"Nggak pakai masker?" Rembulan bertanya dengan raut muka bingung.
"Masker? Buat apa?" Ari menatap Rembulan, tak mengerti dengan maksud pertanyaannya.
"Aku...aku nggak terlalu suka dengan keramaian saat nanti penggemarmu mengerubungi kamu." Rembulan mengingat peristiwa kemarin saat dia jalan bersama Raditya. Sangat tidak nyaman.
"Oh, nggak ada yang akan mengenali aku." Ari tertawa kecil, "Aku tak setenar Riri Riza atau Hanung Bramantyo...kelasku masih jauh dibawah mereka. Seperti katamu, kalau kamu juga bukan penulis terkenal...Seperti siapa kamu bilang?"
"Oh ya, " Ari menjentikkan jari, "Seperti Dewi Lestari, Andrea Hirata atau Ika Natassa."
"Oke kalau begitu aku aman berjalan bersamamu. Aku minta satu hal lagi...kita mau makan kan?Bisa nggak makannya jangan di mall?"
"Kenapa?Bukannya menyenangkan setelah itu kamu bisa window shopping atau belanja?"
"Bang, kamu sudah lupa?" Raut wajah Rembulan berubah heran.
"Iya iya, aku ingat kamu nggak suka belanja atau window shopping. Kalau tujuannya untuk makan kita cari di luar mall kecuali memang ada barang yang akan dibeli. Aku ingat Bulan." Ari bicara sambil melihat sekilas perempuan yang duduk disampingnya.
Pacaran dengan Rembulan walaupun hanya beberapa bulan saja tapi semua masih diingat Ari. Kebiasaan, cara bicara, ekspresi dan Ari tidak menduga kalau tidak ada yang berubah dari gadis itu.
***
Ari mengajaknya ke suatu restoran kecil namun terlihat menyenangkan. Rembulan suka dengan penataannya, lantai kayu, taplak meja kotak-kotak dan lilin besar di tengah meja. Kesannya romantis.
"Dengan cahaya lilin seperti ini, aku melihat kamu sangat cantik."
"Terkadang perempuan butuh pencahayaan yang tepat agar terlihat berbeda ,Bang." Rembulan berkata sambil menopang dagu dengan kedua tangan. Senyumnya terlihat sangat manis.
"Aku tidak mengatakan kamu berbeda, aku mengatakan kamu sangat cantik. Dari dulu aku selalu menyukai apa yang ada padamu, seperti Neruda yang pernah berkata Takkan cukup waktu memuja rambutmu, helai demi helai kuperhatikan dengan takzim...tapi aku memuja wajahmu dan semua yang ada padamu."
"Tak ada yang berubah darimu, masih sama seperti dulu. Selalu pandai merayu. Sudah berapa perempuan yang jatuh pada pesonamu ,Bang?" Rembulan tersenyum simpul.
"Hanya kamu."
Rembulan membulatkan matanya, tak percaya. Laki-laki ini pasti berbohong.
"Aku yang terlalu mudah jatuh dalam rayuanmu atau perempuan-perempuan itu yang tidak mengenalmu?"
"Mereka tidak mengenalku, karena aku menjaga jarak dengan mereka."
"Sepertinya ada yang berubah darimu...aku ingat dulu kamu begitu gencar mendekatiku dengan beribu cara, termasuk mengganggu aku saat bersama Adrian."
Ari tertawa mengingat betapa tidak sukanya raut wajah Adrian, saat Adrian sedang berduaan dengan Rembulan, karena Rembulan adalah sekertaris Panitia Natal sekolah sedangkan Adrian adalah ketua. Ari akan datang lalu duduk diantara mereka berdua. Adrian akan tersenyum kecut, apabila berkunjung ke rumah Rembulan dan Ari ada disana. Jangan harap bisa menyuruh Ari pergi, dia akan pura-pura sibuk mencatat atau pura-pura mendengarkan dengan seksama saat Adrian berbicara. Tangannya dengan sengaja akan menggenggam tangan Rembulan. Sampai akhirnya Adrian berpamitan.
"Untungnya acara natal sekolah berjalan lancar, padahal kamu selalu mengganggu saat kami sedang membicarakan hal-hal yang penting."
"Ah, itu bisa-bisanya Adrian aja bilang hal penting. Aku tahu dia juga berusaha mendekati kamu."
"Dan sekarang...Abang tidak berusaha mendekati perempuan-perempuan itu seperti dulu?"
"Dari dulu juga aku tidak pernah berusaha mendekati perempuan-perempuan itu, hanya dengan kamu."
"Haruskah aku merasa tersanjung?" Ari tertawa merespon pertanyaan Rembulan.
