webnovel

Bukan Papa

"Lo beneran nggak mau ditemenin, Sya? Gue sama Naka bisa bantu cuciin motornya," ujar Sastra menawarkan. Naka sendiri segera menganggukkan kepalanya.

Sasya terdiam sebentar untuk berpikir, lantas sesaat kemudian gadis itu menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Nggak usah deh, gue males itu orang ngadu ke Bang Arash bawa lo berdua."

Sastra mau tak mau menganggukkan kepalanya dengan pelan. Naka sendiri menghela napasnya lega dengan senyum lebar.

"Makasih udah nolak, Sya," ujar Naka dengan kekehan geli.

Sasya mendelik sebal, "Lo kalau ntar butuh ke gue ga bakalan gue bantu ya!" serunya kesal.

Naka terkikik geli, lelaki itu mengedikkan bahu di atas motornya, "Kan masih ada Sastra, ga butuh lo," ujarnya dengan nada bercanda.

Tak mau meladeni Sastra lebih panjang lagi. Gadis itu segera meraih helmnya, dan memakainya. Ia menoleh ke arah Sastra dan Naka yang menatapnya.

"Gue duluan yaa brothers!" seru Sasya sembari memberikan flying kiss membuat Sastra terkekeh pelan, sedangkan Naka mengernyit jijik.

"Hati-hati, Sya! Kalau ada apa-apa lo bisa telpon gue ya!" Sastra berujar begitu, jadi sosok pengertian seperti biasanya.

Gadis itu lantas melajukan motornya, dan segera beranjak dari sana. Pergi meninggalkan Naka dan Sastra.

Tak butuh waktu lama bagi Sasya sampai di alamat yang tadi dikirimkan oleh Arash. Alamat rumah El. Gadis itu menatap takjub rumah di depannya. Mewah sekali. Ya ... sebelas dua belas sama dengan rumahnya dulu ... saat papanya masih bersamanya.

"Eh, Non, temannya Den El ya?" tanya sosok satpam rumah El yang berjalan menghampirinya.

Sasya segera menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Iya, Pak, El nya ada?" tanyanya dengan ramah.

Satpam tadi menganggukkan kepalanya. Dan segera membukakan pintu pagar tinggi itu untuk dilewati Sasya.

"Masuk aja, Non, sama motornya juga." Sosok satpam tadi berkata begitu.

Sasya menganggukkan kepalanya dengan pelan, lantas segera melajukan motornya hingga berhenti di halaman rumah El. Tepat sekali di samping motor El yang sudah terparkir di sana.

"Udah dateng lo?" tanya El mengejutkannya.

Sasya tersentak kaget, lantas gadis itu menganggukkan kepalanya pelan, "Iya, mana buat nyiram motor butut lo itu?" ujarnya ketus.

El geleng-geleng kepala di tempatnya, "motor mahal di bilang butut," jawabnya pelan. Yang Sasya sendiri acuhkan, gadis itu memilih sibuk dengan ponselnya setelah membuka helmnya dan merapikan rambutnya yang berterbangan.

Atensi Sasya teralih saat melihat El yang kembali datang membawakan lap, dan juga sabun motor. Maka Sasya segera melepaskan tasnya dan menaruhnya di motor, hpnya sendiri ia selipkan di saku kemejanya.

"Lagian gue nggak percaya ya rumah segede ini nggak punya orang yang ngebersihin motor," omel Sasya di tempatnya.

El terkekeh pelan, "Emang, tapi kan ini soal tanggung jawab. Biar lo jera," katanya.

"Oh iya, nomor gue kok lo blok sih?" ujar El sebal.

Sasya berdecih, "Suka suka gue lah. Lagian ya, asal lo tau ... gara gara lo spam chat, gue dihukum bersihin toilet."

El tertawa kencang, cukup lama sampai tawanya reda. Ia menetralkan wajahnya tatkala melihat Sasya yang menatapnya datar, "gue janji nggak akan spam chat, tapi buka ya."

Sasya mengedikkan bahunya acuh, "Bodo amat, lagian mau apa lo suruh gue buka blokiran lo?"

El terdiam sebentar, "Buat nanyain Arash kalau misal mau nongkrong. Dia suka nggak punya kuota."

