webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · perkotaan
Peringkat tidak cukup
371 Chs

Aku Juga Lelaki

Dina mengubah ekspresi wajahnya sesegara mungkin sebelum akhirnya dia menemui Raga dan Savira yang saat itu masih berpelukan.

"Mbak, maaf ganggu," ucap Dina dan membuat kedua orang itu terkejut.

Savira mengusap air matanya sendiri dan menyedot ingusnya yang nyaris keluar lalu menatap Dina.

"Kenapa, Din?" tanya Savira dengan salah tingkah, begitu pula dengan Raga.

"Itu Mbak, Mas Rico mau pulang katanya," jawab Dina.

"Oh iya, aku sampai lupa kalau ada Rico." Savira pun buru-buru turun dari sana untuk menemui Rico yang saat itu sedang menyesap teh manisnya.

Ia membuat teh itu sendiri sudah seperti di rumahnya sendiri.

"Kamu mau pulang, Co?" tanya Savira ketika turun dari tangga kecil yang menghubungkan antara ruang televisi dan atap.

Kening Rico mengernyit kemudian menatap wajah Savira terkejut, kenapa dia harus diusir padahal dia belum mau pulang saat ini.

"Aku aja baru buat kopi, kamu ngusir aku?"

"Bukan—" Savira salah tingkah lagi. "Kata Dina, kamu mau pulang." Savira menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Wah anak itu, bener-bener gak suka sama aku kayaknya."

Savira terkekeh.

"Kamu kayak Om om centil soalnya."

"Aku masih muda lho," belanya.

Lalu akhirnya mereka berdua terlibat dalam obrolan yang lumayan panjang. Mereka berdua duduk di kursi yang ada di meja makan dan saling berhadapan.

Savira menceritakan kisah cintanya selama ini setelah putus dengan lelaki itu. Meskipun sangat aneh karena menceritakan masa lalu dengan mantan sendiri pastinya.

"Kalau kita nikah pasti kita udah punya anak ya, Vir," kata Rico membuat Savira malu.

"Mungkin."

"Terus mau sampai kapan kamu begini?"

"Gak tau. Belum ada yang sreg, apalagi gara-gara kemarin." Savira masih saja geram kalau dia mengingat kejadian kemarin.

"Gak semua pria kayak gitu, contohnya aku. Kan kamu yang mutusin hubungan kita waktu itu."

Savira diam. Mungkin ini adalah karmanya pada Rico, atau mungkin Rinaldi lelaki cupu yang ia tolak mentah-mentah pada saat itu.

"Mau sampai kapan kamu biarin cowok itu tinggal di sini?" tanya Rico. "Di sini kan ada Dina, kamu gak takut emang?"

"Takut apa? Kenapa kamu cuma khawatir sama Dina, heh?!"

Rico tertawa sampai terdengar di atap di mana Raga dan Dina berada.

Raga yang berada di atas dengan Dina sempat penasaran hal apa yang sedang dibicarakan oleh Savira dengan mantan kekasihnya sampai seakur itu.

"Mereka kayaknya cocok ya?" ungkap Dina. "Jarang kan ada mantan masih bisa berhubungan baik kayak begitu."

Raga menatap Dina aneh.

"Karena mereka udah dewasa, jadi kayaknya gak ada alasan buat saling benci," sahut Raga. Ia yakin dengan hal itu.

Selama mereka putus bukan karena adanya pihak ketika Raga yakin kalau hubungan mereka masih bisa baik, seperti saat ini.

"Aku udah bilang sama dia yang sebenarnya," kata Raga.

"Bilang soal ini?"

Raga mengangguk.

"Terus apa katanya?"

"Ya—dia biarin aku kalau mau balas dendam," kekeh Raga.

Dina merengut tiap kali melihat Raga tersenyum karena Savira. Entahlah, ia tak suka jika Raga memanggil Savira dengan sebutan yang menurutnya menampakkan kedekatan mereka.

**

Raga turun setelah Rico pulang. Dia hendak mengambil air putih di kulkas. Tetapi ia tidak menemukan Savira ada di mana-mana. Padahal dia ingin melanjutkan mengobrol dengan wanita itu.

"Ga, dicariin sama cewek," kata Savira ketika dia masuk ke dalam rumah.

