webnovel

Pelarian

Kampus

"Tadi ada pesan?"

Anika menatap ragu ke arah Satya. Ia menjawab dengan tautan alis, seakan tak mengerti. Lalu ia mengeluarkan ponsel Satya dari tas, menyerahkan kepada pemiliknya. Pertanyaan Satya itu membuat darahnya mengalir deras ke puncak kepala, lalu lepas dalam bentuk emosi. Diam-diam ia ingin menutupi perbuatannya tadi.

"Cek aja sendiri," jawab Anika dingin. Ia merutuki kebodohannya, kenapa dia tak punya kemampuan berbohong pada pemuda itu?

Satya mengacak rambut Anika. "Aku kan cuma nanya, kenapa jawabnya gitu sih?"

Aku? Entah kenapa sejak kapan panggilan manis itu terbiasa keluar dari mulut Satya maupun Anika saat mereka hanya berdua.

Anika menggeleng. "Capek." 

Satya menautkan alis. Alasan capek tak cukup mendukung sikap dingin Anika. "Aku ada salah sama kamu?"

Anika kaget, menatap Satya yang terlihat menyelidikinya. Ia menghela napas.

"Aku pernah janji sama Tina untuk tidak mendekati kamu."

Hening.

"Aku bukan pelarianmu kan,?" tanya Anika menuntut kepastian.

Satya tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat Anika menanyakan hal tersebut. Selama itu ia tak pernah menganggap Anika sebagai pengisi kekosongan saat tak ada Tina. 

Anika ingin egois, tak ingin Satya membagi perhatiannya kepada siapa pun, apalagi gadis masa lalunya itu.

"Bimbang?" Nada suara Anika tak terdengar seperti orang yang bertanya, begitu gamblang dan seakan menertawakan diri sendiri.

Satya menatap Anika. Ada apa dengan Anika? Kenapa tiba-tiba dia membahas Tina dan melontarkan kata-kata semacam itu? Satya mengulurkan tangan, menggenggam tangan Anika lembut. 

"Kamu ngomong apa sih? Kelelahan ya? Aku antar pulang?" Anika menggeleng. Kecewa dengan sikap Satya. Seharusnya dia sadar sejak awal bahwa Satya tak bisa menetapkan hati di antara dua pilihan.

Satya kaget saat ponselnya bergetar.

Sender: Tina

Kamu di mana?

Anika melirik Satya sekilas. Hatinya berdenyut pedih saat melihat kebimbangan melingkupi wajah Satya. Dia tahu pengirim pesan itu. 

Dia begitu tahu siapa yang dapat mengambil pemuda itu darinya.

Mengambil? Sejak kapan dia mengikrarkan bahwa Satya hanya 

miliknya? Anika menghela napas lagi, kemudian tersenyum miris, "Lapangan basket indoor. Aku tidak tahu dia menunggu kamu berapa lama. Mungkin... udah satu jam dari tadi."

Tersentak mendengar ucapan Anika, posisi duduk Satya berubah menjadi berdiri seketika. Entah memang sedang bimbang atau sekadar dorongan hati, Satya berlari meninggalkan Anika, menuju masa lalu yang kembali menjemputnya.

Anika merasakan puluhan belati menusuk hatinya. Lebih pedih daripada saat mendengar Satya mengatakan agar cepat pulang kepada Tina. Lebih perih daripada apa pun.

Tidak. Dia tak akan patah hati segampang itu.

Ia menatap kepergian Satya dengan nanar. Kehadiran Tina memang membuatnya tersisih. Bahkan Anika bisa memprediksi, suatu saat Satya benar-benar pergi dari dirinya. Entah kapan itu akan terjadi.

Anika kembali bertanya pada dirinya sendiri, aku bukan pelariannya, kan?

To Be Continued