Iwata telah selesai, ketika ia akan beranjak poselnya berdering.
"Ya, Ndan?"
Panggilan dari Ketua tim. Panggilan genting. Ketua tim berbicara dengan nada tegas dan cepat. Pelaku sudah bergerak. Ia meminta semua anggota Tim Khusus berkumpul di tempat yang ia sebutkan.
"Ayo, kumpul! Cepat!" seru Iwata setelah menyelesaikan panggilannya.
"Eh, baksoku baru datang." Huda yang baru mengangkat sendoknya diburu Iwata.
"Ayo Pak, cepat!" Kali ini Ken ikut memburu, ia meninggalkan makanan yang belum disentuhnya sama sekali.
"Dicicipi sebentar, takut kepohonan[3]." Huda yang tidak tega meninggalkan baksonya, menyeruput sesendok kuah ke dalam mulutnya. Spontan ia berjingkrak-jingkrak kepanasan. Kuah yang baru mendidih itu membakar lidahnya. "Ah sial!" umpat Huda. "Bu, baksonya disimpan dulu ya." Huda berpesan kepada ibu kantin saat membayar.
Setengah berlari, Huda menyusul Iwata dan Ken yang sudah berada di kejauhan.
Menurut apa yang Ketua tim sampaikan, sebuah bingkisan berisi bom ditujukan untuk Laka Lantas Polresta Selatan. Bingkisan itu tidak mencantumkan identitas pengirim dan dikirim dengan memesan waktu. Karena mencurigakan, bingkisan lantas tidak langsung dibuka melainkan diperiksa terlebih dahulu.
Jika kecurigaan Ketua tim benar, kiriman bingkisan bom masih termasuk dalam rangkaian kasus yang sedang Tim Khusus tangani.
"Ketua tim curiga seperti itu?!" seru Huda dengan suara yang terlalu keras. Akibatnya Iwata yang duduk di kursi kemudi samping Huda harus menjauhkan dirinya.
Huda, Iwata, dan Ken berada di satu mobil dalam perjalanan menuju Polresta Selatan. Ketua tim sudah berada di sana, sementara Haikal menyusul dari tempatnya bertugas.
"Ini berbeda dari yang diperkirakan." Ken berbicara pada dirinya sendiri.
"Jadi menurut Ketua tim seperti ini," Huda mulai mengira-ngira. "Korban pertama, orang yang mengabaikan. Korban kedua, orang yang menabrak. Korban ketiga, orang yang bertugas mensterilkan jalan tapi lalai, dan korban keempat adalah kantor polisi yang tidak menindak penyebab kecelakaan malam itu. Begitu?"
"Mungkin. Saya tidak tahu." Iwata sendiri ragu.
Untuk memeriksa dan menjikkan bom, tim Gegana di turunkan. Mereka memindahkan bom ke halaman depan dengan sangat hati-hati. Iwata, Huda, dan Ken sampai saat tim penjinak bom melakukan persiapan. Haikal sampai tidak lama kemudian.
Ketua tim yang berada di sisi lain, bersama petugas dari unit Laka Lantas sedang mengintrogasi si kurir.
"Itu benar-benar sebuah bom?" Huda bertanya.
Haikal mengangguk. "Tim penjinak bom sedang memeriksa daya ledaknya," tambahnya yang baru memeriksa keadaan.
"Ada yang salah. Ada yang salah." Iwata berkata kepada dirinya sendiri. Keningnya berkerut dalam, berpikir.
'Hari libur seperti ini, apa yang anak-anak itu kerjakan?'
'Sore nanti ada renuian. Ketiganya bilang akan datang karena jam mereka kosong.'
"Ini pasti jebakan!" Iwata berseru pada teman-temannya.
"Apa?"
"Haikal, hubungi petugas yang mengawasi anak-anak itu. Pastikan mereka aman!" Iwata memberi komando. Sebelum sempat mendengar jawaban Haikal, ia pergi ke tempat mobil dinas yang terparkir. Huda dan Ken yang sebelumnya datang bersama juga membuntut tanpa banyak tanya.
Haikal juga menyusul dengan kendaraan yang dibawanya. Tujuannya jelas, memastikan dengan mata kepala mereka sendiri keberadaan anak-anak itu aman.
Tidak mudah bagi petugas yang mengawasi Darwis Edi, Ramli, dan Arifin untuk melakukan pencarian seorang diri di aula sekolah yang luas, yang dipenuhi oleh para alumni dan panitia. Belum lagi dengan kemungkinan ketiganya menyebar untuk melihat-lihat sekolah yang baru mereka tinggalkan tahun lalu.
"Ada?" Haikal yang baru datang bertanya pada tugas yang seharusnya menjadi petnernya mengawasi ketiga anak itu.
Petugas itu menggeleng.
Untuk mempersingkat waktu, keempatnya berpencar, mengelilingi sekolah, dan memeriksa aula sekali lagi.
Iwata akhirnya bisa menarik nafas lega saat melihat Arifin merokok di belakang aula bersama seorang temannya. Iwata merasa mungkin saja ia paranoid dan terlalu cepat mengambil kesimpulan.
