Benar apa yang dikatakan oleh ibu tentang pertunangan kakaknya itu. Tiga hari yang lalu, kakaknya—Desi sudah pulang dari luar kota. Desi adalah kakak satu-satunya yang dimiliki oleh Dika. Desi bekerja di salah satu siaran televisi nasional. Dan di sana juga Desi bertemu dengan calon suaminya itu. Kata Desi namanya Angga.
Dika sudah melihat sosok Angga tersebut dari foto yang ditunjukkan oleh Desi. Menurut Dika, Angga itu ganteng luar biasa, tak kalah dengan Revan. Tapi tetap bagi Dika Revan paling ganteng. Umur Angga dua tahun lebih tua dari paa Desi. Angga sendiri adalah anak semata wayang. Mendengar hal itu, entah kenapa membuat Dika sangat senang. Itu artinya Dika akan mempunyai kakak laki-laki.
Sekarang mereka sedang berkutat dengan laptop dan beberapa undangan yang tersebar di meja ruang keluarga. Dika yang dimintai bantuan oleh Desi pun bersedia. Toh Dika tidak ada kerjaan lagi. Tugas-tugasnya sudah selesai semalam, ditambah lagi ini hari Sabtu dimana dirinya libur sekolah.
Dika sedang menempelkan stampel nama ke undangan tersebut. Sedangkan Desi, katanya sedang menyelesaikan sedikit pekerjaan dulu sembari memberi arahan pada Dika.
"Kak emang gak cape apa ?"
"Hah ? Cape maksudnya ?"
"Ya itu kakak, kan udah pulang nih, bentar lagi tunangan. Masih aja urusin kerjaan."
Desi terkekeh, "Namanya juga kerjaan Dik, gak mandang kita lagi apa."
"Gila."
"Emang. Kerja tuh gila. Kalo kamu kerjanya gila-gilaan. Duitnya makin nambah Dik. Makanya kakak ambil aja pekerjaannya. Lumayan kan buat modal nikah."
"Ya udah sih langsung nikah aja, kenapa harus ada tunangan-tunungan segala."
TAK !
"Aww ! kenapa sih kak ?" Dika meringis tat kala Desi menjitak kepala adiknya itu.
"Gak usah turunin mood kakak buat tunangan ya. Sebenernya kakak juga maunya langsung nikah, tapi Mas Angga—"
"Asik! cakep bener manggilnya udah Mas Angga. Berapa karat tuh mas nya kak ? kali aja bisa di jual."
TAK !
Lagi. Desi menjitak adiknya itu.
"Mulutnya manis banget Dik."
"Bercanda doang ah elah. Ini udah cuma segini ?" Kata Dika setelah semua undangan ditempeli nama itu.
Desi melirik dan dirinya menghitung dalam diam.
"Kayaknya kurang deh, coba kamu ambil lagi undangannya di kamar kakak."
"Okey."
Dika pun pergi ke kamar kakaknya itu. Setelah sampai di sana, Dika langsung mengambil lagi undangan yang masih kosong. Namun saat dirinya akan keluar, ponsel Desi yang ada di nakas menyala dan bergetar. Lantas Dika pun mengambil ponsel itu. Di sana tertera nama 'Mas Angga'.
"Gak ada romantis-romantisnya banget. Pake emot love atau apa gitu. Tapi alay juga kalo gitu. Dah ah kenapa jadi ngurusin nama panggilan sih."
Dika pun mengangkat telepon itu.
"Halo."
"Eh ? Ini pasti adiknya Cici ya ?" kata Angga di telepon itu.
"Cici ? Siapa ? Salah orang ya ?"
"Ah itu maksudnya Desi."
"Oh.. iya. Ini adiknya Desi."
"Desinya kemana ? Ko kamu yang angkat teleponnya ?"
"Ada ko, bentar ya."
Dika pun langsung keluar dari kamar kakaknya itu sembari membawa undangan dan ponsel di tangannya.
"Kak, Mas Angga telepon nih."
"Kenapa di angkat sama kamu sih ?"
"Ya udah sih kenapa juga. Cemburuan banget jadi orang."
Desi hanya menghela nafasnya kasar, kemudian dirinya pun mengambil alih telepon itu.
"Iya mas, ada apa ? Kangen ya sama Cici ?"
Dika yang mendengar hal itu rasanya ingin sekali muntah. Kenapa kakaknya bisa begini. Desi yang so cantik, sombong, dan belagunya kenapa menjadi menghilang ?
