webnovel

School of Persona

Bagaimana rasanya hidup sebagai remaja di tahun 2042-2043? Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompetitif? Mereka itulah yang disebut sebagai ‘Generasi Emas Indonesia 2045’. Berdirilah School of Persona (SP). Sebuah asrama yang dibangun sebagai tempat pembinaan kompetensi dan kepribadian para remaja SMA penerima Haikal Scholarship in Leadership (HSL). Penghuni asrama elit itu sangat heterogen, mereka dituntut untuk memahami berbagai perbedaan persona di dalamnya. Mereka memiliki sisi yang membanggakan, normal, hingga 'liar' secara bersamaan. Bukan kamuflase, itu hanya ukum tiga wajah; pribadi; keluarga; publik. Banyak persoalan, rahasia dan masalah muncul diantara mereka, lama kelamaan membesar, lalu meledak sebagai bom waktu. Lalu, mampukah mereka membangun diri sekaligus menghadapi tantangan besar generasi mereka itu? Unlock the answer by reading this story! ------ Halo, Readers! Selamat datang di novel keempat Aleyshia Wein. Konsep novel ini adalah Fiksi Realistik dengan sentuhan Literary Fiction. Meskipun demikian, sisi romantis akan tetap ada tipis-tipis, baik diantara para penghuni School of Persona, atau Adriana dan Haikal. Author menyarankan untuk terlebih dahulu membaca karya kedua Author yang berjudul 'Laboratory Doctor and Activist' untuk lebih dekat dengan karakter dan kisah Adriana Gerrie dan M. Faqih Haikal yang terbilang cukup filosofis mendasari berdirinya The School of Persona. Seperti biasa gaya bahasa akan cenderung teknis, dan beberapa istilah advanced akan dijelaskan dalam notes Author. Happy reading! Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
268 Chs

Sedikit Kontrol Manusia

Jerry mumbalikan halaman buku selanjutnya, sembari matanya mendelik sekilas pada seseorang di depannya yang tengah menangis kecil. Saheera, berkali kali menyeka air matanya dan terisak tanpa suara. Ya, masih dengan penyebab yang sama, dan es krim Nalesha tak mampu meredakan kesedihannya. Si empunya bahkan sampai pamit duluan karena ada urusan di luar hingga Jerry menggantikan sukarela.

Jerry sebenarnya bingung harus melakukan apa, maka Ia berkali kali meminta Saheera untuk kembali ke kamar dan dipersilakan menangis sepuasnya. Tapi gadis itu urung, dengan dalih ingin belajar. Katanya kalau di kamar akan tidak fokus.

Ya Tuhan, Jerry yang dijuluki Profesor saja sampai minder pada api ambisinya yang bahkan tak padam diguyur air mata.

"Prof, ini gimana caranya?" tanya Saheera kemudian, masih terisak.

Jerry beralih dari buku, memiringkan kepalanya guna membaca lebih jelas soal aritmatika sosial cukup panjang itu, "Pakai integral ini. Kamu cari dulu model persamaannya."

Saheera mengangguk, kembali bekerja.

"Yang lain pada kemana sih? Asrama kok sepi belakangan ini?" Jerry membuka topik iseng.

"Gak tau ..."

"Udah sih Ra belajarnya, kasian Kamu lho, kalau lagi sedih ya sedih aja, jangan maksain," ujar Jerry kembali memberi saran. Mendadak logat bicaranya itu jadi khas Sumatera.

"Hahh ..." Saheera menghela nafasnya panjang, "Gak mau lama lama nangisin Prof, mau move on," lanjutnya.

"Ya move on emang bisa sehari dua hari? Apalagi ini dua, dua yang Kamu kejar lama kan?"

"Aku gak kejar kok. Mereka datang sendiri."

Jerry terdiam, benar juga. Lalu mendadak Ia kehilangan sikap, "Kenapa Kamu gak kejar?"

"Kalau dikejar, berarti mereka gak mau sama Aku. Jadi Aku biarkan aja dia datang, lalu pas mereka datang Aku peluk kuat kuat ... eh taunya ..."

Jerry ikut menghela nafasnya frustasi. Puitis sekali Saheera itu, tapi nyaman terdengarnya. Berbeda dari narasi puitis melo manapun menurut Jerry.

