webnovel

Tanggung Jawab

Sasya terkekeh dengan pelan saat mendengar lontaran candaan yang baru saja Sastra lontarkan. Bukan hanya Sasya yang tertawa, Bunda yang mendengar juga tertawa riang. Setelah acara menangis-menangis tadi, Sastra memilih untuk mencairkan suasana nya.

Sasya sendiri yang tertawa paling kencang di antara keduanya. Seperti ciri khasnya, Sasya pasti akan tertawa sembari memukuli bahu Sastra yang duduk di dekatnya dengan berulang kali.

"Bunda."

Senyum Sasya luntur tatkala melihat sosok sang kakak dan ketiga sahabatnya. Gadis itu berdehem, mencoba menetralkan ekspresinya, ia bangkit dan berpindah duduknya ke sofa. Gerakannya itu diikuti oleh Sastra yang ikut mendudukkan diri di sampingnya.

"Kenapa, Bang?" Falisa bertanya dengan suara lembutnya.

Arash melirik sang adik sekilas, lelaki itu tersenyum lembut ke arah sang Bunda, "Ada sahabat-sahabat Arash, Bun. Mereka baru pertama kali ke sini, Bun. Makanya Arash mau kenalin sama Bunda."

Falisa tersenyum lebar, wanita itu menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Iya. Em ada berapa orang?" tanyanya dengan pelan.

Arash terkekeh dengan pelan, lelaki itu segera memperkenalkan para sahabat sahabatnya satu per satu.

"Ada El, Bumi, sama Diko, Bunda," ujar Arash dengan pelan.

El mengulas senyumnya tipis, lantas lelaki itu mencium tangan Bunda Arash, "Saya El, Tante," ujar lelaki itu.

Bunda Falisa mengulas senyum tipis, "Salam kenal, El," jawabnya.

Pergerakan El setelah itu diikuti oleh Bumi dan Diko yang juga memperkenalkan diri pada sang Bunda.

"Saya Bumi, Tante, temennya Arash yang paling baik hati," ujar Bumi dengan kekehan pelannya itu.

"Saya Diko, Tante, temennya Arash yang paling humoris dan tampan," ujar Diko mengikuti cara perkenalan diri Bumi sebelumnya.

Falisa tersenyum dengan lebar, "Salam kenal, Bumi, El, Diko. Panggil Bunda aja, ya. Sahabatnya Sasya juga panggilnya Bunda," ujarnya dengan senyum manis khas seorang ibu.

El sendiri tersenyum pelan. Lelaki itu melirik ke arah Sasya yang kebetulan tak sengaja menatapnya.

"Rash? Gue boleh ngomong empat mata sama adek lo? Bentar doang kok? Mau ngomongin hal yang tadi juga, sesuai kesepakatan kita tadi." Tentunya, El mengucapkan hal itu dengan berbisik pelan.

Arash terdiam sejenak, sebelum akhirnya lelaki itu menganggukkan kepala pelan tanda mengizinkan. Maka El segera berjalan mendekat ke arah Sasya. Menatap gadis itu dengan tatapan datarnya.

"Gue mau bicara, berdua," ujar El dengan nada dinginnya.

Sasya terkejut. Sastra juga, lelaki itu sempat menahan Sasya namun gadis itu memilih untuk mengikuti langkah El ke teras depan.

"Mau ngomong apa?" Sasya bertanya dengan nada nyolot.

Beneran, ia semakin kesal melihat wajah El yang menatapnya dengan tampang datar seolah tak merasa bersalah. Hei, menurut Sasya, ia dimarahi abangnya habis-habisan sampai menangis seperti tadi ya gara-gara ini orang. El.

El sendiri terkejut atas lontaran ketus Sasya. Ia pikir gadis itu akan insyaf setelah mendapat ceramah panjang lebar dari abangnya tadi.

"Lo kok kaya nggak ngerasa bersalah? Seenggaknya minta maaf kek sama gue. Padahal udah diceramahin abis-abisan sama Abang lo." El berkata demikian.

Sasya mendengus sebal. Ia memang tidak berani kalau berhadapan dengan kakaknya. Tapi kalau berhadapan dengan El, ia jelas berani. Berani sekali.

