webnovel

Dua Belas

"Melambangkan perjuangan dari rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia zaman dulu kan banyak yang nggak punya pakaian yang layak... Pada masa penjajahan dan awal kemerdekaan Indonesia dulu itu. Rakyat Indonesia banyak yang pakai karung goni buat pakaian sehari-hari mereka. Oleh karena itu, diambilah warna karung goni sebagai warna jas almamater UGM. Warna yang sama seperti pakaian kebanyakan rakyat Indonesia di masa itu, warna yang juga serupa dengan warna pakaian tentara Indonesia pada masa itu. Dan makna yang tersirat di baliknya adalah kesederhaan, tidak eksklusif, dan yang pasti bermakna perjuangan."

Tanpa aku sadari, yang tadinya aku hanya bermaksud memakai topik itu untuk berbasa-basi, kini aku masuk di dalam penjelasannya. "Keren..."

Kevin hanya mengangguk-angguk. Senyumnya merekah, mungkin dia merasa puas karena bisa membagi informasi itu padaku.

"Eh, tadi belum selesai..."

"Hah?! Apanya?" Aku sedikit terkejut. Aku kira usahaku untuk mengalihkan pembahasan seputar gadis yang dia sukai tidak berhasil.

"Kau belum bisa nebak aku jurusan apa..."

"Oh..." Aku lega, ternyata bukan pembahasan tentang gadis itu. "Mungkin ekonomi, manajemen," tebakku asal. Karena biasanya kalau di novel-novel anak kaum borjuis itu jika di antara mereka kuliah pasti mengambil ekonomi atau paling tidak manajemen. Biar bisa melanjutkan perusahaan keluarganya gitu. Sayangnya, aku tidak tahu bagaimanadan siapa orang tua Kevin jadi aku asal sebut saja.

"Papa nyuruh ambil manajemen, sih, tapi akunya yang nggak mau. Jadi, salah dua-duanya," kata Kevin sambil tersenyum.

Aduh, udah dong tebak-tebakannya.

"Nyerah?" tanyanya.

Wah, pertanyaan bagus, nih.

"Iya, nyerah..." Baru kali ini aku mengucapkan kata menyerah dengan bahagia.

"Hukum."

Aku langsung melongo. Hah? Hukum?

Sebagai orang yang menekuni bidang studi ilmu sosial, jurusan hukum adalah jurusan paling populer di antara disiplin ilmu sosial. Tidak jarang para pelajar IPS di SMA punya keinginan untuk masuk jurusan hukum ketika kuliah. Termasuk aku.

"Seriusan?"

"Hem. Wajar sih, reaksimu begitu. Karena teman-temanku juga nggak nyangka. Dikira aku bohong, karena kalau aku ngaku ambil hukum dikira biar kelihatan populer, secara anak-anak hukum identik gitu. Padahal kurang populer apa aku? Tanpa masuk hukum pun, aku sudah lebih dulu populer kali," celetuknya. Aku menganggap dia terbawa arus pembicaraan hingga dia terkesan sedikit angkuh—kalau aku menilai kalimatnya barusan.

"Nggak nyangka aja, sih. Tadi kau bilang kalau kau termasuk orang yang nggak sempat buat baca buku. Tapi kau ambil hukum yang sebetulnya harus punya banyak referensi bacaan."

"Iya, sih. Tapi mau gimana lagi. Itu sudah tujuan hidup."

Sejenak aku berpikir, bagaimana kalau dia nanti bisa menggapai tujuan hidupnya itu? Misalnya dia jadi seorang lawyer—Pengacara, hakim atau jaksa—semua itu termasuk profesi yang benar-benar membutuhkan karakter orang yang benar-benar progesif dalam bidang keilmuan dan menguasai sejumlah literatur hukum. Tapi kalau dipantau dari pengakuan Kevin tadi, dia termasuk orang yang nggak punya waktu untuk membaca buku.

Tanpa aku sadari, mobil berhenti di sebuah gedung yang ramai pengunjung. Rata-rata, remaja dengan jas almamater berlogo kampus UGM, ada beberapa yang memakai kemeja fakultas masing-masing dengan nama fakultas yang tertulis di bagian belakang baju dan beberapa anak sekolah yang memakai puth abu-abu. Aku tidak kaget kalau nanti bakal banyak teman Kevin di sana. Jelas-jelas ini pasti tempat nongkrongnya langganannya. Beberapa perempuan di sana memekik kegirangan ketika melihat Kevin berjalan di dekat mereka. Bahkan, ada yang menghampiri Kevin dan minta foto bareng. Aku menyingkir ketika mulai berdatangan perempuan lain yang ingin meminta foto bersama Kevin.

