webnovel

Sebuah Lara untuk Zara

Sebuah lara yang tak ada habisnya, mungkin memang sudah jadi takdir untuk selalu menemani Zara. Tak ada yang benar-benar menerimanya, baik keluarga atau dalam lingkup pertemanan. Terlahir dengan kulit kusam, dan jerawatan, sepertinya dianggap terlalu memalukan oleh kedua orang tuanya. Mama artis, Papa pun juga begitu. Intinya, keduanya terkenal. Tak urung identitas Zara sudah ditutup rapat sejak ia kecil. Zara kira ... kisah percintaannya lebih baik. Nyatanya semua tak sesuai harapan. Zayn Arielo tak bisa ia gapai karena alasan ... dirinya si gadis buruk rupa. Ya, ia kira sampai kapan pun, gadis buruk rupa sepertinya tak cocok bersanding dengan sang pangeran tampan seperti Zayn. Sepertinya, sampai kapan pun, bahagia tak akan pernah ada dalam sejarah hidupnya.

Intanworld · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
207 Chs

Gibran & Zayn

Istirahat kedua, Gibran lebih memilih untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang akan dikumpulkan minggu depan. Masih lama memang, tapi lebih baik ia kerjakan sekarang agar bisa santai-santai ke depannya. Itu sudah jadi kebiasaannya. Banyak anak laki-laki sekaligus teman-temannya yang mengejeknya terlalu cupu, tapi ia sama sekali tak peduli. Toh mereka juga akan menyontek milik Gibran nantinya.

"Yaelah Gibran, lo cowok tapi kok rajin banget sih."

Lelaki itu mendongakkan kepala tatkala suara cempreng masuk ke indra pendengarannya. Ia menemukan sosok Sesil dan Nara--teman sekelasnya. Keduanya masuk ke kelas sembari membawa nampan berisi dua mangkok mie ayam dan dua gelas es teh.

Gibran memutar bola matanya malas, "Udah disediain kursi di kantin kok nggak digunain," cibirnya.

Keduanya mendelik, namun Sesil lebih dulu memperdengarkan suara cempreng khasnya, "Bacot," ujarnya.

"Iya ih, kalau nggak ganteng, udah aku lempar kwaci." Nara ikut-ikutan.

Gibran mengedikkan bahu acuh, lelaki itu lebih memilih kembali mengerjakan tugasnya. Dan dua teman perempuannya larut dalam obrolan mereka sembari memakan makanannya masing-masing.

"Eh, Ra, lo udah liat belum nih postingan di lambe turah sekolah kita." Sepertinya Sesil akan memulai sesi ghibahnya.

Dan seperti biasa, Gibran tak akan peduli dengan itu.

Dahi Nara mengernyit, "Apa? Coba liat? Aku nggak punya kuota," jawabnya.

Sesil mendengus, lantas menyodorkan ponselnya pada Nara. Mata gadis itu membola tatkala tamparan dilayangkan.

"Ih, kok Zara gitu ya? Berani banget, aku nggak sengaja nginjek kaki Pak Nurdin aja udah geneteran setengah mati." Nara bergidik ngeri.

Gibran langsung menghentikan kegiatannya, namun masih tetap diam di tempatnya. Menatap lamat soal-soal di depannya. Siapa tahu itu bukan Zara-nya, kan?

Sesil menganggukkan kepala, ia menopang dagu, "Nggak nyangka gue, padahal sebelumnya tuh gue ngerasa kasian banget liat dia digituin. Pengen banget sebenernya gue temenan sama dia, tapi dari dulu nggak ada nyali. Ntar ikutan dibully lagi."

Nara mengangguk membenarkan. Ia pun sama dengan Sesil. Tak bisa dibayangkan jika ia di posisi seorang Zara. Sudah pasti ia minta keluar. Namun, video barusan mampu membuat hati setiap siswa siswi berubah. Tak akan lagi kasihan seperti sebelumnya, mereka akan ikut membenci Zara.

Sementara Gibran mengepalkan tangannya kuat. Ia menoleh ke arah kedua temannya. Mendengar kata bully, ia tahu itu untuk Zara-nya.

"Gue mau liat videonya," ujar Gibran datar.

Nara menoleh, begitu pun juga dengan Sesil. Tak bertanya, dugaan bahwa Gibran juga kepo walau tak seperti biasanya, Nara tetap memberikan ponsel Sesil pada teman sekelasnya yang tampan itu.

"Tumben lo penasaran, Gib?" Sesil tak bisa menahan rasa penasarannya.

Sayangnya, Gibran tak memberi jawaban. Lelaki itu fokus melihat video yang tersebar sembari mengepalkan tangannya. Jari-jarinya beberapa kali menyentuh layar. Saat Nara melongok, ternyata Gibran sedang membaca ribuan komentar dari siswa siswi di sekolahnya.

Brak.

Nara terlonjak kaget dan kembali duduk di tempatnya.

Sebab Gibran menaruh ponsel Sesil cukup keras, "Sialan!" makinya.

Tak mau menunggu waktu lama, Gibran buru-buru berlari keluar. Meninggalkan dua teman perempuannya yang beberapa kali memanggil namanya.