"Lo kan udah jahat banget ya ngaduin ini ke Abang gue sampe dimarahin gitu. Gue tau lo ini sahabatnya kakak gue. Tapi gue berani banget ya asal lo tau aja." Sasya mengomel cepat sekali tanpa jeda, membuat El terdiam dan kemudian terkekeh pelan yang terasa mengejek untuk Sasya.

"Gini, gue cuma pengen lo punya rasa tanggung jawab jadi pihak yang bersalah. Gue nggak minta ganti rugi semacam uang. Enggak, gue ngerti gimana kondisi ekonomi lo." El mengambil jeda, dan memberi kesempatan agar Sasya membuka suara.

"Apa? Tanggung jawab kaya gimana ha? Ngejek gue miskin? Lo mau minta ganti rugi juga gapapa, orang Sastra aja mau gantiin." Sasya membalas perkataan El dengan nada nyolot ya seperti sebelumnya.

El terkekeh hambar, "Uang gue udah banyak. Gue minta tanggung jawab lo dalam bentuk ... lain."

Sasya mendelik, "apa?!" tanyanya ketus.

El terkekeh dengan pelan, "Lo harus cuciin motor gue tiap hari. Sampai bersih."

Sasya mendelik, "Fuck you, gue aduin ke Abang gue lo!" serunya kesal.

El terkekeh pelan, "Sayangnya, gue udah minta persetujuan Arash tadi. Dan tentunya dia setuju, gue gak berani main nyuruh lo tapi ga ngomong Arash dulu."

Sasya menggeram sebal, gadis itu mengusap wajahnya kasar. Sedetik kemudian, gadis itu menendang kuat lutut El membuat lelaki itu berteriak kesakitan. Namun, Sasya benar-benar tak peduli. Gadis itu lebih memilih masuk kembali dan memaksa Sastra untuk berdiri. Ia hiraukan pertanyaan Bundanya dan tatapan bingung dari Arash dan kedua temannya.

"Kenapa, Sya?" tanya Sastra pelan.

Sasya menghela napasnya berat, "Lo bisa pinjemin duit buat ganti rugi motor cowok kampret itu?" tanyanya dengan berbisik, tak mau sampai kalau Bundanya mendengar bisikannya.

Sastra tentunya menganggukkan kepalanya kuat. Lelaki itu segera mengikuti langkah Sasya menuju ke teras depan. Tanpa menyadari kalau Arash juga turut mengikuti dari belakang.

"Berapa kerugiannya, Bang? Biar gue yang bayar," ujar Sastra saat sudah berada di depan El yang tampak mengusap lututnya entah kenapa.

El mendongak, lelaki itu mengangkat alisnya, "Maksudnya?" tanyanya.

Sastra menghela napasnya, "Gue mau ganti rugi kerugian yang dibuat sama Sasya, berapa? biar masalahnya kelar di sini," jawabnya pelan.

El menggelengkan kepalanya, "Nggak bisa, gue mau dalam bentuk lain," sahutnya.

Sasya menggeram sebal, ingin sekali ia mencakar sosok jangkung di depannya. Kalau saja bukan di rumahnya ... sudah Sasya cakar lelaki itu. Benar-benar definisi orang menyebalkan yang kesekian kali ia temui. Dan Sasya berharap akan segera dijauhkan dengan setan berwujud manusia itu. Ah, tampaknya Sasya benar-benar cukup emosi.

"Nggak bisa gitu!" Seru Sasya kesal.

El sendiri menghela napasnya berat, lantas mengkode Arash yang berada di belakang Sasya dan Sastra agar segera turun tangan.

"Jangan ngebantah. Turutin aja apa kata El. Lagian, ini juga buat latihan biar kamu bisa perbaiki akhlak kamu itu." Arash akhirnya buka suara, membuat Sasya langsung menegang di tempatnya.

Hei, Sasya benar-benar masih merasa takut. Gadis itu memejamkan matanya dan mau tak mau ia menganggukkan kepalanya dengan pelan.

"Emang setan sih, nggak heran gue."

"Bilang apa lo, Dek?" Arash menatap Sasya tajam.

Sasya berdehem dan menyengir pelan. Gadis itu lantas mengalihkan pandangannya dari Arash. Ia menghela napasnya berat, lalu melirik Sastra yang juga menatapnya dengan tatapan memelas, meminta bantuan. Sayangnya, lelaki itu menggelengkan kepalanya pelan karena Arash selaku Abangnya sudah memutuskan.