Winternity, sebuah nama bagi orang-orang yang tinggal di dalamnya untuk menyebutkan bahwa tanah tempat mereka tinggal tidak pernah melihat rerumputan hijau maupun cahaya matahari yang menghangatkan tubuh.
Bukan berarti cahaya matahari tidak pernah menyinari tempat itu, hanya saja meskipun matahari menyinari kampung halaman orang-orang tersebut. Suhu dingin yang cenderung ekstrim tetap memberikan kesan dingin jauh dari kata hangat.
Pada dasarnya, Winternity adalah tempat yang selalui dipenuhi pemandangan berwarna putih kemanapun mata melihat.
Seperti yang orang-orang ketahui dan pahami, masyarakat yang tinggal di Winternity selalu menggunakan pakaian tebal yang berlapis-lapis sehari-harinya. Itu bertujuan agar tubuh mereka tidak terekspos dan membeku. Jika bagian tubuh mereka ada yang membeku, maka satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan melakukan amputasi pada bagian tubuh yang membeku tersebut.
Namun terdapat sebuah pemandangan yang berbeda di suatu tempat di utara yang bernama, Hutan Putih.
Di hutan yang sepenuhnya diisi oleh pohon pinus yang tertutupi oleh salju, terlihat seorang pemuda berkulit pucat dan berambut hitam.
Apa yang membuatnya berbeda dari yang lain adalah fakta jika pemuda itu tampak sedang memotong kayu dengan kapak di genggamannya namun dalam kondisi bertelanjang dada.
Bahkan pakaian bagian bawahnya hanya sebuah celana pendek dan sepasang sandal jepit. Jauh berbeda dengan gaya berpakaian orang-orang yang pada umumnya tinggal di Winternity.
Meski warna tubuhnya terlihat pucat seperti orang yang terkena suatu penyakit, namun pada faktanya pemuda itu justru sehat dan segar bugar. Tidak terlihat rasa lelah di wajahnya juga tak terlihat tubuhnya menggigil ketika bertelanjang dada dalam kondisi suhu ekstrim seperti itu.
Rasanya seakan jika indera perasanya telah mati tidak berfungsi sama sekali. Namun bahkan jika indera perasa seseorang telah mati, kulit mereka akan membeku dan perlahan masuk ke dalam tubuh mereka melalui pori-pori di tubuh.
Tapi situasi yang sama tidak terlihat di tubuh pemuda itu. Seakan-akan pemuda itu adalah api yang tak padam di tengah suhu dingin sekalipun.
Setelah beberapa waktu berlalu, terlihat pemuda itu menaruh kapak yang sebelumnya ia gunakan dan mengangkat sekumpulan batang kayu tadi masuk ke dalam rumah kayu yang berlokasi tidak jauh dari tempat dirinya membelah kayu.
Membuka pintu di hadapannya dengan sedikit kasar, pemuda itu berteriak lantang, "Kakek, aku sudah selesai melaksanakan tugasku. Bisakah kau menceritakan kepadaku tentang dunia yang dipenuhi pepohonan dan rerumputan hijau itu sekali lagi?"
Dari dalam rumah itu sendiri terlihat seorang kakek tua renta tengah menghisap sebuah cerutu dengan tenang. Ya, dengan tenang. Setidaknya sebelum pemuda tadi masuk dengan cara mendobrak pintu rumahnya.
Karena terkejut, sang kakek otomatis langsung terbatuk-batuk dan memukul-mukul dadanya.
Sementara sang pemuda yang melihat kakeknya terbatuk-batuk begitu langsung menggelengkan kepalanya dan berkomentar, "Oalah, kakek. Kan sudah kubilang tidak baik merokok apalagi kau sudah tua begitu. Sekarang kejadian baru tahu rasa kan."
Mendengar komentar tersebut, sejenak sang kakek melupakan batuknya dan berteriak kencang, "Ini semua karena kau, Ark!"
Kembali menggelengkan kepalanya, Ark lanjut berkomentar, "Dasar orang tua, sudah salah malah balik menyalahkan. Ya, sudahlah. Ngomong-ngomong, kakek, kapan kau akan menceritakanku tentang dunia itu lagi?"
Memfokuskan pandangan matanya ke arah sosok pemuda yang kini tengah memasukkan kayu-kayu tadi menuju perapian, ekspresi marahnya langsung berubah menjadi lembut seketika.
"Tak terasa sudah delapan belas tahun waktu berjalan …" gumam sang kakek yang mulai mengenang masa lalunya saat ia tiba di Winternity bersama seorang bayi mungil di pangkuan tangannya.
Di lain pihak, pemuda yang tadi disebut sebagai Ark oleh sang kakek mulai mengalihkan perhatiannya kembali kepada sang kakek setelah ia selesai memasukkan semua kayu tadi ke dalam tungku perapian.
