webnovel

Salahkan saja bintang

Rembulan tersenyum tipis demi mendengar Raditya merindukannya. Dia berdiri lalu melangkahkan kakinya ke balkon. Dia tidak ingin Sarah mendengar degup jantungnya yang berpacu, dia tidak ingin Sarah melihat wajahnya yang bersemu. Dia ingin menikmati perasaan melambung ini sendiri sambil memandangi bintang-bintang. Dia mendengar Raditya memanggil namanya berkali-kali, terdengar merdu. Ah, madu! Manis sekali terdengar ditelinganya.

"Rembulan, kamu sudah tidur?" Saat Raditya menanyakan itu Rembulan bagai tersentak.

Ya Tuhan, sedari tadi aku hanya membisu demi menikmati merdu suaranya di telingaku. Memalukan ! Sangat memalukan ! Apa yang ada dipikiran Raditya tentang aku?

Bodohnya aku ! , Rembulan menepuk kepalanya. Berharap pikirannya bisa kembali fokus.

"Aku belum tidur, maafkan aku. Bintang-bintang itu menyita perhatianku." Lebih baik menyalahkan bintang.

"Terlihat indah?"

"Mm, yaaa...sangat indah."

"Kamu bisa mengambilkan satu untukku?"

"Maafkan aku, tapi kedengarannya permintaanmu sangat norak dan aku tak bisa memenuhinya." Rembulan tertawa tertahan, lalu kemudian menyesali ucapannya. Mulutnya ini nggak bisa diajak bekerjasama. Terlalu to the point !

Raditya tertawa, "Hei! Aku hanya meniru kata-kata di novel-novel roman. Aku tahu itu sangat norak!"

"Lain kali kamu harus mengganti bacaanmu, mungkin kamu bisa membaca novel-novelku. Aku tidak pernah menuliskan kata-kata norak seperti itu dalam novelku."

Raditya tertawa semakin keras, dia tahu Rembulan bercanda. "Lagi di balkon? Minum kopi?"

"Ya, aku lagi di balkon tapi aku tidak sedang minum kopi. Aku sedang menelponmu sambil memandangi bintang," katanya berbisik. Dia tidak ingin Sarah mendengar.

"Kamu sedang merindukanku?" Raditya bertanya, dia ingin tahu yang Rembulan rasakan.

Rembulan terdiam, dia bingung harus menjawab bagaimana. Dia ingin jujur tapi dia merasa malu untuk mengungkapkannya. "Ya, aku merindukanmu," sahutnya malu-malu.

Dia menanti apa yang akan dikatakan Raditya tentang rasa rindunya. Debaran jantungnya semakin cepat. Dia menghitung dalam hati, menunggu kata-kata Raditya selanjutnya. Ada jeda diantara mereka berdua, Rembulan meremas pegangan kursi dengan seluruh tenaganya sampai jari-jarinya memutih. Perutnya mendadak mulas. Dia gelisah.

Kenapa laki-laki ini diam saja? Tidak tahukah dia, aku harus menghilangkan rasa gengsi untuk mengatakannya? Tidak tahukah dia aku mendadak gugup dan berkeringat dingin?

"Mungkin seminggu lagi aku akan kembali ke Jakarta. Aku akan menagih janjimu untuk minum kopi bersamaku hingga langit berubah warna. Janjimu masih berlaku kan untuk seminggu ke depan?"

"Lebih dari itu janjiku akan habis masa berlakunya. Cepatlah kembali!" Rembulan menyahut pura-pura marah. Padahal saat itu dia nyaris melonjak kegirangan. Dia hanya melirik ke dalam, melihat ke arah Sarah. Dia lihat Sarah sedang sibuk memainkan ponselnya.

"Aku akan mencari beribu alasan agar bisa minum kopi bersamamu."

"Aku berharap kamu tidak perlu sampai mencari beribu alasan, semoga kamu bisa datang sebelum masa berlakunya habis. Aku menunggu!"

"Baiklah, aku usahakan untuk cepat menyelesaikan pekerjaanku disini. Bersabarlah sebentar lagi nona manis."

Setelah saling mengucapkan selamat malam, mereka berdua menutup telpon. Tak ada ciuman selamat malam.

Hei ! Kami kan belum saling menyatakan cinta !, sekali lagi Rembulan menepuk kepalanya. "Dasar bodoh !" Dia mengumpat.

