webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · perkotaan
Peringkat tidak cukup
371 Chs

Rival atau Viral?

Saat ini antara Savira, Dina dan Raga tengah saling berpandangan. Duduk di meja makan tanpa mengatakan apa-apa setelah membuat keributan beberapa waktu yang lalu.

Savira mendesah kesal. Padahal ia baru saja tidur selama satu jam. Tetapi harus terbangun karena dua makhluk yang ribut dan membuatnya bangun.

"Udah kalau gitu mending kita berangkat sekarang," ucap Savira.

Ia melirik jam di dinding ruang tamu sudah menunjukkan jam 3 pagi. Yang artinya tinggal sedikit lagi untuk mereka berdua siap-siap menuju ke salon.

"Cuci muka sana, Ga. Gak usah mandi," suruh Savira.

"Bajunya?" tanya Raga polos. Namanya saja dia kabur pasti dia tidak membawa pakaian ketika hendak keluar dari rumahnya tadi.

"Pakai itu aja. Nanti kan ada baju dari mereka," jawab Savira.

*Lagian cuma malam ini kan kamu nginep di sini?" Savira bertanya kemudian berdiri. Dia juga harus bersiap-siap pagi itu untuk menemani Raga.

Tapi yang ditanya hanya diam dan menatap wajah Savira penuh harap.

"Jangan lihat aku kayak begitu? Firasatku jadi gak enak nih?"

"Satu minggu deh."

*Gak," potong Savira cepat.

"Emang mau aku ngegembel?"

"Pulang, Ga. Jangan kayak anak muda deh."

"Emang masih muda," balas Raga dengan bergumam tapi Savira dapat mendengarkannya.

Wanita itu berbalik sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarnya.

Dan setelah beberapa menit berlalu. Dia keluar dari kamar lengkap dengan pakaian tebalnya.

Masih pagi dan suhu pagi-pagi biasanya lebih dingin dari biasanya.

"Din, tunggu di rumah ya," ucap Savira.

"Iya mbak." Dina berdiri kemudian mengantarkan Savira sampai depan rumah.

Sejak di meja makan Dina diam-diam mencuri pandang ke arah Raga.

Tak mau munafik, jujur saja ia menyukai wajah Raga yang tampan dan pembawaan dirinya yang cuek tapi tetap bisa keren.

Matanya tak lepas dari lelaki itu ketika Raga sedang mengenakan helmnya.

"Naik motor pasti masuk angin tar," dengus Savira.

"Daripada naik taksi apa bus, mau emang? Bayar mahal?"

Savira diam. Dia mengenakan helm entah milik siapa. Pokoknya dia mengambil helm yang ada di samping tak sepatu. Mungkin milik temannya yang lupa dia bawa kembali pulang ketika main ke rumah Savira.

Motor perlahan melaju perlahan meninggalkan rumah Savira. Dina melambaikan tangan pada Savira dan juga Raga.

Lelaki itu memandang bayangan Dina dari spionnya sekilas lalu fokus pada jalanan yang ada di depannya lagi.

Perjalanan menuju salon membutuhkan waktu lumayan lama yaitu empat puluh lima menit. Padahal jalanan pagi itu masih sepi.

Mereka tak akan tahu apa jadinya kalau nanti pulang dari sana sore atau siang hari, karena pasti akan sangat macet.

"Kita telat gak?" tanya Raga sambil melihat salon yang sudah buka pagi itu.

"Gak, masih ada waktu satu menit. Buruan!!" Savira berteriak sambil menarik lengan Raga untuk masuk ke dalam salon.

Pasti model yang lain sudah ada di sana saat ini karena tak hanya Raga yang harus didandani sepagi ini.

"Miss?!" panggil Savira dengan nada yang genit membuat Raga bergidik ngeri mendengar suara yang tak biasa itu.

Namun yang membuatnya lebih ngeri adalah ketika yang datang adalah seorang lelaki botak sangat centil.

"Ah! Kamu telat aku gak suka!" Lagak dari lelaki yang lumayan berumur itu bahkan melebihi Savira.

"Maaf Miss, abisnya tadi bangunin si brondong dulu." Savira menarik Raga yang berdiri di belakangnya.

Mata Harsono yang tak lain lelaki yang dipanggil oleh Miss itu langsung bercahaya seakan menemukan emas puluhan karat.