Duduk tak begitu jauh sambil merasakan kehangatan yang keluar dari perapian yang ada di sebelahnya, Ark kembali berkomentar, "Apa-apaan ekspresi kakek itu? Kakek sedang memikirkan hal mesum ya?"
Sontak saja ekspresi lembut sang kakek langsung berubah menjadi murka. Menunjuk-nunjuk Ark dengan tongkat kayunya, sang kakek berkata, "Apa kau bilang?! Tunggu dulu, kau tak memiliki teman juga tak pernah kuberitahu tentang hal-hal mesum mengingat usiamu masih delapan belas tahun. Katakan padaku, dari siapa kau tahu tentang hal-hal semacam itu?!"
Menatap sang kakek dengan ekspresi tak percaya, Ark kembali berkata, "Oh, kakek. Rumah kayu kita ini tak begitu jauh dari Kota Whitelore. Tentu saja aku memiliki teman meski cuma dua atau tiga orang. Jika aku tidak memiliki teman, bisa-bisa anak-anak di kota akan menyebutku tidak gaul."
Mendengar jika cucunya memiliki dua atau tiga orang teman di kota yang tak begitu jauh dari lokasi tempat tinggal mereka, ekspresi sang kakek kembali melembut.
Menghela asap putih yang keluar dari mulut keriputnya, sang kakek berkata, "Ark, kau sudah berusia delapan belas tahun. Katakan padaku, kenapa kau masih suka mendengarkan dongeng yang terus kuceritakan padamu itu berulang-ulang?"
Ark, yang mendengar jika sang kakek menyebut semua cerita yang selama ini ia beritahukan kepada dirinya sebagai dongeng langsung menggelengkan kepalanya.
"Kakek, oh kakek. Jika itu sekedar dongeng tidak mungkin kau menceritakan kepadaku sambil memasang wajah penuh nostalgia. Aku bukanlah orang bodoh. Aku, Ark Dawnfall, adalah orang yang cerdas!"
Ekspresi penuh percaya diri yang Ark perlihatkan langsung runtuh ketika sang kakek memberikan komentarnya, "Menurutku kau terlihat bodoh, cucuku."
Kali ini yang memperlihatkan ekspresi marah adalah Ark. Menunjuk ke arah sang kakek ia berkata, "Kakek macam apa yang mengatakan jika cucunya bodoh!"
Sang kakek yang ikut murka juga membalas, "Cucu macam apa yang bertingkah tidak sopan dan menunjuk-nunjuk jarinya ke arah kakeknya sendiri!"
Selesai mengatakan hal tadi, keduanya secara bersamaan langsung membuang muka sambil berdecih.
"Cih!"
…
"Aku akui jika apa yang selama ini kukatakan padamu bukanlah dongeng. Memang itu adalah dunia yang nyata. Situasi yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan situasi yang ada di Winternity. Tapi jika kau mengetahui kebenarannya, lantas apa? Kit-"
Belum habis sang kakek melanjutkan kata-katanya yakni, "Kita sudah terlalu lama berada di Winternity ini dan aku tidak memiliki kekuatan juga keberanian untuk kembali ke sana."
Sang cucu sudah memotong pembicaraannya terlebih dahulu.
"Lantas aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri kebenaran itu. Kakek, sejak lama kau bertanya kepadaku tentang mimpi dan keinginanku kan? Aku sudah memutuskannya, aku ingin pergi ke tempat itu. Tempat yang tidak tertutupi oleh salju selamanya."
Menghela nafasnya, sang kakek pun bertanya, "Berapa lama kau bisa bertahan di luar tanpa pakaian?"
Meski tidak paham mengapa sang kakek bertanya demikian, Ark menjawab pertanyaan sang kakek dengan sejujurnya tentu saja dirinya tak lupa kembali bertanya apa yang membuatnya tiba-tiba bertanya demikian kepadanya.
"Sekitar tiga jam, memangnya kenapa? Mengapa kau tiba-tiba bertanya tentang hasil latihan kerasku, Kek?"
Menggelengkan kepalanya, sang kakek menjawab, "Hanya tiga jam? Itu masih jauh dari kata mumpuni. Kau masih harus berlatih lebih banyak lagi, Ark. Aku tidak memiliki cukup waktu untuk melatihmu menjadi petarung sejati."
Masih tidak mengerti atas apa yang dibicarakan sang kakek secara mendadak, Ark kembali bertanya, "Kau tidak memiliki cukup waktu? Kau ingin membuatku menjadi seorang petarung sejati? Apa maksudmu, Kek? Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan."
Membuka lembaran kehidupan sebagai penulis dengan kisah ini, saya selaku Author berharap jika kalian menyukai dan menikmati cerita ini ^^. Saya berharap dukungan dari pembaca semua karena dengan dukungan kalian saya menjadi semangat untuk menulis dan menghasilkan karya yang berkualitas.