[Aditya Harsa]
"Abang mau Bunda ada yang jaga."
"Jadi?"
"Abang mau ada orang yang bisa perhatiin Bunda terus."
"Kan ada abang. Anak bunda kan selalu perhatian."
"Bun,... maksud abang.... Abang mau Bunda punya suami."
--
Bunda mendadak diam. Ah, sebetulnya aku sudah lama kepikiran mau bicara soal ini ke Bunda. Tapi aku juga gak mau kalau Bunda salah sangka. Dari kecil Bunda dan almarhum Oma gak pernah menutupi statusku yang lahir tanpa ada 'Ayah". Mereka berdua gak pernah membohongi aku.
"Adit, Tuhan gak menitipkan Ayah buat kamu nak." Begitu kata Oma.
"Kenapa Oma?"
"Karena Tuhan percaya, Adit bisa tumbuh sehat, pinter, ganteng, walau gak ada Ayah." Jawab Oma sambil memeluk aku erat. Ah, jadi kangen dipeluk Oma.
Bunda mau pun Oma, tidak pernah sekalipun menyebut siapa nama Ayahku, dimana dia tinggal, kenapa dia tidak bersama kami. Waktu Oma bilang 'Tuhan tidak menitipkan Ayah untukku', aku pikir itu sudah cukup. Sama seperti waktu aku bertanya pada Bunda, kenapa warna mataku beda sendiri? Kenapa Bunda dan Oma, juga Om Mahesa, semua punya warna mata yang sama? Kenapa cuma aku yang bermata coklat muda?
"Bun, Abang kok matanya terang ya?"
"Iya, karena mata Abang masih sehat." Jawab Bunda waktu itu.
"Bukan gitu, maksudnyaaa.... Bunda, Oma, om Cha semua matanya coklat tua. Kok Abang matanya coklat terang?" Tanyaku lagi sambil cemberut, karena Bunda gak mengerti pertanyaanku. Aku ingat waktu itu masih kelas 1 SD. Teman sekelasku –Jasmine, dia yang membuatku menyadari kalau mataku dan mata Bunda warnanya beda.
"Ooooh, Bunda pikir maksud Abang, kenapa mata Abang masih bisa liat dengan jelas. Gak seperti Bunda dan Oma yang pake kacamata. Hahaha. Maaf ya, nak."
Aah, Bunda paling bisa deh meruntuhkan rasa sebal. Cuma dengan senyum cantik dan memeluk aku sambil mengusap-usap rambutku, bisa bikin aku senang lagi.
"Kenapa warna mata Abang beda? Karena itu hadiah dari Tuhan."
"Hadiah?"
"Iya, hadiah. Karena Tuhan sayang."
Jawaban Oma waktu itu sudah cukup bagiku. Semua pertanyaan, akhirnya berujung pada 'kehendak Tuhan'. Dengan itu aku bisa lebih tenang. Kata Oma, semua yang terjadi memang sudah dirancang oleh Tuhan, yang perlu kita lakukan di dunia cuma berusaha untuk menjalani rencana Tuhan buat kita dengan sebaik-baiknya.
Value of life dari Oma ini jadi nilai hidup yang aku yakini sampai saat ini.
Dan tiga ahun yang lalu, di ulang tahunku yang ke-sebelas, tepat dua tahun sebelum Oma pergi meninggalkan kami, Oma memberiku hadiah yang paling berharga. Hadiah "kepercayaan".
Kata Oma waktu itu, "Sebelas tahun itu artinya Adit bukan anak-anak lagi, walau belum juga termasuk orang dewasa. Yang pasti mulai sekarang Adit sudah mulai punya tanggungjawab dan kewajiban yang lebih banyak."
"Iya, Oma."
"Adit, siapapun kita, darimanapun kita berasal, dimanapun kita berada, yang paling penting adalah bagaimana kita berusaha jadi orang yang bermanfaat."
"Maksudnya Oma?"
"Yaah, walaupun misalnya Adit jenius, trus punya uang banyak, trus kenal sama orang-orang hebat, bukan berarti Adit jadi orang berharga. Bukan berarti Adit gak akan dimusuhin orang. Tapi, selama kita tidak menyusahkan hidup orang lain dan setiap ada Adit orang jadi bahagia, itu artinya Adit jadi orang yang bermanfaat."
Aku tersenyum, rasanya bangga waktu mendengar Oma bicara begitu. Oma sudah kasih aku kepercayaan besar. Buktinya waktu itu, Oma percaya kalau aku pasti bisa mengerti nasehatnya. Oma seperti sedang bicara dengan orang dewasa.