"Arifin ada di belakang aula. Yang lainnya bagaimana?" Iwata bertanya saat bertemu Ken di koridor.
Ken menggeleng, "nihil."
"Di kantin, ruang guru, belakang sekolah nihil." Huda yang juga baru datang memberi laporan.
"Di kelas-kelas juga," Haikal menambahkan.
Tampaknya Iwata terlalu dini untuk merasa lega. Kenyataannya dua dari tiga yang harus mereka awasi menghilang. Pulang lebih dulu sangat tidak mungkin. Selain karena kendaraan keduanya masih terparkir rapi di parkiran, petugas yang berjaga di depan gerbang sudah memastikan tidak ada seorang pun yang meninggalkan sekolah selama acara berlangsung.
Satu-satunya jalan jika Darwis dan Ramli benar-benar hilang karena diculik adalah gerbang belakang. Saat diperiksa ternyata benar. Gerbang belakang sudah dirusak di sisi yang lainnya.
Tanpa pikir panjang, Ken segera menghubungi Dani menggunakan ponselnya. Huda juga, ia menghubungi petugas yang sedang mengawasi rumah Dani.
"Diangkat." Ken berkata pada orang-orang yang ada di depannya. "Dani, kamu di mana?"
"Di rumah. Memangnya di mana lagi." Suara orang di seberang sana menjawab. "Kenapa? Terjadi sesuatu?" Dani balik bertanya.
"Enggak." Ken menggelengkan kepalanya seolah orang yang sedang bertelepon dengannya bisa melihat gerakan kepalanya. "Oke, kalau begitu kututup teleponnya."
Ken memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku celananya.
"Saya yakin dia di rumah, main PS seperti biasa. Saya bisa dengar suara latarnya." Ken merasa lega, setidaknya untuk saat ini Dani tidak menyentuh siapa pun.
"Petugas yang berjaga juga bilang Dani tidak ke luar rumah sama sekali. Tidak ada yang datang selain pengantar makanan," Huda menambahkan.
"Eh?" Ken mengingat-ingat.
'Itu karena Bapak mendengar saya merintih saat mengangkat telepon Bapak, juga ada suara PS yang tidak dimatikan semalaman, dan suara teman saya yang mengomel pasti juga Bapak dengar.' Ken teringat kalimat yang pernah diucapkannya kepada Iwata saat pertama kali datang ke Tim Khusus.
Merasa ada yang salah, Ken berusaha menghubungi Dani lagi, tapi kali ini panggilannya tidak diangkat. Saat mencoba untuk yang kedua kalinya suara yang terdengar, "nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan..."
"Ah, sial!!" Ken mengumpal keras-keras. Seperti halnya Iwata, Ken terlalu cepat merasa lega. Ia tidak segera sadar telah ditipu. "Pak, bisa antar saya ke rumah Dani?" Ken beralih, meminta pada Iwata.
"Kenapa? Kamu bilang yakin dia ada di rumahnya." Iwata tidak mengerti.
"Itu... sepertinya... suara rekaman."
"Apa?!" Iwata, Huda, dan Haikal berseru bersamaan.
Segera mengerti bagaimana situasinya, Iwata setuju. Huda lagi-lagi membuntut di mobil yang sama.
Haikal memilih menemui Ketua tim untuk melaporkan situasinya. Memberikan laporan hanya melalui telepon tidak akan cukup bagi Ketua tim yang seorang perfeksionis. Ketua tim harus mengetahui situasi sedetail-detailnya dan itu hanya bisa dijelaskan dengan bertatap muka secara langsung. Apa lagi situasi yang akan dilaporkan cukup rumit.
Seperti yang Ken duga, ia memang telah ditipu. Yang mereka dapati di dalam rumah bukannya Dani melainkan orang yang tidak dikenal. Yang hanya mengenakan kutang dan kolor dalam keadaan tidak sadarkan diri dan terikat.
"Masih hidup," kata Huda setelah memeriksa.
Meski bukan saatnya merasa lega, Ken tetap bersyukur Dani tidak membunuh lebih banyak orang. Apa lagi orang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kecelakaan ataupun rencana balas dendamnya.
"Sekarang bagaimana?" Huda bertanya setelah menghubungi medis.
"Tidak ada waktu, kita harus meminta bantuan unit lain untuk melacak keberadaannya." Iwata beranjak.
"Tunggu!" Ken berkata tiba-tiba. "Apa Bapak bisa menganalisa ini?" Ken menyodorkan ponselnya ke Huda.
"Apa itu?"
"Saya merekam sewaktu Dani mengangkat panggilan pertama tadi untuk jaga-jaga. Barangkali kalau dianalisa kita bisa mendapat petunjuk," jelas Ken.
Huda tersenyum, "Kalau seperti itu saja tidak bisa, apa gunanya berada di unit Resmob." Huda menepuk bahu Ken.
"Pertama-tama, ayo kita kembali dulu!" Iwata menimpali.
***
[3] Sebuah mitos yang terkenal di Kalimantan yang menyebutkan jika seseorang ditawari makanan maka haruslah disantap atau dicicipi atau jika sedang benar-benar ingin memakan sesuatu maka haruslah dipenuhi keinginannya itu agar tidak terjadi kesialan.