webnovel

School of Persona

Bagaimana rasanya hidup sebagai remaja di tahun 2042-2043? Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompetitif? Mereka itulah yang disebut sebagai ‘Generasi Emas Indonesia 2045’. Berdirilah School of Persona (SP). Sebuah asrama yang dibangun sebagai tempat pembinaan kompetensi dan kepribadian para remaja SMA penerima Haikal Scholarship in Leadership (HSL). Penghuni asrama elit itu sangat heterogen, mereka dituntut untuk memahami berbagai perbedaan persona di dalamnya. Mereka memiliki sisi yang membanggakan, normal, hingga 'liar' secara bersamaan. Bukan kamuflase, itu hanya ukum tiga wajah; pribadi; keluarga; publik. Banyak persoalan, rahasia dan masalah muncul diantara mereka, lama kelamaan membesar, lalu meledak sebagai bom waktu. Lalu, mampukah mereka membangun diri sekaligus menghadapi tantangan besar generasi mereka itu? Unlock the answer by reading this story! ------ Halo, Readers! Selamat datang di novel keempat Aleyshia Wein. Konsep novel ini adalah Fiksi Realistik dengan sentuhan Literary Fiction. Meskipun demikian, sisi romantis akan tetap ada tipis-tipis, baik diantara para penghuni School of Persona, atau Adriana dan Haikal. Author menyarankan untuk terlebih dahulu membaca karya kedua Author yang berjudul 'Laboratory Doctor and Activist' untuk lebih dekat dengan karakter dan kisah Adriana Gerrie dan M. Faqih Haikal yang terbilang cukup filosofis mendasari berdirinya The School of Persona. Seperti biasa gaya bahasa akan cenderung teknis, dan beberapa istilah advanced akan dijelaskan dalam notes Author. Happy reading! Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
268 Chs

Is It the End Game?

Sekali lagi Dhaiva memastikan name tag kecil di sisi kiri gaun merah maroon yang Ia kenakan itu terpasang benar. Meskipun sebenarnya agak menyusahkan sih, membuatnya jadi sedikit tidak nyaman memegang biolanya. Sudah satu jam lebih Dhaiva ada di auditorium, menunggu gilirannya tampil membawakan project musik akhir sekaligus uji kompetensi. Sudah sejak pagi juga Dhaiva nervous sendiri, mendadak demam panggung. Padahal sudah berkali-kali Ia tampil di depan publik seperti itu.

Melihat ke sekeliling auditorium, masih saja sepi. Hanya beberapa orang yang sudah datang, duduk di sayap bersebrangan. Pelatih yang akan menilainya bahkan belum datang. Mungkin Dhaiva memang berangkat terlalu pagi. Lalu di tengah kekosongan auditorium itu, Ia mencelos dalam hati. Harusnya ... ada Nalesha disini, karena Ia sudah berjanji. Tapi apa sekarang? Komunikasi dengannya pun bahkan tidak memungkinkan. Padahal, lebih dari siapapun saat ini, Nalesha yang masih paling Ia butuhkan.

Bab Terkunci

Dukung penulis dan penerjemah favorit Anda di webnovel.com