"Ganteng nih Vir." Har menoel lengan Raga dengan manja. Sementara Raga sangat geli diperlakukan seperti itu oleh Miss Har.

"Tolong ya Miss. Buat jadi lebih muda dan segar. Konsepnya boyfriend material gitu," kata Savira.

"Sip, kamu tunggu aja di ruang tunggu."

Savira menurutinya karena memang seperti itu prosesnya. Raga yang akan ditinggalkan oleh Savira seakan tak rela jika harus bersama dengan lelaki feminin yang mencoleknya jika mau.

"Pacarnya Savira?" tanya Har pada Raga ketika dia menata rambut Raga.

"Bukan," jawab Raga singkat.

Rambut Raga dipotong bagian bawah menyisakan sedikit di bagian atasnya. Membuat lelaki itu menjadi sedikit berbeda ketika baru masuk ke dalam salon tadi.

"Kamu gak pernah creambath ya?"

"Keramas aja di rumah udah cukup," jawab Raga lagi.

Mana sempat dia ke salon hanya untuk creambath. Dia pernah mengantarkan Mita ke salon itu pun dia langsung pergi karena tak betah berlamaan di sana.

"Kalau mau jadi model dirawat," ujar Har tapi dengan wajah serius. Ketika ia menjentikkan jarinya. Dua orang wanita, ehmm maksudnya benar-benar wanita muncul dan memberikan alat make-up untuk bosnya.

Raga sempat ingin langsung minggat saja dari sana. Sebelum Hara menempelkan warna di wajahnya.

"Duduk." Har menahan kedua bahunya dengan kedua tangannya. Sama sekali berbeda dengan penampilannya. Dia sangat kuat.

"Ini gak bakalan mirip jadi penyanyi dangdut. Cukup lihat aja. Ini biasanya make-up buat idol."

Raga diam. Matanya terpejam ketika merasakan sapuan kuas di bagian matanya.

Bagian alis juga dirapikan kemudian bibirnya terasa sedikit lengket ketika Har meratakan sesuatu di sana dengan benda yang disebut tint.

Raga membuka matanya. Dia sempat syok karena melihat perubahan dirinya yang mencolok. Ini sama sekali seperti bukan dirinya.

Har yang mendadaninya pun terkejut dengan sentuhannya. Rasanya sangat menyenangkan bisa membuat lelaki tampan menjadi lebih menarik.

"Nyawa model itu di wajah. Jangan sampai wajah kamu kenapa-kenapa." Har menunjuk sebuah luka tamparan bekas ayahnya tadi malam. Tapi sudah ditutupi oleh Har dengan dempulan agar tak terlihat.

"Kalau bos tau bisa ditendang," lanjutnya lagi.

Raga hanya mengangguk lalu berdiri.

Har yang genit pun memeluk Raga sangat kuat membuat lelaki itu merasa sesak.

"Nanti kamu bakalan sering ketemu sama aku," bisiknya menggelikan. Mungkin maksudnya jika Raga ada sesi pemotretan maka dia lah yang akan menjadi make-up stylish-nya.

Raga tersenyum canggung untuk menanggapi. Lalu matanya teralihkan pada bayangan lelaki yang baru saja keluar dari tempat.

Mereka sudah berdandan rapi dengan make-up yang sama sepertinya.

"Mbak Vira!" panggil salah satu lelaki yang baru saja melewati Raga.

Savira yang tersenyum berdiri dan memeluk mereka seakan sudah akrab.

Mereka juga berbincang-bincang seakan sudah mengenal sejak lama sampai Savira tak sadar kalau sudah ada Raga di belakangnya.

"Tante," panggil Raga pelan.

Savira menoleh ke belakang punggung model yang ada di depannya. Pun dengan model tersebut.

Mata Savira langsung melebar karena terkejut dengan perubahan dari Raga.

"Mantap!!" puji Savira dengan puas.

"Siapa Mbak?" tanya model yang bernama Andreas itu.

"Oh, dia modelku yang baru. Kenalin namanya Raga. Raga ini dia Andreas model lama di sini. Maksudku udah senior di sini."

Raut wajah Andreas seakan tak suka. Ia menjabat tangan Raga dengan genggaman yang kuat membuat ekspresi Raga seperti menahan sakit.