webnovel

Dua mangkuk mi instan dan dua cangkir kopi

Ari memasrahkan semua pada Rembulan, tanpa memberi petunjuk buku apa yang sekiranya digemari oleh temannya. Rembulan seperti orang yang meraba-raba dalam gelap. Dia berusaha mengorek keterangan sedetil mungkin tentang teman Ari. Dari mulai usia, jenis kelamin, hobi, hubungan kedekatan mereka berdua, sampai referensi buku yang pernah dibaca.

"Teman Abang suka travelling nggak?"

"Ada hubungannya?"

"Ada Bang, mungkin dia suka buku tentang kisah perjalanan seseorang ke suatu tempat, misalnya seperti buku Agustinus Wibowo yang bercerita tentang perjalanannya ke negara-negara pecahan Uni Soviet."

"Hubunganku dengannya tidak terlalu dekat, hanya hubungan pertemanan biasa. Aku juga tidak terlalu tahu hobinya. Berikan buku apa saja yang menurutmu menarik."

Rembulan hanya bisa menghembuskan napas keras, dia nyaris putus asa. Ari nyengir melihat ekspresi Rembulan. Dari dulu perempuan ini tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya dari Ari. Terkadang Ari suka menggodanya, termasuk sore ini. Ari mengulurkan tangan dan menyentuh kepala Rembulan, dia membelai rambut Rembulan dan tersenyum manis.

"Kamu itu selalu terlihat menarik dimataku, apapun ekspresi wajahmu selalu membuatku ingin menyentuhmu."

Rembulan sedikit menjauh, dia tidak ingin Ari menyentuhnya seakrab itu. Hati kecilnya merasa bersalah. Dia tidak ingin memberikan harapan pada Ari. Bagi Rembulan hubungan mereka hanya sebatas pertemanan biasa. Kalaupun dia bersikap ramah dan memenuhi permintaan Ari untuk menemaninya, karena dia merasa mereka pernah dekat dan Rembulan tak tega menolak. Namun saat ini tak ada perasaan apapun untuk Ari.

***

Ari merasakan perubahan pada Rembulan, saat perempuan itu menarik diri dan menjauh. Ari menyadari dia telah salah mengartikan sikap Rembulan selama ini.

Dulu saat mereka masih pacaran, Rembulan akan tersenyum bahagia kalau Ari membelai kepalanya. Rembulan akan tertawa kalau Ari mengacak-acak rambutnya karena gemas.  Wajahnya akan bersemu kalau Ari memujinya, atau sedikit cemberut kalau Ari menggodanya. Namun, sedari tadi perempuan itu bersikap seperti selayaknya, tidak ada sesuatu yang berlebihan. Ari mengingat ketika dia memberikan buket bunga. Rembulan hanya tersenyum biasa, tidak ada wajah yang bersemu atau senyum yang lebar. Mungkin ada seseorang yang telah mengisi hati perempuan ini?

Ari menarik tangannya lalu memasukkannya ke dalam kantong celana, dia tersenyum canggung. Lalu tertawa kecil, rasanya seperti ada ruang hampa diantara mereka berdua.

"Sudah ada keputusan buku apa yang akan kamu rekomendasikan?"

"Hmm ya, berikan saja novelku." Rembulan membalik badannya lalu berjalan. Perempuan ini merasa jengkel, Ari tahu itu.

"Hei, jangan merajuk!" Ari berjalan cepat, menjajari langkah Rembulan lalu menarik tangannya. Ari terkejut dengan reaksi Rembulan.

"Aku lelah Bang!" Rembulan menahan amarahnya. Dia mulai sebal dengan cara Ari yang tidak bisa bekerjasama. Tubuhnya juga lelah, sedari pagi dia belum beristirahat. Rembulan ingin pulang, dia merindukan tempat tidurnya, dia merindukan balkon dan acara minum kopi di sore hari. Dia merindukan rutinitasnya yang membosankan itu.

"Maafkan aku Rembulan, terserahlah apa yang kamu pilih. Novelmu pun tak mengapa, itu juga bagus." Ari menyadari kesalahannya.

Rembulan tidak punya perasaan yang sama dengannya, yang masih ingin berlama-lama berdua saja.

Rembulan mengambil salah satu novelnya dari rak, lalu menyerahkan pada Ari.

***

Langit sudah berubah menjadi gelap saat mereka tiba di rumah. Tadi Ari mengajaknya makan malam di sebuah restoran. Namun, Rembulan menolak. Dia hanya ingin cepat pulang dan makan mi instan saja di rumah.

"Aku boleh mampir sebentar?" Ari bertanya dengan was-was, dia takut Rembulan menolaknya.

"Ya." Rembulan menjawab singkat, dia hanya sedikit marah pada Ari tapi bukan berarti memusuhi laki-laki ini.

