"Aku lapar, ada makanan?" Ken yang baru datang langsung naik ke lantai dua. Menemui si tuan rumah di kamar. Yang seharian hanya sibuk di depan layar 32 inch dengan stik PS yang tidak mau lepas dari tangannya.
"Kamu ini! Sebelumnya protes karena enggak pernah hubungi, sekarang datang-datang minta makan. Sebenarnya aku ini istrimu atau ibumu, sih!" sungut Dani.
"Aku lapar, aku lapar! Minta makan!" Ken masa bodoh, semakin merengek kekanak-kanakan.
Dani menghela nafas. Ken adalah teman sekaligus cobaan terbesarnya dalam hidupnya. "Ayo, turun!"
Dani meninggalkan permainannya begitu saja meski pertarungan masih berlanjut. Ia turun lebih dulu, Ken menyusul beberapa menit kemudian setelah menyempatkan menekan tombol pause.
Selagi Dani mengeluarkan sisa menu sarapan sekaligus makan siangnya untuk dihidangkan ke Ken, ia menyuruh Ken mengambil nasi sendiri di pemanas.
"Ayahmu pergi lagi?" tanya Ken.
"Iya, kemarin pagi."
Ini bukan pertama kalinya Ken minta makan di rumah Dani. Meski mereka sangat jarang mendapat hari libur karena tinggal di asrama sekolah, tapi Ken sudah terbiasa menjelajahi dapur bahkan seisi rumah Dani. Jika dihitung-hitung ia baru 2 kali berkunjung dan sekali menginap.
Saat ada Ken, Dani terbiasa menyuruhnya mengambil sendiri apa yang dibutuhkan. Bahkan menyuruh Ken sekalian mengambilkan keperluannya juga.
"Sewaktu meninggal karena kecelakaan bersama ibumu, Aeni baru berumur 7 tahun, 'kan?" Ken mencoba membuka pembahasan. Tatapannya lurus tertuju pada foto keluarga yang ada di ruang tamu.
"Kenapa?" Dani balik bertanya karena Ken adalah tipe yang sangat jarang membahas masa lalu.
"Aku sudah lama mau bilang ini," kali ini tatapan Ken tertuju pada temannya "Aku akan mengundangmu ke rumah kapan-kapan. Kita bisa makan masakan ibuku, bertiga."
Dani mengerutkan keningnya. "Ken..." Dani merendahkan suaranya, ia menatap Ken secara langsung "Jangan ngomong yang aneh-aneh, aku jadi merinding!" tambahnya bergidik.
"Aneh?" Ken tertawa. "Itu karena aku mau menyadarkanmu kalau masakanmu kalah jauh dari rasa masakan ibuku. Biar kamu berhenti pamer."
"Yang benar?" Dani menanggapi dengan ekspresi sombong tukang pamer khas miliknya.
Hening. Ken mulai duduk di meja makan.
"Ken, sebenarnya ada hal yang belum kuberitahu." Dani kembali membuka topik pembicaraan. Kali ini ia yang berbicara dengan nada aneh.
"Apa?" Ken penasaran. Ia menjadi sangat tertarik dan mengabaikan makanan yang ada di depannya untuk sementara.
"Aku sudah kehilangan orang tuaku sejak kecil. Jadi, sebenarnya aku anak angkat."
"Anak angkat?!" Ken mengulang, takut apa yang didengarnya salah. Ini hal baru. Dani tidak pernah menyebutkannya sama sekali sebelumnya.
"Ayahku meninggal saat usiaku baru 2 tahun. Sebuah peluru nyasar merengut nyawanya saat kericuhan tahun 1998 terjadi." Tatapan mata Dani lurus, tertuju pada ujung kaki meja yang paling dekat. "Saat berumur 5 tahun, aku bertemu dengan orang tuaku yang sekarang. Jika dengan alasan kecelakaan aku kehilangan orang tuaku lagi, apa kamu tahu seperti apa rasanya?"
Dani menggerakkan bola matanya, kembali menatap Ken. Tatapan keduanya bertemu. Berusaha menilik ke dalam hati masing-masing. Ken tidak bisa berkata-kata. Situasi mendadak canggung. Ken menjadi yang pertama mengalihkan pandangannya, ia menunduk, dan memulai suapan pertamanya.
Ternyata Ken benar-benar kelaparan. Ia makan dengan lahap. Terbukti piring lauk dan sayur di depannya, sebersih dan selicin piring nasinya. Selesai makan ia mengajak Dani bermain PS beberapa ronde. Mereka memilih permainan gun attack.
"Bukannya kamu harus kembali? Kasusnya belum selesai, 'kan? Kenapa justru santai begini?" Dani yang penasaran melihat temannya terlalu santai bertanya. Ia sudah kembali seperti semula, seperti tidak pernah ada yang terjadi, tidak ada kecanggungan.
