webnovel
#COMEDY
#CAMPUS
#TEEN
#FUTURE

School of Persona

Bagaimana rasanya hidup sebagai remaja di tahun 2042-2043? Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompetitif? Mereka itulah yang disebut sebagai ‘Generasi Emas Indonesia 2045’. Berdirilah School of Persona (SP). Sebuah asrama yang dibangun sebagai tempat pembinaan kompetensi dan kepribadian para remaja SMA penerima Haikal Scholarship in Leadership (HSL). Penghuni asrama elit itu sangat heterogen, mereka dituntut untuk memahami berbagai perbedaan persona di dalamnya. Mereka memiliki sisi yang membanggakan, normal, hingga 'liar' secara bersamaan. Bukan kamuflase, itu hanya ukum tiga wajah; pribadi; keluarga; publik. Banyak persoalan, rahasia dan masalah muncul diantara mereka, lama kelamaan membesar, lalu meledak sebagai bom waktu. Lalu, mampukah mereka membangun diri sekaligus menghadapi tantangan besar generasi mereka itu? Unlock the answer by reading this story! ------ Halo, Readers! Selamat datang di novel keempat Aleyshia Wein. Konsep novel ini adalah Fiksi Realistik dengan sentuhan Literary Fiction. Meskipun demikian, sisi romantis akan tetap ada tipis-tipis, baik diantara para penghuni School of Persona, atau Adriana dan Haikal. Author menyarankan untuk terlebih dahulu membaca karya kedua Author yang berjudul 'Laboratory Doctor and Activist' untuk lebih dekat dengan karakter dan kisah Adriana Gerrie dan M. Faqih Haikal yang terbilang cukup filosofis mendasari berdirinya The School of Persona. Seperti biasa gaya bahasa akan cenderung teknis, dan beberapa istilah advanced akan dijelaskan dalam notes Author. Happy reading! Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Remaja
Peringkat tidak cukup
268 Chs
#COMEDY
#CAMPUS
#TEEN
#FUTURE

Kurang Pintar, Tetap Humoris

Nalesha terduduk di pinggir kasur lantai tempatnya tidur seminggu terakhir. Sulit sekali rasanya untuk merasa mengantuk meski Ia sudah sangat lelah seharian ini bertemu banyak orang, mulai dari penyidik BIN sampai pengacaranya. Kepalanya bahkan sampai pusing karena tidak pernah tidur dengan benar barang seharipun selama berada di tahanan itu. Belum lagi soal siapa yang satu sel dengannya; Rafi, Ayahnya.

Demi Tuhan, tidak ada yang lebih canggung dan mengesalkan dibanding satu ruangan dengan sosok Ayah yang tak pernah memperlakukannya sebagai anak selama delapan belas tahun lebih usianya. Satu-satunya interaksi yang mereka jalin adalah saling membenci dan menghakimi. Maka tak wajar jika Nalesha bahkan tak sudi untuk melihat wajah pria itu sekalipun. Pun Rafi, meski Ia seolah berusaha meraih interaksi standar dengan melirik-lirik sekilas anaknya yang menatap kosong ke luar pintu sel.