Rembulan masih berada di depan piano ketika pesan dari Adrian masuk.
Aku tebak saat ini kamu berada di depan piano. Semoga tebakanku benar.
Ah, Adrian... Rembulan mengingat dulu Adrian sering meneleponnya di jam-jam seperti ini. Setelah segala tugas sekolah selesai, Rembulan biasanya akan duduk di depan piano memainkan beberapa lagu hingga jari-jarinya merasa letih. Setelah itu dia membaca novel atau menulis sampai dia tertidur.
Adrian hapal dengan kebiasaannya. Adrian hampir setiap hari bicara dengannya lewat telepon, karena tidak memungkinkan untuk Adrian datang ke rumah saat dia masih bersama Ari. Pernah Adrian datang ke rumah itu pun disertai alasan keperluan panitia natal. Mereka berdua tak pernah bisa bicara dengan leluasa karena Ari. Adrian tidak pernah menunjukkan kemarahannya pada Ari walaupun laki-laki itu selalu mengganggu. Adrian laki-laki yang sangat kalem dan lembut, tidak terlalu banyak bicara. Mungkin itu yang membuat Rembulan tidak pernah punya perasaan lebih pada Adrian. Hanya sebatas pertemanan biasa.
Tebakanmu benar, aku baru menyelesaikan permainan pianoku. Ternyata kamu masih mengingat semuanya.
Aku selalu mengingatmu, sampai kapanpun aku akan selalu mengingatmu.
Rembulan hanya bisa menatap pesan Adrian di layar ponselnya. Dia tidak ingin Adrian bersikap seperti ini. Rembulan tidak pernah memberikan harapan apapun untuk Adrian bahkan Rembulan pernah menolaknya. Namun laki-laki kalem itu seolah tak mengerti. Sampai akhirnya Rembulan berhenti memberi pengertian pada Adrian. Dia sudah terlalu letih.
Aku belum puas bicara denganmu, Adrian mengirim pesan berikutnya.
Apa yang ingin kamu bicarakan?Adalah sesuatu yang penting?
Aku hanya ingin mengobrol denganmu seperti dulu.
Aku sudah punya pacar. Kamu tahu kan?
Rembulan ingin menekankan pada Adrian bahwa tidak ada harapan untuk lebih dari sekedar pertemanan biasa. Dia sudah memiliki Raditya untuk saat ini.
Aku tahu, aku hanya ingin ngobrol denganmu. Bisakah besok kamu menemuiku?Sekali ini saja. Selanjutnya aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi.
Rembulan menatap layar ponselnya, menimbang-nimbang jawaban yang akan diberikannya pada Adrian. Disatu sisi dia harus mempertimbangkan perasaan Raditya. Namun disisi lain Adrian adalah temannya. Lagipula hanya satu kali ini saja, Rembulan akan memegang janji Adrian.
Baiklah, kita ketemu besok sore.
Rembulan menyebutkan salah satu kafe tempat dia sering nongkrong bersama Sarah. Adrian menyanggupinya.
Rembulan mengembuskan napas, perasaannya sangat berat. Besok dia akan bilang pada Raditya, semoga Raditya mengerti.
***
Pagi ini Rembulan membuat waffle untuk sarapan. Dia menunggu kedatangan Raditya. Hatinya sedikit rusuh, tak tenang. Dia takut Raditya marah. Laki-laki itu belum pernah marah padanya, terkadang Rembulan penasaran ingin melihat Raditya marah.
Rembulan mendengarkan suara ketukan di pintu, itu pasti Raditya. Laki-laki itu masuk dengan rambutnya yang masih basah. Rembulan hanya bisa terpaku memandangnya.
"Kenapa?" Raditya bertanya dengan bingung, karena Rembulan hanya diam melihatnya.
"Pagi ini aku merasa diberkati, bisa bertemu dengan seorang pangeran."
"Oh, kamu memuji diriku?" Raditya tertawa, tangannya segera memeluk Rembulan.
"Kamu sungguh tidak menyadari kalau kamu...hmm, apa ya?" Rembulan seperti sedang berpikir mencari kata-kata yang pas.
"Aku tahu kalau aku ganteng, keren, cakep banyak yang bilang begitu...tapi kalau di depanmu semua seperti lenyap, aku seperti tidak percaya diri."
"Kamu mengharapkan pujian dariku? Sepertinya aku pernah memujimu. Coba aku ingat ya?" Rembulan mengerutkan dahinya. "Ya, aku ingat ! Aku pernah memujimu di dalam hati." Rembulan tertawa berderai.