Sasya abaikan, gadis itu memilih untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya agar segera bisa pulang. El sendiri malah duduk di motor Sasya sembari menatap adik sahabatnya yang sedang mencuci motornya. Sasya yang ditatap seperti itu risih sebenarnya. Gadis itu menghentikan gerakannya dan melirik El yang menatapnya dengan alis terangkat.

"Bisa nggak jangan liatin gue? mata lo jelalatan banget ya jadi laki," ucap Sasya pedas.

El berdehem salah tingkah, "Siapa juga yang liatin lo," ujarnya sembari memalingkan muka.

Sasya berdecih saja, lantas segera melanjutkan pekerjaannya. El sendiri sempat masuk, dan kembali dengan segelas es teh yang lelaki itu bawa. Bertepatan sekali dengan Sasya yang sudah menyelesaikan pekerjaannya.

Gadis itu tampak sedang mencuci tangannya yang penuh sabun, sebelum akhirnya melempar lap motor tadi ke ember.

"Udah, selesai kan? gue mau pulang!" seru Sasya penuh sebal.

El menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Minum dulu, gue udah buatin," jawabnya.

Sasya terdiam sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya pelan. Ia raih gelas El itu, lantas meminumnya dengan sekali tegukan hingga habis. Membuat El melongo di tempatnya.

"Nih, makasih." Sasya menyodorkan gelas itu ke tangan El.

Gadis itu lantas kembali memakai helmnya, dan menggendong tasnya. Saat hendak melajukan motornya, dering ponsel di saku kemejanya terdengar. Membuat Sasya menghela napasnya berat dan segera menerima panggilan telepon yang masuk itu.

Nomor tak dikenal.

"Halo?" ujar Sasya bertanya.

Terdengar jeda cukup lama saat itu, "Halo, Sya, ini papa. Papa minta kamu ke kantor Papa sekarang. Nggak ada bantahan."

Belum juga Sasya bersuara, suara lelaki yang statusnya sebagai ayah kandungnya itu lebih dulu mematikan sambungan teleponnya. Sasya mengusap wajahnya kasar.

"Sial, gue lupa blok nomor ini. Cuma gue hapus aja," gumam Sasya pelan. Namun El cukup bisa mendengar. Namun, lelaki itu tampaknya tak mau ikut campur. Takut takut Sasya semakin marah.

Maka tanpa kata, Sasya segera pergi dari sana. Tanpa mengucap kata sampai jumpa atau kalimat lainnya. Meninggalkan El yang menatap punggung gadis berseragam putih abu-abu itu sampai hilang dari pandangan nya.

"Dia ditelpon siapa ya?" gumam El bertanya.

***

Sasya menuruti permintaan sang Papa. Gadis itu kini sampai di depan perusahaan besar milik sang Papa. Ia menghela napasnya berat. Gadis itu merapikan rambutnya sebelum akhirnya berjalan masuk menuju kantor sang Papa.

"Eh, Mbak Sasya, udah lama nggak kesini ya."

Sasya menoleh, gadis itu tersenyum tipis saat sosok resepsionis yang memang sudah ia kenal berujar demikian. Gadis itu menganggukkan kepalanya pelan.

"Mbak, em ... Pa-pa ada di sini?" tanya Sasya ragu.

Sosok resepsionis itu menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Silahkan masuk aja, Mbak. Ruangannya masih sama kok. Apa perlu saya antar?" tanyanya pada Sasya.

Sasya menggelengkan kepalanya pelan. Gadis itu lantas mengucap permisi dan terima kasih pada sosok resepsionis itu. Sasya melangkah dengan pelan sembari menyiapkan diri untuk bertemu sang Papa setelah satu tahun lamanya tidak bertemu. Bagaimana kabar lelaki itu ya?

Sasya menarik napas dalam dalam saat sudah sampai di depan ruangan sang Papa. Gadis itu mengetuk pelan pintu di depannya. Hingga suara Papanya yang menyuruhnya masuk terdengar dari dalam, membuat Sasya segera membuka pintu dan melangkahkan kakinya masuk.

"Ada apa?" Sasya bertanya tanpa basa basi.

Sosok sang Papa menolehkan kepala. Lelaki paruh baya itu terdiam sebentar menatap putrinya yang kini berdiri di depannya. Sejatinya, tak ada seorang ayah yang tak merindukan putrinya.

"Papa mau ngomong sama kamu, perihal kakak kamu, Tere. Duduk." Sosok lelaki paruh baya itu meminta Sasya untuk segera duduk.