***

"Abang mau aku masakkan mi instan? Gerimis begini kayaknya enak kalau makan mi kuah."

"Aku mau." Ari menjawab cepat, perutnya juga sudah lapar. Mi instan juga enak disantap di kala gerimis apalagi berdua dengan Rembulan. Ah, dia jadi merasa lucu, dia berharap pada sesuatu yang tak bisa diraihnya.

"Mau pakai telur nggak, Bang?"

"Mau dong. Sekalian buatkan aku kopi ya kalau kamu nggak keberatan." Ari tersenyum manis setelah menyebutkan permintaannya.

"Siap Bang! Tunggu ya?" Rembulan tertawa kecil.

Ari mendengar bunyi sutil beradu dengan penggorengan, lalu tercium aroma bawang putih yang ditumis. Ari hapal baunya, karena sesekali dia juga turun ke dapur untuk memasak.

Hidup melajang sekian tahun membuat ketrampilannya bertambah terutama dalam memasak. Ari bisa memasak masakan sederhana. Kalau hanya sekedar menumis, memasak sop atau membuat sambal dia bisa. Bahkan ada temannya yang bilang, sambal buatannya sangat enak.

Kadang kala Ari bosan kalau harus makan di luar terus makanya dia belajar memasak, hanya masakan dasar dan itu sangat berguna.

Rembulan tidak pernah tahu kalau dia bisa memasak. Ari tidak pernah menceritakannya. Malam ini Ari ingin bermanja-manja dengan dimasakkan seorang perempuan yang dia cintai. Walaupun itu hanya semangkuk mi instan.

"Bang, bantu aku membawa semua ini ke balkon. Aku lagi ingin makan di balkon." Ari melihat dua mangkuk mi instan dan dua cangkir kopi tersedia diatas nampan. Tanpa banyak bertanya Ari langsung membawa semuanya ke atas.

***

"Kenapa kamu ingin makan disini?"

"Aku ingin menikmati bunyi gerimis yang jatuh di atap. Aku ingin menikmati udara yang dingin."

"Orang lain ingin bergelung dalam selimut yang tebal, kamu malah ingin menikmati dingin."

"Aku merasa hangat ditengah udara yang dingin."

"Hmm, paradoks." Rembulan tertawa mendengar Ari bicara dan melihat ekspresinya saat bicara. Mungkin Ari merasa aneh.

"Tunggu dulu! Aku ingin memotret hidangan kita malam ini."

"Hanya semangkuk mi instan, Bulan."

"Tapi suasananya istimewa, Bang. Gerimis, dinikmati dengan dirimu, kopi dan mi instan. Tidakkah Abang melihat sesuatu yang 'kaya'?"

"Maksudmu maknanya?"

"Ya, betul!" Rembulan menjentikkan jarinya, tertawa senang karena Ari mengerti maksudnya.

Rembulan memotret dua mangkuk mi instan yang dihidangkan sangat cantik oleh Rembulan dan dua cangkir kopi. Diunggah sebagai status what's up diberi caption gerimis, mi instan dan kopi...perpaduan yang sempurna untuk dinikmati malam ini.

***

Ari melihat mi instan yang terhidang di depannya, sangat cantik dan menggugah selera. Biasanya dia tidak pernah memberikan banyak sentuhan dengan masakannya apalagi mi instan. Dia melihat Rembulan menata mi instannya dengan cantik, memberikan telur mata sapi, sayuran hijau, irisan cabe, irisan tomat. Dari tadi dia sudah ingin menyantapnya namun dia harus sabar menunggu saat Rembulan ingin memotretnya. Ari hanya bisa tersenyum dan menggeleng heran. Ah, perempuan !

***

Raditya sedang merasa bosan melihat acara penggalangan dana yang dihadirinya. Entah kapan berakhir. Dia harus selalu tersenyum dan bersikap ramah.

Tadi dia sudah menyanyikan satu buah lagu dan bicara beberapa patah kata. Dia juga sudah berfoto dengan beberapa orang yang kebanyakan adalah perempuan. Tersenyum selalu tersenyum. Bersikap ramah dan menyenangkan, bila perlu mengeluarkan sedikit jurus gombal dan pandai memuji. Dia juga harus pandai agar saat bicara yang keluar bukan sejenis tong kosong tak ada isi.

Untuk mengatasi kebosanan, dia mengambil ponselnya yang sengaja dia bisukan suaranya.

Matanya terarah pada status what's up Rembulan. Foto dua mangkuk mi instan, dua cangkir kopi dan caption yang ditulis Rembulan. Raditya tahu foto ini diambil di balkon rumah Rembulan. Raditya hapal dengan corak ukiran pada meja yang ada di balkon.

Dua mangkuk dan dua cangkir? Rembulan sedang menikmatinya bersama Ari atau Sarah?

Raditya mengeraskan rahangnya. Dia yakin Rembulan pasti bersama Ari.