webnovel

Love Exist

Hospital

Ruby POV

Aku melirik rimbunnya balon berwarna pink berbentuk buah apel memenuhi sudut kamar rawat inapku. Sesaat kemudian mataku beralih ke meja yang ada di dekat televisi di depan ranjang. Berbagai buket bunga tersusun rapi di sana. Semua itu dari teman kampus. Balon pink yang ramai memenuhi sudut ruanganku pasti dari Lukas.

Setelah datang bersama ibuku dua hari yang lalu, Lukas tidak pernah lagi mengunjungiku. Malam ketika aku sadarkan diri, aku melihat ibu dan Lukas datang bersama, namun Lukas hanya duduk tersenyum sekilas di sofa, tidak sedikit pun mendekatiku atau mengucapkan sesuatu.

Apakah Lukas benar-benar menyerah mendekatiku? Benarkah Lukas benar-benar tidak dapat sepenuhnya jatuh cinta padaku seorang?

Aku menghela napas panjang. Aku sudah berjanji kepada ibu dan mbak Gwen untuk tidak diet ketat. Ibuku bahkan meminta maaf dan menawarkan apakah aku ingin melanjutkan karierku di dunia entertaiment atau tidak. Matanya menatap kosong sejenak tayangan gosip tentang diriku di layar televisi. Pikiranku kembali kepada Lukas. Ternyata hatiku masih sakit juga mengingat laki-laki yang sudah sukses menaklukkanku itu.

"Seharusnya aku sudah cukup senang dengan kiriman balon ini. Tapi kenapa aku masih menginginkannya datang ke sini," gumamku. "Dasar payah! Sudah disakiti masih saja mengharap." Kemudian aku mengempaskan tubuh, mengambil bantal lalu menutupkannya ke wajah.

***

Kampus

Author POV

Begitu bel istirahat berbunyi, Anika segera bangkit dan menarik lengan Devan dengan cepat. Membawa pemuda yang tak tahu apa-apa itu ke luar kelas. Anika tak peduli dengan tatapan tak mengerti ketiga lelaki lainnya.

Devan hanya menurut saat Anika membawanya, tak merasa ada sesuatu yang aneh. Mungkin Anika ingin mengatakan sesuatu tentang Satya. Ia tak ambil pusing.

Anika berhenti di pintu utama kampus, melepas pegangannya pada lengan Devan. "Sorry buat kemarin dan kemarinnya lagi. Kamu sama Satya..."

"Ssttt..." Devan memotong ucapan Anika, "bukan salah kamu."

Anika mendengus. "Percuma kamu ngomong gitu, aku tetap merasa bersalah." 

Devan menatap Anika. Pahatan wajah Anika terlalu rapi, begitu mirip dengen wajah elok Tina. Pantas saja Satya sulit menentukan pilihan di antara keduanya. Devan hanya bersimpati dengan Anika yang bersedih karena Satya mempermainkannya. Salahkah Devan tak ingin melihat Anika terluka?

Gadis yang Devan pikirkan itu tampak memandang ke belakang Devan. Mana Mika? Tadi dia sempat mendengar Mika berencana pergi ke perpustakaan karena jadwal pengembalian bukunya sudah jatuh tempo. Ah, sesungguhnya Anika mendengarnya dari Tina yang tadi mampir ke kelasnya.

Hati Anika berdesir, darahnya terasa panas. Memikirkan Tina dan Satya bisa membuatnya kehilangan arah, terbawa arus emosi.

"Dengar, An, ini bukan salahmu, tapi salah Satya. Dia mainin hati kamu!"

"Waktu itu aku nggak bermaksud belain dia, Dev. Aku cuma nggak mau urusan ini menjadi lebih rumit," terang Anika, kembali memfokuskan mata ke belakang Devan.

Devan hanya diam, memahami perasaan Anika yang sebenarnya. 

"Mmm... nggak apa-apa," jawabnya singkat.

Kenapa Mika lama sekali? rutuk Anika dalam hati. 

"Aku tahu kamu sebenarnya nggak mau berantem sama Satya, Dev," ucap Anika lirih. "Aku juga sebenarnya bingung karena tiba-tiba dia jauhin aku," gumam Anika tanpa sadar. Ia kembali menoleh, gadis itu sudah tampak, sedang menuju sini.

Sudah saatnya aku tahu segalanya, Mika.

Hening? Anika merasakan sesuatu yang aneh. Devan belum juga merespons ucapannya. Ia menatap Devan. Aneh. Pemuda itu mematung di tempat, menatap lurus ke depan.

Mika sepertinya belum melihat keberadaan mereka. Anika kembali menatap Devan. Apa? Devan menatap dalam-dalam ke arah Mika. Anika menelan ludahnya sendiri. Jadi benar ada kisah cinta di antara mereka?

"Devan."

Devan tertegun, melirik Anika dengan cepat.

"Kamu lagi liatin siapa sih?"

Devan tersenyum. "Bukan siapa-siapa."

Anika menghela napas lega. Tuhan membuat semuanya menjadi lebih mudah. Anika yakin, ini jalan supaya dia bisa membuat Mika merasakan sakit yang sesungguhnya. Keterlaluankah dia, mempermainkan cinta Mika?

Masa bodoh. Anika tak peduli. Keluarga Hilmar juga tak peduli rasanya ketika Anika dicap sebagai pembawa sial, tak merasakan bagaimana pedihnya kehilangan orang-orang yang ia sayangi.

Sudah saatnya Anika membalas semuanya. Ya, ini waktunya. Dia tak akan membiarkan satu orang pun menghancurkannya.

"An, hari ini ulang tahun Om Sultan yang ke-33. Kami mau ngerayain di Puncak. Kamu ikut, kan?"

Anika tersentak. Ulang tahun Oom Sultan? Kenapa dia tak tahu apa-apa?

"Astaga! Kenapa baru bilang?" tanya Anika, seakan tak terima dirinya tahu belakangan.

Devan tersenyum geli. "Namanya juga surprise!"

To Be Continued