"Pak Hamzah bilang kasus harus segera dipecahkan, jadi aku harus cepat putuskan aku ada di posisi mana." Ken tidak menatap lawan bicaranya saat menjawab. Ia sedang fokus melancarkan serangan-serangan untuk bertahan hidup. Situasinya seribu kali lebaik baik dibanding saat di dapur. "Aku stres."
"Stres? Jadi cuma sebatas itu mentalmu?"
"Ah, sial!" Ken mengumpat setelah melihat tulisan game over. "Kenapa cara bicaramu jadi mirip Pak Haikal?" Ken meletakkan stik miliknya dan menatap Dani dengan sebal.
"Kalau seperti ini, jangan salahkan orang lain meyebutmu bocah. Kelakuanmu memang seperti masih bocah." Mendadak Dani menceramahi Ken. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi di Tim Khusus tapi Ken yang terlalu mudah mengeluh seperti sekarang, bukan seperti Ken yang biasanya pantang menyerah.
"Ck." Ken berdecak, semakin sebal. "Ayo, kita main sekali lagi!" Ken kembali mengangkat stiknya, tidak mengaggap penting ceramah yang baru diberikan Dani untuknya.
Tapi belum lagi kata 'start' muncul, ponsel Ken berdering. Panggilan dari Huda. Menyuruhnya kembali, detik ini juga, secepatnya.
Ken yang lupa bahwa ia tadi hanya izin keluar sebentar, panik. Ia datang ke tempat Dani tanpa rencana, tanpa sepedanya. Tiba-tiba saja ia sudah berada dalam angkot dan tiba-tiba saja ia sudah berada di dalam rumah Dani dan berteriak-teriak minta makan.
"Aduh! Aku, kn enggak bawa sepeda." Ken menepuk jidatnya.
"Pakai sepedaku aja," Dani menawarkan bantuan. "Loh, kuncinya dimana, ya?" Dani mengerutkan kening. Kunci sepeda yang biasanya di gantung di atas lemari raib entah di mana.
Dani ke luar-masuk kamar, tapi hasilnya tetap nihil. Tidak ia temukan di mana pun keberadaan kunci sepedanya.
"Ada?" tanya Ken semakin panik karena waktu menjadi semakin terbuang sementara ia harus secepatnya ssmpai ke kantor.
Dani menggeleng.
"Aduh!" Ken menepuk jidatnya lagi. "Bisa gawat ini. Mana tadi baru kena omel. Bisa mendadak dipecat dari Tim Khusus. Ya, sudah aku naik angkot aja." Ken mengambil ranselnya dan buru-buru ke luar kamar. Tapi belum sampai di tangga, ia kembali lagi ke kamar. "Aku baru ingat kalau di garasi ada mobil. Bisa minta antar?"
"Bukannya enggak mau, tapi 'kan kamu tahu kalau kuncinya ayah yang pegang."
"Aku pernah lihat kamu cukit-cukit kaca mobil di garasi pakai penggaris besi. Kamu ahlinya, 'kan?" wajah Ken berubah serius.
Dani ingat, Ken memang pernah melihatnya mencukit kaca mobil ayahnya untuk membuka paksa pintu. Ada barangnya yang tertinggal dalam mobil sementara ayahnya sudah pergi ke luar kota semenjak sehari yang lalu. Itu hari pertama Ken berkunjung ke rumahnya.
"Apa maksudnya ini?" Ekspresi Dani juga ikut serius melihat perubahan ekspresi Ken. "Kamu... yang sembunyikan kunci sepedaku?"
Ken mengeluarkan kunci rantai sepeda Dani dari saku celananya dan melemparkannya ke arah pemiliknya.
"Kamu... mencurigaiku?" Dani bertanya dengan nada datar, kemudian memasang ekspresi wajah yang terlihat kecewa.
"Bukan begitu." Ken ingin menyangkal. "Aku enggak tahu ini benar atau salah. Aku hanya mau membuktikan apa yang..."
Ken benar-benar dilema. Biasanya firasat adalah hal yang paling Ken yakini, tapi kali ini ia berharap semuanya salah. Ia berharap bukan Dani. Dani bukan pelaku sebenarnya dibalik pembunuhan yang sudah berulangkali terjadi. Yang menggunakan kecelakaan sebagai caranya untuk membunuhnya.
"Kalau begitu jangan percaya!" Dani memotong. "Kalau enggak percaya, jangan percaya sampai akhir!"
Mata Ken melebar, terkejut. Tidak menyangka Dani akan memberi tanggapan seperti itu.
Dani tidak lagi mempedulikan Ken yang masih berdiri mematung di depan pintu kamar. Ia lanjut memainkan permainannya yang sempat terhenti meski fokusnya kali ini terpecah ke banyak hal.
***