webnovel

School of Persona

Bagaimana rasanya hidup sebagai remaja di tahun 2042-2043? Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompetitif? Mereka itulah yang disebut sebagai ‘Generasi Emas Indonesia 2045’. Berdirilah School of Persona (SP). Sebuah asrama yang dibangun sebagai tempat pembinaan kompetensi dan kepribadian para remaja SMA penerima Haikal Scholarship in Leadership (HSL). Penghuni asrama elit itu sangat heterogen, mereka dituntut untuk memahami berbagai perbedaan persona di dalamnya. Mereka memiliki sisi yang membanggakan, normal, hingga 'liar' secara bersamaan. Bukan kamuflase, itu hanya ukum tiga wajah; pribadi; keluarga; publik. Banyak persoalan, rahasia dan masalah muncul diantara mereka, lama kelamaan membesar, lalu meledak sebagai bom waktu. Lalu, mampukah mereka membangun diri sekaligus menghadapi tantangan besar generasi mereka itu? Unlock the answer by reading this story! ------ Halo, Readers! Selamat datang di novel keempat Aleyshia Wein. Konsep novel ini adalah Fiksi Realistik dengan sentuhan Literary Fiction. Meskipun demikian, sisi romantis akan tetap ada tipis-tipis, baik diantara para penghuni School of Persona, atau Adriana dan Haikal. Author menyarankan untuk terlebih dahulu membaca karya kedua Author yang berjudul 'Laboratory Doctor and Activist' untuk lebih dekat dengan karakter dan kisah Adriana Gerrie dan M. Faqih Haikal yang terbilang cukup filosofis mendasari berdirinya The School of Persona. Seperti biasa gaya bahasa akan cenderung teknis, dan beberapa istilah advanced akan dijelaskan dalam notes Author. Happy reading! Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
268 Chs

Siraman Rohani Tak Sengaja

Merasa lelah usai mengayur sepeda cukup jauh melewati jalanan dengan kontur naik turun dan rusak di beberapa titik, Iqbaal dan Nalesha memutuskan untuk singgah sebentar di kedai kecil penjual mie ayam. Random saja, itu rekomendasi Iqbaal yang jauh lebih kelaparan dibanding Nalesha. Rasanya sia-sia saja agenda olahraga dan pembakaran kalori itu karena nyatanya masing-masing satu mangkuk besar mie dan segelas minuman manis yang mereka pesan untuk 'mengganjal' perut.

"Denger-denger ya, ini kedai dulunya tuh warung gerobak gitu Lesh. Tau gak Lo?" Iqbaal membuka topik sesuai insight yang menarik menurutnya.

Nalesha menggeleng, "Gak tau tuh. Tapi ... kalau mulai open tahun 1999 sampai dinamain Kedai Mie 99 sih keren banget kalau progress developmentnya udah sampai begini," pujinya, mengedarkan pandangan ke sekitar tempatnya duduk. Bukan tanpa alasan pujiannya itu, karena kedai yang relatif kecil itu sudah berbasis IT, IoT, dan AI. Lihat saja, tidak ada manusia di dapurnya, hanya robot.

"Betul. Dari dulu Gue selalu tertarik sama gadget untuk produksi makanan dan restoran gitu Lesh, dan kedai ini tuh salah satu yang punya itu."

"Hmm gitu ..." Nalesha mengangguk-ngangguk, "Saya tebak investornya pasti kaum milenial, gen-Z, yang mau naikin level mie ayam."

"Iya, begitu. Malah yang Gue denger, katanya mereka awalnya tuh mau pakai 3D printing, fully automated gitu, jadi kedai-kedai cabang Mie Ayam 99 ini gak akan ada manusianya sama sekali untuk mengendalikan. Tapi ..."

"Pasti soal signature, taste, value?" tebak Nalesha.

"Nah itu. Nenek Gue bahkan sering bilang kalau makanan tanpa sentuhan manusia itu ada aja yang kurang."

"Hm, bener bener," ujar Nalesha mengangguk antusias, "Mama Saya sampai sekarang Baal, selalu bikin bumbu tuh pakai ulekan, jaaarang banget pakai blender atau apa tuh namanya ... food processor? Menjaga tradisi dan cita rasa banget," lanjutnya.

Tak lama kemudian, suara wanita khas AI menyebut nama Iqbaal, memberitahu pesanan mereka sudah jadi. Lalu tak perlu berdiri, karena sebuah cyborg yang mengantar makanan berkuah panas itu.

"Terimakasih atas pesanannya, thank you for your order, please come again later," ujar cyborg merah tua itu ramah, lalu kembali ke stationnya.

Nalesha tersenyum puas, "Sangat memuaskan. Thanks banget rekomendasinya Baal. Kayaknya tau banyak ya soal tempat makan berteknologi gini?" candanya.

Iqbaal yang tengah mengaduk mie ayam itu hanya tertawa kecil, "Lumayan lah, sebenernya udah lama juga mau ajak siapa gitu anak asrama buat makan diluar, seenggaknya disini sambil ngobrol-ngobrol santai. Tapi tau sendiri deh pada sibuk terus, susah cari waktu."

"He eh. Ini cocok sih buat ngehibur orang yang lagi sedih biar dia terperangah dengan teknologi yang udah masuk ke warung mie," ujar Nalesha tersenyum sekilas.