"Ra, gimana caranya biar sesuatu yang Kita mau datang dengan sendirinya tanpa mengejar? Seperti yang Kamu bilang itu?"

Saheera tampak berpikir, "Ehm, kalau Aku pribadi ... pada dasarnya tetap berusaha, tapi sisa keputusan itu ada di Tuhan yang mengurus segala urusan manusia dengan sangat baik."

Jerry mengangguk ngangguk, tidak usah diragukan masalah ketuhanan Saheera.

"Beda banget Prof rasanya bergantung sama usaha diri sendiri, aja, sama bergantung pada Tuhan. Kamu akan lebih tenang di yang kedua, apalagi ketika menyadari kalau ..."

"Kita tuh gak punya kontrol besar atas segala sesuatu, makanya orang bilang 'sometimes, it doesn't come as you wish' karena Kita gak tau mana yang terbaik buat Kita," lanjutnya, tanpa sadar berhenti belajar dan menangis karena pertanyaan Jerry yang mendalam.

"Tapi apa Kamu nyaman bergantung pada Tuhan?" lanjut lelaki jenius itu.

Saherta mengangguk cepat.

"Kenapa? Bukannya itu ... menjadikan Kita seperti seseorang yang sangat lemah?" bantah Jerry kritis.

"Memang Kita lemah Prof. Kita cuma bisa mengontrol apa yang sedang Kita kerjakan saat ini, bukan masa depan, pun masa lalu. Jadi kenapa mengusakan sesuatu yang tidak dalam scope pengendalian?" Saheera balik berargumen kritis, membuat Jerry bertopang dagu berpikir. Jujur Ia tidak menyangka pemikiran Saheera tentang keagamaannya akan semenarik itu.

"Konsepnya kayak ... overthinking ya? Jangan mikirin sesuatu yang ada diluar kontrol Kita. Gitu kan?"

"Ya, absolutely."

Jerry mengangguk paham, kemudian tersenyum penuh arti, "Tapi Kamu nangis pas gak bisa pergi exchange dengan beasiswa itu. Artinya Kamu ... gak mau menyerahkannya kembali pada Tuhan sebagai pemilik kesempatan itu kan?"

Saheera menunduk, matanya yang tadi agak mengering itu kembali berkaca kaca, "Sedih wajar gak sih Prof? Apa manusia gak boleh sedih?"

"Bukan bukan, bukan gitu maksudnya ..." Jerry memberikan disclaimer, "Ini nanya aja kok, sharing pendapat dan mungkin perasaan Kamu biar lebih ringan."

"Hmm ..." Saheera berpikir, "Sesimpel rasanya dikasih teaser doang tanpa bisa menonton full movie. Gitu rasanya, tapi yaudah. Paling Aku nangis dua sampe tiga harian. Bukan gak rela sih Prof, cuma sedih aja gitu. Nerima ya nerima," jelasnya

"I see. Pasti sedih. Tapi berangkat gak berangkat, Kamu keren dan hebat kok Ra ..." puji Jerry, memperhatikan gadis berhijab didepannya itu lamat lamat.

"Apa yang hebat dari Aku? Semua punya Tuhan."

"No, I mean ... Kamu keren dengan pemikiran dan prestasi Kamu. Yakin aja sih, pasti ada kesempatan lain waktu, yang bisa ... lebih diizinkan oleh kedua orangtua Kamu."

Saheera tertawa pelan, "Gak berharap sih Prof. Aku juga gak mau ngarep yang sama, takut lebih kecewa nantinya."

"Jangan gitu, jangan patah arang. Pasti ada, apakah ketika sumber izin Kamu berubah ..."

"Maksudnya?" Saheers heran.

Jerry mengedikkan bahu, "Siapa tau Kamu menikah dengan suami yang open, mendukung keinginan Kamu yang satu itu bahkan pergi berdua? Who knows, girl."

Saheera tertawa, geleng geleng kepala dibuatnya, "Mikirnya kejauhan lah Prof. Masih anak anak."

"Ya siapa tau, kan kata Kamu tadi, gak ada yang tau masa depan, dan Tuhan maha tau mana yang terbaik."