Dia rupanya habis pergi ke minimarket membeli minuman bersoda satu plastik besar.

"Siapa?" tanya Raga.

Savira menaikkan kedua bahunya. "Dia gak bilang."

Raga melongok ke arah luar. Wanita? Kalau bukan Mita siapa lagi? Tapi mana mungkin dia bisa menemukan dirinya di sini?

Tetapi dugaan Raga ternyata benar. Mita benar-benar ada di depan rumah Savira.

"Kamu—kenapa bisa ada di sini?" tanya Raga ia kemudian keluar melewati pintu pagar.

"Aku kangen sama kamu." Mita tiba-tiba memeluk lelaki itu, astaga sudah dua kali dia dipeluk oleh dua wanita yang berbeda.

"Mit, jangan begini." Raga mengurai pelukannya.

"Wajah kamu kenapa? Ibu tau kamu begini?"

"Udah jangan alihin pembicaraan, kamu tau aku di sini dari siapa?"

Mita hendak menjawab tapi ragu. Karena diam-diam dia memberikan alat pelacak pada ponsel Raga ketika masih pacaran dulu agar tahu bahwa lelaki itu tidak berbohong padanya.

"Kamu tinggal di sini sama siapa?"

"Mita, kalau kamu gak mau jawab, mending kamu pulang sekarang."

"Aku gak mau."

"Terserah kamu kalau begitu."

Raga meraih pintu pagar yang terbuat dari besi tersebut. Namun ia tiba-tiba membeku ketika Mita mengatakan sesuatu padanya dan berisi sebuah ancaman untuknya.

"Aku bakalan bilang sama ibu kamu, kalau kamu tinggal sama dua cewek di sini," katanya.

Membuat Raga berhenti dan melirik ke arahnya kesal.

"Kamu ngancam aku?"

"Bukan ngancam, abisnya susah banget mau ketemu kamu. Apalagi kamu mau cuti kuliah kan?"

Raga menghela napasnya dengan kasar kemudian menekan kedua bahu Mita dengan kasar.

"Jangan libation ibu aku dalam masalah ini, kalau kamu berani bilang sama dia, jangan harap aku mau nemuin kamu lagi," desis Raga. "Aku gak tau kenapa kamu begini, tapi hubungan kita udah berakhir Mit."

Raga masuk ke dalam rumah dan tak peduli dengan Mita yang masih mematung di depan rumah Savira.

Ketika dia masuk ke dalam, dia melihat Savira sedang menonton drama Korea kesayangannya. Sambil tertawa seakan tidak menunjukkan beban hidunya.

Tanpa sadar Raga menghampiri Savira lalu duduk di sampingnya. Ia mengambil soda yang dibeli oleh Savira tadi kemudian membukanya.

Rasanya sangat menyegarkan apalagi jika itu gratis.

"Siapa cewek tadi, Ga?" tanya Savira matanya masih menatap ke arah layar TV.

"Mantan."

"Beuhhh, mantan," ledek Savira. "Udah pulang? Cepet amat?"

"Gak tau."

"Kamu suruh di depan begitu, nanti kalau ilang gimana?"

"Biarin."

"Beuhh, anak kecil lagi ngambek." Tangan Savira mengelus kepala Raga dengan lembut, tapi lagi-lagi tangan itu ditangkap oleh Raga.

Wajahnya menatap ke wajah Savira sangat dekat.

"Oh—sorry. Aku lupa kalau kamu gak mau dipegang," ucap Savira. Wajahnya ikut tegang apalagi ketika melihat Raga berubah menjadi serius seperti itu.

"Aku juga lelaki, tante. Biarpun umurku baru 20. Tapi semua perasaan itu sama aja," bisiknya pelan. Dan tepat pada saat itu Dina keluar dari kamarnya dan melihat pemandangan menggemaskan itu.

"Ehem!" Dina berdeham.

"Aku boleh ikut nonton gak Mbak?" tanya Dina.

"Boleh dong, sini." Savira mendorong tubuh Raga agar menjauh darinya dan membuat Dina duduk di tengah.

Dan tatapan mata dari Raga tadi, sempat membuat jantung Savira menjadi berdegub tak karuan.

Padahal hanya anak kecil yang menatapnya, tapi mengapa bisa membuatnya salah tingkah seperti ini?