webnovel

3 - Apa Kamu Yakin?

"Uhm, aku tak bisa menjawab itu. Lanjut aja ya?"

"Iya."

"Oh, foto. Kenapa aku tak pajang di instagram? Entahlah mungkin selera aja, si. Aku lebih suka upload bacaanku. Siapa tahu ada yang sedang samaan baca juga kan? Jadi lebih enak buat sharing."

"Ouh... iya juga. Kamu bener, Han." Adi menjawabnya dengan pasrah. Suara perempuan di depannya membuatnya seolah ingin mengucap 'iya' untuk jawaban apa saja.

"Gimana? Mau ada yang ditanyain lagi? Kalau nggak, aku mau ke kelas, nih."

"Ouh bentar.... kalau boleh tahu, sekarang lagi baca apa? "

"Lihat saja nanti di instagramku. Kamu fansku bukan? Haha." Canda Hana.

Candaan Hana dengan raut wajah cerianya menambah kekaguman tersendiri bagi Adi. Sosoknya yang terkenal pendiam, tak begitu ia lihat darinya. Justru semakin mengenalnya, Adi agaknya semakin penasaran.

"Oh ya. Salam kenal balik Adi. Aku pamit dulu, ya."

"Eh, iya, Han. Makasih udah mau ngobrol, ya." Adi seperti mematung seketika. Tubuhnya kaku setengah separuhnya terpana.

Ia tak menyangka, mempunyai keberanian untuk mengajaknya berbicara empat mata. Dia, Hana. Kembang kampus dengan segudang prestasi dan karya. Lalu, Adi? Siapa dia? Mahasiswa Hukum yang tak lulus-lulus dengan prinsip akan lulus setelah semester empat belas.

Ya. Mahasiswa Hukum kala itu terkenal dengan berbagai julukannya. Dia yang pintar, akan dijuluki sederet nama keren, dia yang nampak mulai bicara atheis, akan dicap calon muallaf. Dan, dia yang bingung kenapa ada di Hukum, biasanya akan dicap mahasiswa pengusaha ternak lele. Berbagai macamnya.

Oh ya, tapi dari semua itu ada satu hal menarik. Tepatnya, ada satu julukan lagi. Namun, julukan itu bukan melekat pada Adi. Melainkan pada sahabat karibnya. Siapa lagi kalau bukan Tirta. Apa julukannya? Cucu Socrates. Ia terkenal pandai beretorika dan berceletuk aneh. Ia juga gemar menyendiri di perpustakaan dengan bacaan filsafatnya.

Kalau Socrates meninggal karena diracun, Tirta pernah juga ditanya dosen apa cita-citanya? Ia dengan tegas menjawab, "Tidak menikah dan mati diracun." Jawaban yang aneh.

"Hei! Cucu Socrates!!" Panggil Adi sesaat setelah melihat Tirta lewat dengan rambut gondrong yang diikat sebagian.

Meskipun Tirta tak melirik, Adi mengejarnya.

"Hei! Darimana sih? Tumben dekat taman."

Namun, yang ditanya malah diam. Sibuk menekuri buku di tangan kirinya.

"Lagian baca buku terus. Apaan sih?" Adi mengambilnya dan memancing emosi Tirta.

"Apaan si? Balikin!!"

"Aneh! Gamau dijuluki cucu Socrates tapi terus-terusan baca buku Socrates. Emang kenapa sih?"

"Lagi pengin tahu aja."

"Masih penasaran korelasi menikah dan jadi filsuf?"

"Emang yakin seumur hidup bakal gak nikah?"

"Kalau ada cewek cantik yang naksir gimana?" Cecar Adi makin memancing kesal Tirta.

"Tebak gue habis ketemu siapa?"

"Siapa emang?"

"Cewek cantik dong."

"Playboy lu."

"Bodo! Yang penting dia cantik. Eh tapi yang ini beda. Gak cuma cantik, tapi beda dari yang lain."

"Itu perkataan buaya dengan kesan pertama yang dilebaykan."

"Beneran. Yang ini ceweknya beda. Karakternya unik. Lu juga pernah ketemu."

"Siapa emang?"

"Hana. Kenal kan? Gue pernah gasengaja lihat lu mapah Hana di tangga. Cemburu aslinya. Tapi ya... udah kejadian. Jangan deket-deket dia, ya. Calon bini gue tuh."

"Hana?" Tirta bertanya seolah mencoba mengingat sesuatu.

"Iya. Emang gak tahu? Yakin gak inget?"

Hari itu terbuka fakta baru. Seorang laki-laki mulai mengagumi Hana. Dan tak disangka, laki-laki itu adalah Adi, teman Tirta. Laki-laki paling menyebalkan di dunia bagi Hana.

***

"Han, baru pulang, Nak?" Sosok suara nan lembut menyapa Hana. Tak lain adalah Ibunya.

"Iya, Bu. Maaf, ya agak telat. Hana beli ini!" Sambil menunjukkan seplastik buah jeruk untuk Ibunya.

"Ini buat Ibu, lo. Ibu suka kan?"

"Iya. Terima kasih, ya."

