webnovel

Harry Potter Society

Kampus

Ruby POV

"Tak ada yang seberuntung dirimu," aku berkata pada bayanganku di cermin sambil memoleskan lipstik merah gelap ke bibir.

Aku tertawa pelan, geli pada perasaan iri yang konyol. Seharusnya aku berhati-hati agar tidak meminta terlalu banyak pada Tuhan.

Aku kembali bercermin, memandang boots, coat, kaus kebesaran, celana jins skinny dan tas ransel kulit yang semuanya berwarna hitam melekat sempurna di tubuhku yang tak tinggi.

"Tak ada yang seberuntung dirimu," kugumamkan kalimat itu sekali lagi sebelum berjalan keluar sambil memasang earphone.

Langkahku menjadi ringan. Sebentar saja aku sudah lupa pada perasaan sepi yang tadi menyengat. Aku bahkan bersenandung, terlalu gembira ketika rintik gerimis menerpa kulit tanganku.

"Ruby." suara berat menyapaku dari arah belakang.

"Eh, hai kakak ipar." aku mencopot earphone sambil memperhatikan penampilannya hari ini. Berbeda dari biasanya, Ka Rangga tidak mengucir rambut sepundaknya dan kulihat titik-titik air mulai membasahi puncak kepalanya.

"Mau ke mana, kakak ipar?"

"Ke klub fotografi."

"Oh," bibirku membulat. Mbak Gwen sungguh beruntung punya suami dengan bakat seni seperti Ka Rangga, sekali lagi aku iri melihatnya.

"Kamu baru masuk kuliah, kan? kamu sudah tahu mau gabung di klub apa?"

"Harry Potter Society," jawabku ringan. "Mereka sedang buat acara untuk mahasiswa baru hari ini. Aku mau ke sana sekarang."

Ka Rangga mengernyit. "Apa faedahnya masuk klub itu?"

Aku mencibir. "Untuk bersenang-senang? Yah, aku kan memang tidak seperti kakak. Semua harus jelas bibit-bebet-bobotnya. Apalah arti Harry Potter Society dibandingkan Pant and Art Society kakak yang penuh faedah."

Ka Rangga tertawa kecil. "Terima kasih untuk sindiranmu, adik ipar."

"Terima kasih kembali," jawabku sambil menyeringai. "Sudah, sana. Nanti sakit hujan-hujanan. Mbak Gwen makin repot mengurus kakak."

Dia memutar mata, tapi kemudian mempercepat langkah. "Bye!"

"Bye," kataku serayaa memandanginya berlari kecil meninggalkanku.

Lima belas menit kemudian aku tiba di salah satu ruangan yang tidak terlalu besar yang klub pinjam hari ini. Saat masuk ruangan aku mendapati sedikitnya dua puluh lima orang duduk di sana. Andai kakak iparku melihat ini, aku membayangkan dia akan berkata, "Jadi sebanyak ini orang yang ingin bersenang-senang?" aku tertawa sendiri.

Aku duduk di kursi kosong pada baris ketiga dari belakang, memperhatikan orang-orang di depan tanpa berniat berkenalan dengan salah satunya. Tak berapa lama, seseorang duduk di sebelahku.

"Hai," suara riang menyapa.

Aku menoleh, mendapati gadis India cantik dan modis. Dia menjulurkan tangan sambil tersenyum ceria. "Sonya," katanya.

Kusambut jabatan tangan itu dengan senyum sopan. "Ruby."

"Ruby," ulang gadis itu. "Kukira tak akan sampai sepuluh orang bergabung dengan klub ini."

"Aku berpikir sama," aku menyetujui.

"Jurusan?" tanyanya.

"Fashion Management." jawabku. "Kamu?"