Tapi, Gibran tak dengar sama sekali. Pikirannya hanya satu. Zara akan baik-baik saja.

***

Kaki kiri Zayn menumpu di kakinya yang lain. Lelaki itu menatap gadis di depannya dengan senyum tipis. Kecantikan Citra selalu membuatnya jatuh berkali-kali dalam pesonanya. Sembari memakan permen karet, Zayn mengetuk-ngetukkan jarinya di meja kantin.

"Makan, Cit, main handpone mulu lo." Zayn bersuara.

Citra mengangguk pelan tanpa kata, ia menarik piring nasi goreng miliknya, lantas memakannya sesuai perintah Zayn.

Sebenarnya Zayn tadi hendak pergi ke kelas Zara. Namun Citra menahannya, dan memintanya untuk makan berdua di kantin dengan alasan akhir-akhir ini sangat jarang bertemu dengannya. Zayn sempat menolak tadi, namun Citra menariknya begitu saja. Mau tak mau, Zayn memilih untuk menikmati kebersamaannya dengan bidadari cantiknya ini.

"Kamu nggak makan, Zayn?" Citra bertanya.

Zayn menggeleng pelan, "Gue kenyang," katanya.

Citra mengangguk pelan, ia menghentikan acara makannya. Menatap Zayn dengan tampang serius.

"Lo tahu masalah yang Zara dorong gue?" tanya Citra.

Zayn terdiam sebentar, "Gue nggak tahu ini permainan lo atau bukan. Tapi ... kalau ini permainan lo, apa lo nggak mikir seberapa buruk dampaknya ke Zara?"

Lelaki itu menjeda ucapannya sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan, "Kemarin malam, gue liat Zara dikejar-kejar fans lo. Mereka keroyokan. Untung ada gue, kalau nggak ada ... dia pasti udah babak belur!"

Zayn tak tahu kenapa ia bisa seemosi ini. Citra sendiri sudah mengepalkan kedua tangannya. Menatap Zayn penuh amarah.

"Lo belain dia, Zayn?" Citra mendesis.

Zayn mengangguk, "Kal--"

"Ya ampun, Zara kok gitu ya. Nggak nyangka banget, kasian ya Bu Cantika."

"Iya ya, kok ada murid yang nampar gurunya sendiri."

Zayn dan Citra sama-sama menoleh dan sempat menatap satu sama lain.

"Tunggu!" Citra menghentikan langkah dua gadis yang melewati mejanya tadi.

Keduanya menoleh, dan kembali mendekat dengan menunduk. Tak berani menatap Citra sama sekali.

"Ke-kenapa, Kak?" tanya salah satunya.

Oh, rupanya adik kelas.

"Kalian bicarain apa tadi?" Citra kembali bertanya.

"A-nu, itu Zara nampar Bu Cantika, Kak," jawab keduanya kompak.

Mata Citra dan Zayn membola. Tak menyangka Zara akan seberani itu. Dibully Citra saja takut, kenapa bisa dengan guru seberani itu?

"Lo kata siapa?" kali ini Zayn yang mengajukan kalimat tanya.

"Cek aja di akun lambe turah sekolah, Kak. Kami permisi." Keduanya buru-buru pergi dari sana.

Tanpa kata, Zayn buru-buru meraih ponselnya, memgetikkan akun lambe turah di sana. Begitu pula dengan Citra. Gadis itu juga melakukan hal yang sama.

"Gue nggak nyangka Zara kaya gini. Senakal-nakalnya gue, mana berani nampar guru." Citra berujar demikian sembari mengulas senyum miring sembari menatap Zayn.

Zayn mengepalkan tangannya, "Gue yakin Zara nggak kaya gitu!"

Setelahnya, lelaki itu buru-buru pergi dari sana. Membuat Citra kesal setengah mati di tempatnya.

"Zara, awas lo!"

***

"Ngapain lo ke sini?" Gibran berujar sinis tatkala melihat Zayn mendudukkan diri di sampingnya.

Zayn membalas tatapan sinisnya dengan tatapan yang sama, "Masalahnya apa sama lo?" ujarnya nyolot.

Gibran mendengus, "Lo nggak pantes sama Zara. Gue tahu lo nggak setulus itu sama Zara setelah nolak dia di lapangan waktu lalu," ujarnya.

Mata Zayn membola. Entah mengapa ia mereasa tak terima. Tangannya mengepal kuat, kalau saja bukan di depan ruang kepala sekolah, sudah pasti Zayn akan menyerangnya.

"Lo tahu apa? jangan sok deh, asal lo tahu ya. Zara dari dulu sukanya sama gue." Zayn mengulas senyum miring setelahnya.

Gibran mengepalkan tangannya, "Dan gue ... nggak akan biarin Zara suka sama bajingan kaya lo, ngerti?"

Sialan. Zayn menarik kerah Gibran, sehingga lelaki itu berdiri dari duduknya. Saat hampir melayangkan pukulan, suara pintu yang terbuka membuatnya melepaskan Gibran.

Keduanya berlari ke arah pintu. Dengan raut yang sama, raut khawatir ... untuk Zara.