"Sama-sama Ibuku yang cantik."

"Nak..."

"Ada apa, Bu?"

"Ibu pengin bilang sesuatu ke kamu, Nak. Duduklah..."

Hana pun duduk. Disusul Ibunya yang juga duduk di sebelahnya.

"Ada apa sih, Bu? Tumben." Hana bertanya dengan wajah seperti biasanya. Ceria. Tak ada raut sedih yang mengganggunya.

"Nak, kamu baik-baik saja?"

"Maksud Ibu?"

"Apa benar kamu baik-baik saja?"

"Memangnya Hana kelihatan pucat, ya?" Sontak, Hana mengambil ponselnya. Dan menatap dirinya di kamera ponsel. Memastikan wajahnya tak terlihat pucat.

"Hana baik-baik aja kok, Bu."

"Hmmm."

"Ada apa, Bu? Ibu sebenarnya kenapa?"

"Terkait ucapanmu kemarin, Nak. Apa kamu yakin?"

"Apa alasanmu akan menikah sesuai pilihan Ibu? Bukannya dulu kamu sendiri yang bilang tak ingin Ibu ikut campur? Kamu bisa menentukan pilihan sendiri?"

Hana menunduk sekilas. Namun, bukan menangis. Melainkan mengambil napas panjang. Seolah menyiapkan energi untuk menyampaikan sesuatu.

"Bu... Ibu sayang Hana, kan?"

"Tentu, Sayang. Tak ada Ibu yang tak menyayangi anaknya."

"Itulah jawabannya. Hana sadar. Barangkali selama ini Hana kurang mendengarkan nasihat Ibu."

"Dan... tentang jawaban Hana kemarin. Hana sudah yakin, ko. Hana yakin sepenuhnya pada pilihan Ibu. Hana cuma...," ia menjedakan suaranya. Seolah menantik sesuatu hal.

"Kenapa, Nak?"

"Nggak papa, Bu. Hana cuma pengin hidup lebih tenang. Pengin menyederhanakan sesuatu. Barangkali ini langkah terbaiknya untuk masa depan cinta Hana, Bu."

Hana menjawabnya dengan nada cukup tegas tapi juga lembut. Tak ada bulir mata satu pun yang jatuh dari mata bulatnya. Ia tetap menarik garis senyum paling bahagia.

"Apa kamu bahagia dengan pilihan ini, Nak? Bagaimana kalau nanti menyesal?"

"Ehm... Hana yakin. Hana tak akan menyesal dengan pilihan Ibu."

"Kenapa begitu yakin? Sementara Ibu mencemaskanmu, Sayang. Kalau belum siap, tak apa. Ibu tak akan memaksamu menikah dulu. Nunggu kamu wisuda juga tak apa."

"Ibu tak akan menyuruhmu menikah muda, seperti Ayahmu dulu. Itukah yang membebanimu, Sayang?"

Hana menarik ujung bibirnya lebih panjang. Terlukis garis senyum lebih sempurna. Dengan percaya diri yang entah dipaksakan atau tidak, Hana menjawabnya begitu tenang.

"InsyaAllah, Hana memutuskan menikah kali ini bukan karena itu, Bu. Ini pilihan Hana sendiri. Hana cuma berpikir, ini mungkin akan lebih baiknya."

"Dan Hana siap. Siapapun laki-laki yang Ibu pilihkan. Hana yakin, Ibu mau menyarankan laki-laki itu, pasti karena berbagai pertimbangan bukan?"

"Tentang siapa dia? Kamu yakin?" Raut wajah Ibunya kian terlihat cemas. Alisnya berkerut memandangi putri semata wayangnya.

"Ya. Hana yakin. Ibu juga gak pernah sebelumnya menyarankan laki-laki pada Hana bukan? Entah kenapa Hana merasa yakin."

"Cuma dengan cara ini Hana yakin tak akan sedepresi dulu. Hana tak perlu menyimpan banyak nama yang nanti hanya akan makin menyesakkan."

"Bagaimanapun, Ibu tak ingin kamu merasa terpaksa, Nak."

"Hana tak merasa terpaksa. Keyakinan sepenuhnya pada pilihan Ibu. Rasanya sakit sekali mengingat orang yang pergi, tapi tak pernah menetap di hati. Semoga keputusan Hana tepat."

"Bahkan sampai sekarang. Hana masih belum bisa benar-benar baik-baik saja kala teringatnya."

Hana menunduk. Seolah tak kuat mengingat berbagai kisah patah hatinya. Meskipun ia bisa terlihat begitu ceria, tapi sebagaimana manusia pada umumnya. Pasti ada hal yang bisa membuatnya terenyuh.

Hana tak pernah main-main dalam urusan cinta. Selama perjalanan cintanya, ia pun berusaha menjadi kekasih yang baik. Pengertian, setia, dambaan laki-laki pada umumnya. Namun, nasibnya memang tak tertebak sama sekali.

"Ibu ingat kan? Saat kekasih Hana pertama dulu, bagaimana? Bagaimana dia menyayangi Ibu dan Bapak pas masih hidup?"