***
Pagi ini Raditya bangun dengan kepala yang terasa sakit, entah sudah berapa gelas yang dia minum sampai dia mabuk. Raditya masih ingat manajernya yang mengantar dia pulang. Raditya sudah tidak mungkin menyetir mobil pulang ke rumah, dia menelpon manajernya untuk datang menjemput dan mengantar dia pulang.
Raditya segera bangun lalu mencari aspirin yang disimpan di lemari obat. Sudah lama dia tidak mabuk seperti ini. Raditya masih ingin tidur, matanya terasa berat, namun dia ingat hari ini dia ada jadwal syuting bahkan kemungkinan baru berakhir larut malam. Dia mengutuki dirinya yang terlalu emosi hingga tidak bisa mengendalikan diri.
"Kenapa sih Dit sampai mabuk? Putus cinta?" tanya manajernya sambil memapah Raditya ke mobil. Raditya masih mengingat samar-samar.
Raditya tidak menjawab pertanyaan manajernya, dia hanya memejamkan mata menahan sakit kepala. Raditya membenci dirinya sendiri yang begitu mudah cemburu. "Dulu aku tak pernah begini..." Raditya marah dan menarik rambutnya dengan kedua tangan. Dia tidak mengerti.
***
Rembulan melihat jam di dinding. "Biasanya jam segini dia sudah datang untuk meminta secangkir kopi." Rembulan memasang telinga dan tidak mendengar suara apapun dari rumah Raditya.
Apakah dia baik-baik saja? Hatinya risau, dia takut terjadi sesuatu dengan Raditya. Namun untuk berkunjung ke rumah Raditya dan memastikan keadaannya, Rembulan merasa malu. Rembulan mengambil ponsel dan mulai menghubungi Raditya.
"Dit, apa kamu baik-baik aja?" terdengar suara Rembulan khawatir sekali.
"Aku baik-baik aja. Tenang saja, aku hanya mabuk," kata Raditya.
"Oh, kamu atasi dulu sakit kepalamu." Rembulan akan menutup telpon, ketika Raditya memanggil namanya, "Pagi ini aku nggak bisa menemanimu minum secangkir kopi, aku sangat sibuk bahkan sampai larut malam," suara Raditya terdengar letih.
"Oke, berharap hari ini semuanya berjalan lancar ya." Rembulan menutup telpon.
***
Dia mengkhawatirkanku....aku tahu dia memikirkanku. Raditya tersenyum girang, sejenak dia melupakan sakit kepalanya.
***
Pagi ini Sarah datang mengunjungi Rembulan, sudah lama dia tidak bertemu sahabatnya itu. Sesekali memang mereka saling berkirim kabar, biasanya Sarah yang lebih banyak bercerita. Sedangkan Rembulan sesekali menimpali.
"Ada angin apa datang kesini. Kangen?" Rembulan melipat tangannya di dada, bersandar pada daun pintu.
"Iya aku kangen...sekalian mau ngomong, soal novelmu itu akan dibuat sinetronnya satu bulan lagi." Sarah masuk ke dalam rumah, duduk di tempat favoritnya, ruang tamu.
"Ada kendala?"
"Nggak ada, sampai sekarang semua masih berjalan sesuai rencana." Sarah mengambil satu kue yang dihidangkan Rembulan.
"Ini beli atau bikin sendiri?Enak banget."
"Bikin sendiri dong tadi pagi, aku suka kue yang wangi kayu manis begini." Mendadak Rembulan teringat Raditya, dia ingin Raditya mencicipi kue buatannya, nyaris saja dia lupa menyisihkan untuk tetangganya itu.
"Kamu ada apa sama Raditya?Kalian kencan?Pacaran?" Sarah memberondongnya dengan pertanyaan, raut wajah Sarah penuh dengan sejuta pertanyaan.
"Raditya? Kamu tahu darimana aku sama Raditya?"
"Masuk acara gosip, begitulah kalau artis yang lagi tenar-tenarnya seperti Raditya. Dia beli baju baru aja kalau perlu diberitakan."
Rembulan tertawa sambil melemparkan serbet ke Sarah, "Sialan!"
"Dia tetanggaku, di samping rumah." Rembulan menunjuk ke arah rumah Raditya.
"Sebentar ya..." Kepalanya melongok ke arah rumah Raditya, dia melihat mobil Raditya masih terparkir di garasi.
"Aku mau antar ini." Rembulan membawa piring kecil yang diisi beberapa potong kue. Sarah hanya bisa melihat dengan tatapan bingung. Sejak kapan mata Rembulan terlihat berbinar-binar seperti itu?