"Aku tidak butuh pujianmu untuk wajah atau penampilanku. Aku butuh pujianmu untuk pekerjaan yang sudah kulakukan." Raditya masih memeluk Rembulan dan tak ingin melepaskannya, baginya perempuan ini begitu menggemaskan.
"Baiklah akan ku ingat." Rembulan melepaskan pelukan Raditya, memegang tangannya.
"Sarapanlah dulu, aku nggak mau nanti kamu kelaparan hanya karena terus berkata manis padaku."
***
Raditya menikmati sarapan yang dibuatkan Rembulan. Waffle yang disiram dengan madu, telur mata sapi dan segelas susu. Namun pagi ini Raditya memperhatikan Rembulan terlihat berbeda. Lebih pendiam meskipun tadi dia sempat bercanda dan menyambut Raditya dengan senyumnya yang paling indah.
Perempuan itu memilih duduk di ruang tamu, duduk tegak, menyesap kopinya perlahan-lahan. Wajahnya ditimpa cahaya mentari pagi. Dia seperti seorang dewi dimata Raditya.
Sedari tadi Raditya melihatnya dari jauh, menunggu Rembulan bicara. Dia tahu perempuan itu sedang risau memikirkan sesuatu. Semakin lama Raditya semakin mahir membaca bahasa tubuh gadis itu. Raditya menanti, dia tetap makan dengan lahap seolah tak ada yang mengganggu.
Perempuan itu melihat ke arahnya, ragu-ragu dan terdengar gugup saat memanggil nama Raditya.
"Sore ini aku berjanji bertemu dengan Adrian di kafe tempat biasa." Raditya menghentikan suapannya, melihat Rembulan dengan tatapan mata menyelidik.
"Adakah sesuatu yang penting?" tanyanya. Dia hanya sekedar ingin tahu. Raditya bukanlah laki-laki yang terlalu cemburu dan bersikap posesif. Dia yakin Rembulan pasti punya alasan untuk bertemu Adrian. Raditya percaya pada Rembulan. Dia mengenal perempuan itu.
"Dia hanya ingin ngobrol. Saling bertukar cerita karena kami sudah bertahun-tahun tidak bertemu." Raditya mengangguk-angguk berusaha mengerti alasan yang disampaikan Rembulan.
"Dia berjanji, ini yang terakhir kali dia bertemu denganku karena dia tidak ingin mengganggu hubunganku denganmu." Rembulan menambahkan.
Kali ini nada suaranya sudah tidak gugup dan lebih mantap. Sepertinya Rembulan merasa kalau Raditya tidak akan marah.
Raditya berdeham, dia sedang mengatur emosinya. Biar bagaimanapun tetap ada perasaan tidak rela ketika seorang yang dia cintai berdekatan dengan laki-laki lain, yang mencintai perempuan yang juga dia cintai.
"Aku akan memperbolehkan kamu pergi menemui Adrian. Namun berjanjilah bahwa hanya untuk sekali ini saja. Aku tidak akan rela melepasmu bertemu dengannya untuk yang kedua kali. Aku cemburu."
Rembulan beranjak dari tempat duduknya, mengambil tempat disebelah Raditya, menggenggam jari-jari laki-laki itu
"Terima kasih buat pengertianmu," katanya lembut.
"Jadi sedari tadi kamu sedang mengumpulkan keberanian untuk meminta pengertianku?" Raditya tersenyum, matanya memancar jenaka, dia ingin menghilangkan ketegangan yang tercipta diantara mereka berdua.
"Ya." Rembulan tersenyum lebar.
"Wah, senyummu sangat manis, aku curiga kamu pasti sangat bahagia akan bertemu dengan Adrian." Raditya menggoda Rembulan.
"Sepertinya begitu." Rembulan balas menggoda.
"Aku jadi terluka." Raditya menepuk dadanya perlahan. Rembulan tertawa, dia tahu Raditya hanya bercanda. Laki-laki itu tidak benar-benar terluka. Rembulan tahu Raditya percaya padanya.
"Lan...," panggilnya lembut. "Aku akan benar-benar terluka kalau kamu meninggalkanku."
"Aku tidak akan meninggalkanmu...setidaknya untuk saat ini." Rembulan menahan tawanya.
"Oh, sekarang sudah berani menggodaku." Raditya memeluk Rembulan erat dan menghujaninya dengan ciuman di pipi. Dia tidak perduli dengan suara Rembulan yang berteriak protes karena Raditya memeluknya sangat erat hingga membuatnya tidak bisa bergerak.