"Siapa emang yang lagi sedih?"

Nalesha ubah ekspresi, merasa salah berbicara beberapa detik lalu. Tidak aman kalau Iqbaal sampai bisa menebak siapa yang dimaksudnya.

"Saheera?"

Skak mat! Iqbaal si cenayang dengan santainya menebak tepat, membuat Nalesha mau tak mau pasang wajah sok cook agar tidak mati gaya, "Iya. Gak tau ya dia nangis-nangis karena gak jadi exchange ke Belanda?"

"Tau kok." Iqbaal menyeruput mienya dengan asik, "Cuma gak tau mau nanya atau ngehibur gimana. Dia kan selalu ... gimana ya ..." ujarnya berpikir, sementara Nalesha hanya memperhatikan mienya. "Unik sih dia kalau punya masalah. Nangisnya diumbar, healingnya disembunyiin. Tiba tiba udah oke aja. Kayak tadi, gak tau deh dinasehatin apa sama si Bunda," lanjutnya.

Nalesha menghela nafasnya sejenak, "Kasian sih, mungkin kalau Saya jadi dia ... bakalan sedih juga. Big opportunity gitu, di cancel gitu aja."

"Hm, iya sih. Gue pernah baca kutipan lucu yang representatif ..." Iqbaal setengah tertawa duluan.

"Apa tuh?"

"Gini katanya, 'pernah hampir bahagia, tapi kepeleset' ..."

"Hahaha!" Nalesha sontak tertawa agak keras, "Gokil sih, kepeleset banget gak tuh. Tapi bener sih, Saya sering begitu, selain emang faktanya sering kepeleset pas muncak dan udah hampir sampai atas. Rasanya? Sakit!" lanjutnya mendramatisir.

Iqbaal hanya geleng-geleng kepala, lanjut meminum es lemon tea miliknya, "Hati hati aja kali ya, kedepan, apalagi setelah lulus makin banyak medan yang bikin Kita kepeleset terus nangis-nangis," ujarnya.

"Yoi. Masih SMA gini aja udah banyak tantangan, dan orang-orang diatas Kita selalu bilang 'kalian tuh belum tau apa-apa, hidup kalian masih enak'. Saya pikir ... wow! Seperti apakah dunia yang sebenarnya itu?"

"Gak akan terprediksi, tugas Kita bukan forecasting, apalagi membuat kurva lonceng buat probabilitas yang sangat semu Lesh. Tapi menurut Gue ..." Iqbaal menelan makanannya terlebih dahulu, "Waktu semakin maju nih, target semakin tinggi juga," lanjutnya memberikan ilustrasi grafik dengan tangan.

"Hm. Terus?" simak Nalesha.

"Nah begitu juga dengan warna dan kemampuan adaptasi Kita, semakin terang dan kuat. Karena pada dasarnya ... everything just passes by, and we're alright selama Kita tangguh dan punya kendali," lanjutnya sedikit puitis. Namun berbicara dengan Nalesha si penyuka syair tentu saja tak akan dianggap cringe. "Setuju, balik lagi sih ke ucapan lawas, 'let it flow, everything would be okay' ..."

"Bener. Tapi kenapa ya Lesh, Kita tuh selalu khawatir sama masa depan. Padahal, itu bukan urusan Kita."

"Urusan Kita dong Lesh, kan Kita yang punya kontrol."

Iqbaal menggeleng tak setuju, "Menurut Gue enggak Lesh. Kita gak punya kontrol, Kita itu ... sebenarnya cukup berlindung dibalik Tuhan Yang Maha Esa, kalau Lo bertuhan," tandasnya. "Kita berpasrah, mengandalkan Tuhan sebagai pembuat keputusan, dan Kita hanya mencari jalan untuk mendapatkan apa yang Kita mau. Sisa restu, tentu bukan di Kita," lanjutnya.

Nalesha, dalam hati diam-diam tertampar oleh pemikiran seorang Iqbaal yang sangat agamis dan logis sekaligus. Selama ini Nalesha merasa terlalu sombong mengandalkan kemampuan dirinya yang bukan apa-apa dan sebatas ciptaan Tuhan itu.

"Berat nih omongan Gue, sorry sorry," ujar Iqbaal tak enak.

"Hah? Enggak kok, justru Saya butuh siraman rohani gak sengaja kayak gini."

"Hahaha!" tawa Iqbaal, "Siraman rohani? Dikiranya Gue Ustadz kali Lesh ... Lesh ..."

"Lah bener kan? Kamu kan Menteri Agamanya SP."

"Gak lah! Saheera tuh."

"Menteri Agama biasanya laki-laki. Eh tapi gapapa sih perempuan juga," ralatnya, jangan sampai Ia menjadi sexist, kan? Mengkotak-kotakkan profesi berdasarkan gender. Maaf saja, itu sudah tidak relevan di masa sekarang.

"Yaudah lah ya. Ini apa Kita beliin anak-anak mie juga? Biar nyicip?" Iqbaal berinisiatf.

"Alah gak usah! Biar beli sendiri."

"Yee Ketua Asrama pelit bener."

"Gapapa, biar pada punya motivasi buat olahraga, meski motivasinya motivasi jajan."