"Kenapa kakak gue jadi gini ? Gak cocok bengat." kata Dika dalam hati.
"Oke deh. See u mas, i love u."
Desi sudah mengakhiri sesi teleponnya bersama Angga itu dam kembali fokus pada pekerjaannya.
"Aduh yang udah di telepon sama yayang bebeb jadi senyum-senyum sendiri. Jangan sampe kayak orgil ya kak."
Desi menatap tajam adiknya itu, "Bilang aja iri."
"Apa ? Seorang Dikara Chandra iri sama Desi Ratu Rosela ? Gak ada ya sejarahnya."
"Perang kali ah sejarah."
Kemudian mereka berdua pun tertawa begitu saja. Di saat itu juga, suara bel rumah berbunyi dan menghentikan tawa mereka.
"Pasti ibu." Kata Dika.
"Ya kali Dik. Ibu kan lagi ke rumah kakek nenek. Bilangnya juga besok baru pulang."
"Kali aja gitu kak."
"Ya udah sana bukain. Takut orang penting."
Dika pun beranjak dari duduknya itu lalu pergi untuk membuka pintu. Bel rumahnya berbunyi dengan tidak sabaran membuat Dika sedikit kesal.
"Iya tunggu. Sabar dikit kenapa." Kata Dika.
Saat Dika membuka pintu itu, disana sudah berdiri dengan tampannya. Siapa lagi kalo bukan Revan. Dirinya memakai kemeja hitam yang lengan bajunya di lipat sampai sikut. Celana jeans berwarna kopi susu itu membalut kaki kokohnya. Rambutnya agak sedikit berantakan. Di belakang Revan sudah ada mobil hitam mewah mengkilap. Jika begini, rasa-rasanya Revan bukan seorang anak SMA kelas tiga.
Dika melirik ke arah belakang dirinya terlebih dahulu.
"Kenapa ?" kata Revan.
Tanpa basa-basi lagi. Dika menyeret masuk Revan kedalam lalu mendorongnya hingga duduk ke sofa membuat Revan bingung.
"Ada apa Dik ?"
Jawaban yang Revan dapatkan adalah sebuah kejutan bagi dirinya. Bagaimana tidak terkejut jika Dika duduk di pangkuannya dan langsung menciumnya dalam-dalam. Revan yang menerima serangan dadakan itu pun akhirnya hanya mengikuti apa yang sedang di lakukan oleh Dika padanya.
Di dalam ciumannya bersama Dika, Revan tersenyum senang. Yang biasanya bibirnya yang selalu datang, kini giliran bibir pink yang ranum milik Dika yang menyapa terlebih dahulu. Rasanya memang benar-benar mengejutkan bagi Revan. Bibir manis dan segar Dika sudah menjadi candunya. Ini pertama kalinya Dika yang melakukan ciuman ini. Tidak ada nafsu sama sekali. Revan bisa merasakan Dika yang terlalu senang.
Lima menit berlalu, akhirnya Dika melepaskan ciuman itu. Sekarang dirinya hanya bisa menunduk dengan muka yang sudah memerah. Tangannya masih berada di rahang tegas Revan.
"Udah ?" Kata Revan.
Dika hanya terdiam dan itu membuat Revan gemas.
"Dika.."
Bukannya menjawab, Dika malah bangun dari pangkuan Revan lalu mengambil tisu untuk membersihkan sedikit saliva di bibirnya dan berjalan menuju ke arah dapur. Revan menggelengkan kepalanya.
"Beruntung banget gue punya pacar binalnya suka tiba-tiba. Untung gue gagah perkasa, jadi bisa ngimbangin kalo dia lagi mau."
Revan pun beranjak dari duduknya dan menyusul Dika. Di sana Dika sedang terduduk sembari meminum air.
"Emang capek ya cium aku gitu doang ?"
Dika melirik saat Revan sudah duduk di depannya. Dika melihat itu lagi. Ketampan seorang Revan. Dika tidak kuat.
"Dika.."
"Kamu tuh kenapa sih Van bikin kesel aja."
"Hah ?" Revan mendadak bingung.
"Aku ? Bikin kesel kamu ? T-tapi kenapa ?"
