webnovel

Nasi Goreng

Wardana's House

"Kenapa tidak membuat makanan lain?" saat Rangga memasuki dapur, Gwen tengah membuka laci mie instannya.

"Aku tidak bisa memasak." Gwen mendorong kembali laci itu agar tertutup.

"Bagaimana kalau nasi goreng?"

Gwen menggeleng pelan. "Aku pernah membuatnya sekali, rasanya aneh."

"Mau kubuatkan untukmu?" Rangga yang masih menjaga jarak dari Gwen menatap wanita itu. Sudah dua minggu sejak pertama kali Gwen membuatkan mie instan untuknya, kini, nyaris setiap malam Rangga akan menemani Gwen di dapur. Meski pria itu masih belum berani berada terlalu dekat.

"Mas bisa masak?"

"Sedikit."

Gwen tersenyum sambil mengangguk semangat. "Aku membaca buku tadi, setiap kali aku membaca, pasti aku merasa lapar." Gwen memilih duduk di kursi pantry. "Apa menurut Mas saat otak kita sedang berimajinasi, energi kita akan tersedot begitu saja?"

Rangga tertawa pelan sambil mengambil nasi dari rice cooker. "Teori dari mana itu?"

"Entahlah, aku hanya merasa setiap kali aku membaca saat hendak tidur, pasti aku menjadi lapar. Jadi kupikir berimajinasi pasti menguras tenaga."

Rangga tertawa mendengar nada polos itu. Dulu, ia akan menganggap sikap Gwen adalah kepura-puraan, tapi ternyata wanita itu seringkali benar-benar polos. Pikirannya menggemaskan.

"Lapar itu termasuk dalam kebiasaan. Saat seseorang terbiasa sarapan, jika ia tidak sarapan, ia akan merasakan lapar yang luar biasa. Nah sama dengan seseorang yang tidak terbiasa sarapan, jika tidak makan pada pagi hari, ia akan merasa biasa saja."

"Tapi tentu saja dia tetap merasa lapar hanya saja di tahan karena tidak terbiasa makan pagi hari." Sanggat Gwen cepat.

"Tubuh memang sudah mempunyai jadwal kapan ia membutuhkan energi. Ada yang terbiasa mengabaikan pola makannya, ada juga yang menjaga ketat pola makannya secara teratur hanya karena kebiasaan." Rangga mencoba menjelaskan.

"Jadi menurut Mas lapar yang kurasakan sekarang itu karena kebiasaan?"

"Aku tidak bilang begitu. Hanya saja ada yang terbiasa menahan lapar dan ada yang tidak terbiasa menahannya."

"Mas dari tadi berputar-putar. Bilang saja secara langsung kalau aku ini memang rakus dan tidak bisa menahan lapar!" sentak Gwen sebal.

"Aku tidak bilang begitu." Rangga menoleh geli. "Kamu yang menyimpulkan."

"Tapi mas memang mengarahkan kesimpulan yang seperti itu!"

"Aku tidak bilang begitu, sayang. Kamu saja yang menyimpulkan seperti itu." Rangga menahan tawa geli.

"Pokoknya Mas pasti ingin aku menyimpulkan begitu, kan?" Gwen tidak ingin kalah. Ia yakin Rangga memang ingin ia menyimpulkan seperti itu.

Dua orang itu tidak sadar ada sebuah kata yang terucap begitu saja tanpa keduanya sadari. Panggilan yang tidak pernah Rangga ucapkan sebelumnya.

"Baiklah. Aku mengalah. Apapun pendapatmu, itulah yang benar." ujar Rangga pasrah.

"Jadi Mas memang ingin bilang aku rakus, kan?"

"Kenapa kesimpulanmu ini semakin mengada-ada, Gwenia?" Rangga menoleh sambil menggelengkan kepala karena gemas.

"Sejak tadi Mas berputar kesana kemari tapi maksud Mas hanya satu, yaitu aku rakus."

Berdebat tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya bagi Rangga. Ia bisa hidup seperti ini di sepanjang sisa hidupnya, meladeni ucapan Gwen yang aneh dan juga lucu, juga menghadapi pola pikirnya yang kekanakan. Rasanya ia akan baik-baik saja seperti ini selamanya.

"Baiklah, aku akui sekarang. Kamu memang rakus." ujar Rangga geli.

"Jahat sekali." Gwen berujar sebal. "Kalau begitu pergi sana. Aku bisa masak sendiri." Gwen berdiri dari duduknya. Tapi tidak berani mendekat.

Rangga menoleh sambil tersenyum. "Duduklah dan biarkan aku masak. Aku minta maaf. Aku tidak benar-benar serius bilang kamu rakus."

Gwen kembali duduk di kursi. "Aku memang rakus." Ujar Gwen pelan. "Alvaro bahkan sering kali kesal saat mentraktirku makan ataupun minum kopi. Aku pasti akan memesan banyak cake dan membuat dia membayar semua tagihannya." Gumam Gwen pelan.

"Aku tidak masalah mentraktirmu kalau kamu memang seperti itu." Rangga tersenyum sambil mengaduk nasi gorengnya.

"Aku ini bisa menghabiskan beberapa porsi makanan dalam sekali makan."

"Tidak masalah. Uangku masih cukup untuk membayarnya."

"Kalau aku pesan semua menu makanan yang ada?"

"Selagi kamu suka, tidak masalah." Rangga menaruh nasi ke dalam dua piring.

"Kalau semua makanan itu mahal bagaimana?" Gwen masih mengajaknya berdebat.

Rangga tersenyum geli. Apa seperti ini hari yang akan dilaluinya ke depannya? Berdebat tentang hal sepela yang bahkan sama sekali tidak penting tapi ia menyukainya.

"Iya, bahkan kalau kamu mau, kita akan beli restorannya kalau kamu suka."

"Sombong sekali mentang-mentang banyak uang." Cibir Gwen sambil menarik sepiring nasi goreng mendekat, lalu menyendoknya begitu saja tanpa menyadari bahwa nasi goreng itu masih sangat panas hingga membuat lidahnya seolah terbakar.

Gwen berteriak sambil menumpahkan kembali nasi itu ke dalam piringnya.

"Memangnya kamu tidak bisa membiarkan nasi itu dingin dulu?" Rangga berdiri dan mendekati Gwen, reflek meraih wajah Gwen untuk memeriksa lidah wanita itu. "Nasinya masih sangat panas." ujarnya cemas sambil memegangi wajah istrinya.

"Aku..." Gwen terdiam, menarik dirinya menjauh dengan segera saat rasa takut itu kembali hadir karena sentuhan Rangga. Dan seakan tersadar, Rangga juga bergerak mundur lebih jauh. "Lidahku baik-baik saja." ujarnya dengan suara gemetar, berjuang keras mengendalikan ketakutannya.

"Setidaknya biarkan dingin dullu." Rangga duduk lebih jauh dari biasanya. Gwen masih berdiri di tempatnya, ragu untuk kembali duduk. "Makanlah, setelah itu kamu bisa tidur." ujar Rangga sambil memalingkan wajah karena tidak sanggup menatap ketakutan yang terlihat jelas di wajah Gwen.

Gwen duduk dengan ragu, tangannya bergerak pelan untuk menyuap makanan.

Tidak ada yang bersuara setelahnya. Keduanya sama-sama terlarut dalam pikiran masing-masing.

Gwen dalam ketakutannya.

Dan Rangga dalam kubangan rasa bersalahnya.

To Be Continued