"Iya Oma. Adit pasti akan ingat. Yang penting Adit berusaha jadi orang yang berharga."
Oma tersenyum lebar, Oma kelihatan bahagia waktu aku berjanji untuk terus ingat nasehatnya. Oma kemudian memelukku sambil mengusap-usap rambutku.
"Oma rupanya punya cucu yang dewasa ya?" Kata Oma sambil terus memelukku.
"Iya dong, siapa dulu Oma-nya."
Oma tergelak mendengar pernyataanku.
"Ada satu lagi yang mau Oma kasih tau ke Adit."
Kuperhatikan wajah Oma tiba-tiba kelihatan lebih serius. Apa ada nasehat lain yang lebih penting? Aku jadi penasaran. Aku gak bilang apa-apa, tapi sikap tubuhku menjawab kalau aku siap mendengarkan Oma dengan serius juga.
"Oma mau kasih tau Adit, cerita soal Ayah Adit."
Ayah? Apa Ayah yang selama ini tidak ada mendadak datang?
"Oma percaya, Adit sudah bisa menerima keadaan kita semua. Oma mau cerita sejarah tentang kita."
Kemudian cerita yang kudapat, bukan soal Ayah yang tiba-tiba hadir. Tapi sejarah bagaimana aku bisa lahir ke dunia ini.
Kata Oma, Bunda harus melewati jalan hidup yang gelap sampai akhirnya bisa bertemu denganku disisinya.
Bunda jadi korban pelecehan.
Waktu itu Bunda masih kuliah di kota B. Bunda termasuk mahasiswi yang pintar, karena mulai kuliah di umur 17 tahun dan cuma butuh 3 tahun Bunda sudah hampir menyelesaikan semua mata kuliah.
Bunda yang belum selesai kuliah, tiba-tiba dapat tawaran dari seniornya untuk ikut dalam project sebagai anak magang. Bunda bahagia dan bangga karena bisa mempraktekkan ilmunya dalam project betulan.
Waktu itu projectnya tentang promosi hotel, Bunda diajak survey kesana. Tiba-tiba setelah makan malam Bunda pingsan dan waktu bangun ternyata Bunda ditinggal sendirian di kamar hotel, tempat Bunda survey hari sebelumnya.
Bunda sudah dijebak, waktu bangun tidur ternyata Bunda sudah dilecehkan orang. Bunda yang pingsan gak tahu apa-apa. Sampai saat ini Bunda gak tahu, siapa orang yang sudah melecehkan dia. Juga sejak saat itu Bunda memutuskan untuk gak kembali ke kota B. Bunda berhenti kuliah.
Bukan karena Bunda takut, atau karena Bunda malu. Bunda gak salah apa-apa. Malah Bunda seharusnya bisa melapor ke polisi, karena sudah dijebak oleh seniornya.
Tapi Bunda memutuskan gak kembali kesana, dan berhenti kuliah. Karena setelah kejadian itu, Tuhan menitipkan aku kepada Bunda.
Bunda hamil.
Kata Oma, Bunda memutuskan untuk menjaga aku. Siapapun itu yang seharusnya jadi Ayah karena kejahatan yang dia lakukan ke Bunda, hadirnya aku bukan kejahatan. Aku ada karena Tuhan berkehendak.
Akhirnya aku mengerti, kenapa sebelumnya Oma memberi nasehat panjang lebar tentang 'jadi manusia bermanfaat'. Karena bagaimanapun caranya aku bisa lahir, bukan karena salah siapa-siapa. Siapapun itu yang membuat Bunda hamil dan melahirkanku, tidak membuat aku jadi orang yang gak berguna. Tapi karena Tuhan mau aku lahir, dan jadi kebahagiaan dalam hidup Bunda. Juga hidup Oma dan om Cha.
Sekarang, setelah Oma gak ada, aku dan Bunda pindah ke ruko ini karena sekarang Om Cha sudah berkeluarga. Kata Bunda, sebaiknya om Cha saja yang tinggal di rumah Oma, karena sebentar lagi mungkin akan lahir saudara-saudara baruku. Anak-anak om Cha.
Lagipula butik kecil peninggalan Oma ini harus tetap beroperasi. Lebih praktis kalau kita tinggal di sini. Bunda gak perlu jauh-jauh ke tempat kerja. Bunda tinggal turun ke lantai 1, dan selesai kerja pulang ke lantai 2.
Sekarang aku sudah kelas 1 SMA, kurasa Tuhan juga percaya untuk menitipkan pintarnya Bunda ke aku. Bisa masuk tanpa test dan tanpa bayar uang apa-apa. Daripada merasa bangga aku lebih merasa kalau Tuhan memang sayang sama Bunda. Karena aku bisa jadi anak yang bermanfaat buat Bunda.