Dika menghela nafasnya, "Bisa gak kalo ganteng tuh jangan mendadak banget. Pake acara bawa mobil. Pake kemeja item segala. Aku tuh gak bisa liat kamu gantengnya kelebihan. Gak mau ya kamu umbar-umbar ganteng kamu ke orang lain. Gak boleh."
Sedetik kemudian, Revan tertawa sangat kencang hingga membuat Desi terkejut.
"Dika ? Ada siapa di dapur ?" teriak Desi.
Seketika Revan pun berhenti tertawa, "Lho ada kakak kamu ?"
Dika mengangguk, "Kenapa kamu gak bilang ?" Kata Revan sembari beranjak dari duduknya.
"Eh kemana ? Mau pamer gantengnya lagi ? Iya ?" Kata Dika sembari menahan tangan Revan.
"Enggak Dik.. gak enak kalo gak nyapa kakak kamu. Kayak orang gak ada tata krama aja aku."
Revan pun meninggalkan Dika berlalu ke ruang keluarga.
"Gue gak sudi Revan umbar gantengnya ke orang lain. Aarghhhh !"
Akhirnya Dika pun menyusul Revan yang katanya ingin bertemu dengan Desi itu. Sesampainya di sana, Dika melihat sedang duduk berdua dengan Desi. Sangat terlihat sekali Desi malu-malu saat berdekatan dengan Revan. Dika tidak suka melihatnya.
"Ekhm"
Revan dan Desi pun melirik saat Dika masuk dengan mencak-mencak.
"Dik, kenapa sih kamu gak kasih tau kakak kalo ada temen kamu. Ganteng banget lagi."
Dika hanya terdiam sembari menempelkan lagi stempel nama ke undangan itu.
"Ini siapanya kamu Dik ?"
Dika tak menjawab membuat Desi terheran.
"Kalian itu temenan biasa atau emang kalian pacaran ?"
"Kita temenan kak." kata Revan dan Dika secara bersamaan.
"Ihh... kompak banget. Pasti udah satu hati. Gak mungkin kalo gak satu hati. Jadi gemes Cici."
"Apaan sih kak, orang kita temenan doang." Kata Dika dengan sewotnya itu.
"Biasa aja dong ngomongnya kalo gak ngerasa pacaran."
"Ini biasa ko. Kakak aja yang ribet."
Desi tersenyum jahat, "Ya udah deh iya kakak percaya kalian temenan sape Dika sosor temennya ini pas baru dateng."
Mendengar hal itu, Revan dan Dika seketika membeku dan membuat Desi menjerit kegirangan.
"Tuhkan apa. Udah deh kalian ngaku aja kalo emang kalian itu ada apa-apa."
"Enggak ko kak, emang kita cuma temenan doang." Kata Revan.
"Serius nih masih belum ngaku juga ? Terus itu yang tadi lagi berbagi bibir apa dong ?"
Revan pun menjadi kikuk saat ingin menjawabnya. Dika sama sekali tidak membantunya karena hanya diam dan menunduk.
"Itu.. cuma kecelakaan kecil doang ko kak. Heee.."
"Masa sih ?" Kata Desi sembari mencolek dagu Revan.
"I-iya k-kak."
Desi memicingkan matanya dan menatap keduanya itu. Kemudian dirinya beranjak dari duduk sembari mendekap laptop dan tangannya yang memegang undangan yang sudah diberi nama.
"Kalo kecelakaan kecil gak mungkin kan kalo kamu sama Dika menikmati banget kecelakaannya. Pake rangkul-rangkulan juga. Matanya merem segala. Indah bener kecelakaannya."
Desi melihat keduanya yang hanya saling diam, "Udah ah kakak mau ke kamar dulu. Takut nanti ganggu acara mau cuddel nya. Tapi inget ya temennya Dika. Dikanya jangan di unboxing dulu, kan belum nikah. Kalo cuma berbagi bibir gapapa lah. Dadah..."
Desi pergi dengan kikikkannya. Sekarang hanya ada Revan dan Dika. Suasana hening menyelimuti mereka berdua.
"Dika.."
Dika pun mengangkat kepalanya dan menatap tajam Revan.
"Gantengnya bawa malapetaka." gumam Dika yang masih bisa di dengar oleh Revan.
"Eh ?"
Dika pun beranjak dari sana dan meninggalkan Revan ke kamarnya. Kini sekarang tinggalah Revan sendirian di sana. Meratapi kesedihannya akibat kegantengannya.
"Baru tau gue kalo ganteng bisa bawa malapetaka."
—tbc.