"Siapa yang bodoh?" Sarah bertanya dari dalam. Dia tahu Rembulan sudah selesai menelpon, dan kini Sarah nyaris tertawa melihat Rembulan menggenggam ponselnya dan menempelkan di dada sambil matanya menerawang ke langit. Bagaikan seorang anak kecil yang memeluk bonekanya erat dan tak ingin kehilangan untuk menemani tidurnya malam ini.

"Duh, yang habis telponan sama pacar." Sarah mulai menggoda. Dia suka melihat ekspresi Rembulan yang tersipu-sipu malu. Ternyata perempuan keras kepala ini bisa juga tersipu.

"Dia bukan pacarku! Jangan asal bicara, aku nggak enak kalau dia dengar!" Rembulan protes, wajahnya menjadi galak. Sarah hanya tertawa keras menanggapi protes dari si keras kepala.

Memangnya Sarah perduli, Raditya aja nggak ada bagaimana mungkin bisa dengar. Rembulan kadang kala suka berlebihan kalau menutupi perasaannya.

Dia kira aku bakal takut sama muka galaknya dan suaranya yang dikeraskan sedikit seolah-olah marah padaku. Memangnya aku tidak bisa melihat gerakan bibirnya yang membentuk senyuman, kalau perlu getaran bibirnya sedikit saja bisa digambarkan dengan jelas olehku. Dia kira nyaliku bakal ciut digertak seperti itu. Kalau Raditya ada disini, aku juga langsung mengatakan begitu. Mereka berdua ini kebanyakan drama dan memperlambat alur. Apa susahnya sih tinggal bilang, "Rembulan aku menyukaimu. Aku ingin pacaran denganmu?" Memangnya aku tidak dengar tadi dia bilang apa? Dia kira aku sibuk dengan ponselku. Telingaku cukup kuat menangkap kalimat rindu dan menunggu.

"Nanti begitu Raditya datang langsung saja katakan kalau kamu suka padanya. Jadi nggak perlu gelisah terus." Sarah terkekeh. Rembulan langsung melotot ke arahnya. Lalu melemparkan bantal yang berada di pangkuannya.

 

"Saran yang menyesatkan!"

"Kelamaan! Apa enaknya sih jadi bertanya-tanya dalam hati soal perasaannya. Apa enaknya sih menyimpan perasaanmu lama-lama disini." Sarah menunjuk dadanya. Kepalanya menggeleng-geleng.

"Aku nggak mau !"

Sarah tertawa semakin keras melihat Rembulan membuang wajah, dia tidak mau melihat Sarah.

Menurut Sarah, perempuan tidak harus selalu jadi pihak yang menunggu. Kalau dia sudah merasa yakin dengan perasaannya, perempuan juga berhak menyampaikan kalimat cinta lebih dulu. Meminta seorang laki-laki menjadi pacarnya juga sah-sah saja. Ada begitu banyak laki-laki yang sangat menghargai hal-hal seperti ini bahkan sangat berterima kasih apabila seorang perempuan lebih dulu menyatakan perasaannya. Karena laki-laki pun seorang manusia yang juga memiliki rasa ragu dan takut. Apakah kemudian perempuan yang menyatakan perasaannya lebih dulu terkesan "murahan" atau agresif ?

Ah, semua itu tergantung bagaimana seorang perempuan bersikap.

Sarah mengenal teman-teman laki-lakinya yang berharap perempuan yang disukainya mau mengungkapkan perasaan.

"Kita udah nggak hidup di jaman Siti Nurbaya lagi, dimana laki-laki yang harus selalu lebih dulu ngomong kalimat aku mencintaimu...mau jadi pacarku?" Sarah ingat temannya pernah berkata seperti itu.

"Jaman Siti Nurbaya tuh dijodohkan. Mana ada nanya mau jadi pacar?"

"Eh, kampret! Lo tau kan maksud gue!" Temannya meradang.

Makanya Sarah tetap cuek saat dia lebih dulu menyatakan perasaannya pada seorang laki-laki yang Sarah yakin juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Mungkin Rembulan tidak seperti Sarah, ada paham-paham yang berbeda yang mereka yakini. Sarah hanya tidak ingin Rembulan menjadi tidak bahagia karena menyimpan perasaannya.

***

Raditya menjadi tidak bisa tidur setelah bicara dengan Rembulan. Dia diliputi perasaan yang bahagia. Senyumnya terus mengembang. Sebentar dia memeluk guling, sebentar kemudian dia melihat foto Rembulan yang seperti siluet di ponselnya. Raditya melihat lagi jadwal kerjanya, dia ingin segera pulang. Dia hanya ingin bertemu Rembulan dan bilang sekali lagi kalau dia mencintai perempuan itu.