Sekolah full day, masuk jam 7 dan pulang jam 4. Senin sampai Jumat. Weekend aku ambil workshop videography di salah satu lembaga pendidikan terkemuka yang baru buka cabang di sini.
Hampir setiap hari sekarang cuma bisa ketemu Bunda sebentar. Walau aku sudah berusaha untuk gak main kemana-mana pulang sekolah, tetap saja waktu ketemu Bunda makin sedikit.
Kalau siang, Bunda masih bisa sibuk dengan kegiatan butik dan produksi, ada 2 karyawan yang menemani Bunda. Tapi sekarang Bunda jadi sering pergi sendiri kemana-mana karena aku gak ada.
Aku mau Bunda ada yang jaga.
Aku mau ada orang yang bisa bertanggungjawab buat Bunda. Lebih kuat dan lebih mampu dari aku. Karena itu, beberapa bulan belakangan ini aku berusaha cari kesempatan untuk bicara ke Bunda.
Aku gak minta Bunda cari Ayah untuk aku. Tapi aku ingin Bunda membuka hatinya untuk orang lain selain aku dan menerima lebih banyak cinta daripada cuma cinta dari anaknya.
"Bunda, Abang ingin Bunda menikah." Kataku lagi, karena Bunda dari tadi masih belum menanggapi.
"Kenapa?"
"Karena, Abang gak mau Bunda kesepian."
"Bunda gak sepi kok, kan ada Abang."
"Abang kan gak selalu ada buat Bunda."
"Memangnya Bunda selalu butuh Abang kalau mau apa-apa? Abang kan anak Bunda, bukan 'anak buah' buat disuruh-suruh." Kata Bunda sambil tersenyum.
Bunda, bukan begitu maksudku.
Aku bingung mau menyampaikan dengan kata-kata apa. Sejenak aku terdiam, sampai akhirnya aku putuskan untuk bilang ke Bunda isi hatiku apa adanya.
"Bunda, Abang juga gak tau gimana mau bilang ini ke Bunda. Tapi Abang rasa cintanya Bunda ke Abang udah kebanyakan. Jadi gimana kalo cintanya dibagi ke orang lain."
"....."
"Tapi Abang gak mau ke sembarang orang, maunya Bunda bagi cintanya ke orang yang spesial yang bisa balas cinta Bunda. Maka itu Abang mau Bunda menikah." Jelasku lagi.
Senyum Bunda berubah, wajah Bunda seperti merasa bersalah. Bukan ini yang aku mau.
"...Bunda minta maaf, nak. Tapi Bunda juga gak tau siapa dan mau cari kemana Ayahnya Abang. Sampai saat ini Bunda belum pernah cari informasi dan Bunda gak tau apakah dia juga sudah punya keluarga sendiri. Jadi..."
"Jadi, Bun. Abang gak minta Ayah."
"..."
"Abang ingin ada orang lain yang lebih baik buat Bunda, yang jadi suami Bunda."
"...nak."
"Nanti abang bantu cariin ya?" Kataku lagi, dengan sedikit nada bercanda. Walau sebetulnya aku serius, sih. Tapi aku ga mau Bunda merasa bersalah.
Akhirnya Bunda tersenyum, dan menjawab, "Gak nyangka deh Bunda, ternyata anak Bunda bukan cuma mendadak jangkung tapi juga mendadak dewasa."
"Soal itu sih jangan ragu, Bun. Mentornya kan Oma."
Ada sedikit kelegaan dalam dadaku, akhirnya aku bisa menyampaikan perasaanku. Aku harap Bunda gak merasa bersalah dengan permintaanku barusan, atau salah sangka karena mengira dia sudah jadi beban. Bukan itu yang aku mau. Aku cuma mau Bunda lebih bahagia.
Bunda pasti butuh waktu untuk memikirkannya kan? Ini bukan persoalan sederhana juga. Yang penting Bunda sudah tahu. Anaknya ini bukan bayi lagi yang akan cemburu saat bukan jadi perhatian utama.
"Makasih ya, Bang. Sudah mengkhawatirkan Bunda."
I love you, Bunda.
Di chapter ini Aditya adalah penutur utama. Setiap kejadian bisa memiliki beberapa sudut pandang. Karena tiap orang punya perasaan yang berbeda. Dan tiap orang menyikapi dengan cara yang berbeda.
Adakalanya keadaan yang menyedihkan bagi satu orang adalah keadaan yang membahagiakan bagi orang lain.