"Maaf kalau lama," kata Kevin yang tahu-tahu sudah ada di depanku. Beberapa gadis yang barusan sudah foto dengannya melambaikan tangan sambil tersenyum kegirangan.

"Maklum," kataku singkat.

Ternyata itu adalah sebuah kedai kopi yang bernama Kopi Lembah UGM. Kevin langsung menggandeng tanganku dan mengajakku untuk memilih menu. Ada beberapa varian kopi, special coffee: robusta dan Arabica, hingga ada jus. Aku bingung mau memilih apa, yang jelas aku ragu bila rasanya nanti membuatku merasa asing. Jadi aku memilih yang rasanya sudah pasti aku ketahui. Yaitu Lime tea.

Tapi aku mendadak sadar. Kenapa aku dibuat seolah-olah aku harus menikmati pertemuan ini? Bukankah acaranya cuma mau ngobrol empat mata? Kenapa jadi ke tempat ramai dan terlihat seperti nongkrong?

"Bentar, aku penasaran..." Sambil melihat sekeliling, aku memastikan ada apa di tempat ini. "Bukannya kamu cuma mau ngomong? Kenapa sampai ajak aku datang ke tempat kayak gini segala? Lagian mau ngomong apa, sih? Kalau soal tawaran jadi vokalis itu, aku jawab sekarang aja. Aku nggak bisa terima tawaran itu. Suaraku pas-pasan."

Dia acuh tak acuh dengan ucapanku. Dia menguap dan melihat sekeliling. "Ya, aku paham. Tapi aku tetap saja mau kalau kau yang jadi vokalisnya."

"Hah?" Aku terkejut, apa maksud dia. Dia bilang paham dengan ucapanku, tapi dia masih bersikukuh agar aku jadi vokalis di band-nya. "Gini, kau nggak takut dicaci maki para penggemarmu kalau aku gabung di band-mu? Aku yang nggak bisa nyanyi ini. Jadi, aku juga nggak mau ribet, aku nggak mau terima tawaranmu. Benar-benar nggak masuk akal. Menjadi vokalis grup musik itu tidak ada dalam daftar asumsi cita-citaku. Aku merasa kalau tujuanku sekarang sangat sulit buat dicapai, dengan ditambah menjadi vokalis di band-mu sekarang, itu nggak mungkin."

"Soal tujuanmu yang bisa kuliah di UI dan jadi peneliti itu? Keren, sih. Tapi apa salahnya kalau kau udah jadi peneliti sekaligus jadi penyanyi..."

"Ya mana ada, lah, peneliti masih sempet-sempetnya nyanyi. Sedangkan, penelitiannya aja banyak. Nggak masuk akal. Lagian ibu kemarin itu bohong besar. Dia aja nggak pernah dengerin aku nyanyi. Karena aku emang nggak pernah nyanyi lagi sejak insiden seleksi paduan suara dulu."

"Nggak masuk akal? Siapa bilang. Maudy Ayunda contohnya. Jangankan UI, di Stanford aja dia bisa. Ini bukan soal nggak sempat atau apa ya, ini soal ambisi dan kepercayaan diri. Dan ngomongin soal omongan ibumu kemarin itu, menurutku kamunya aja yang minder. Nih ya, nggak mungkin ibumu rela ngomong di depan publik seperti itu kalau nggak ada fakta. Kenapa dia bilang kalau potensimu di suara, kenapa nggak bakatmu menari atau melukis? Atau memahat mungkin. Kenapa harus nyanyi? Pasti dia punya alasan di baliknya."

Sejenak aku jadi berpikir keras. Ada benarnya juga apa yang dia katakan.

"Ya tapi, kan ini soal bakat turunan. Mungkin saja ibu bilang bakatku di suara karena menganggap kalau penyanyi itu adalah profesi sentral dari bidang seni. Jadi dia pengin buat para wartawan itu langsung puas dengan jawabannya."

"Mana ada kayak gitu," kata Kevin.

"Ya, terserah kaulah. Yang penting aku udah bilang kalau aku nggak bisa nyanyi."

"Oke, kau tetap akan ikut seleksi vokali di band-ku," tutur Kevin.

"Terus kapan?"

"Kenapa tanya gitu? Antusias?" kata Kevin dengan menjengkelkan.

"Hah?! Enggak. Ya soalnya kan, besok aku udah harus balik ke Malang."

"Gampang itu. Buat orang yang kita suka, apa sih yang enggak," katanya sambil memasang wajah menggoda.

Aku terkejut dengan kalimatnya. "Apaan, sih?"