"Sungguh?!" Matanya membulat. "Ah, aku tidak salah memutuskan datang ke sini. Aku dari jurusan yang sama. Tapi aku baru mau bergabung ke grup kelas kita." dia mengklik layar ponselnya, "jadi yah aku belum kenal siapa-siapa. Terlalu banyak yang diurus sebelum sampai di Indonesia." jelasnya panjang lebar meski aku tidak bertanya.

"Aku juga belum bertemu siapa-siapa. Selain kakakku yang juga kuliah disini jurusan Business Management."

"Ah, ya, tentu saja." Sonya mengangguk-angguk.

"Sejak kapan suka Harry Potter?"

Aku baru akan menjawab pertanyaan favoritku itu ketika dua pria muda masuk ke ruangan yang diikuti enam anggota lainnya. Salah satu dari yang masuk pertama kali langsung menyita perhatianku. Membangunkanku dari tidur panjang, sekaligus membawaku ke waktu yang sudah lampau.

Aku mengenalnya.

"Halo, semua." Dengan kaus abu-abu, celana jins hitam dan jaket dari kulit berwarna cokelat tua, pemuda itu tampak kasual sekaligus berwibawa.

Aku menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas, meski sebenarnya melakukan itu tidak memperjelas pandanganku. Namun, ketika aku menelitinya sekali lagi...

Astaga.

Memang dia. Aku tak mungkin salah.

Memang dia.

Tapi bukan. Pasti bukan, tidak mungkin.

"Ketua klub," Sonya berbisik. "Baru menjabat tahun ini, dari Business Management, terkenal di kampus dengan sederet mantan kekasih yang semuanya cantik. Beberapa dari mereka bahkan berasal dari luar negeri. Salah satu alasanku bergabung di klub ini sebenarnya."

Aku mengedarkan pandang dan mau tak mau menyadari bahwa dua per tiga yang hadir hari ini adalah perempuan. Berapa orang dari mereka yang bergabung hanya untuk melihatnya?

"Player sejati. Dia juga terkenal karena gaya nyentriknya."

Aku mengangguk pelan, tak terlalu mendengarkan karena jantungku berpacu gila-gilaan menunggu pemuda itu memperkenalkan diri.

Bukan dia, bukan dia. Pasti bukan.

Kumohon...

"Namaku Lukas Arya Wardana, ketua klub ini. Kalau aku tahu peminat klub konyol kita akan ada sebanyak ini, aku akan meminjam ruangan lebih besar."

"Shit." Tanpa bisa ditahan kata itu keluar dari bibirku. Dia benar Lukas.

"Ya, aku tahu, dia tampan," Sonya berbisik lagi.

Ya, aku tahu dia tampan. Dan demi Tuhan, aku suka wajah tampan. Tapi aku tidak butuh wajah tampan milik Lukas Wardana. Tidak sekarang. Tidak kapan pun.

Dari seluruh klub yang ada di BINUS, dan dari banyaknya mahasiswa yang dapat dijadikan ketua klub, kenapa harus... Lukas Wardana?

Apanya yang beruntung? Hari ini aku benar-benar sial.

Buru-buru aku menunduk, menghindari pandangan mata Lukas yang menyapu seluruh ruangan. Semoga tak ada acara perkenalan atau semacamnya. Tapi, brengsek, mana mungkin tidak ada?!

"Sayangnya, sekarang aku ada urusan mendadak. Jadi Devan sebagai wakil ketua akan memimpin acara berikutnya. Senang bertemu kalian semua. Sampai bertemu minggu depan."

"Ah, syukurlah..."

"Kamu grogi melihat lelaki super tampan seperti dia, ya? Atau sudah naksir?" goda Sonya.

Kalau tidak menahan diri, aku pasti akan mendelik pada Sonya yang sok tahu. Gadis itu pasti tidak tahu kalau wajah tampan terkadang lebih kejam daripada wajah yang cantik.

"Halo, semuanya."

Aku mengangkat wajah perlahan, takut Lukas masih ada di sana. Tapi posisi Lukas sudah diganti dengan Devan yang berpenampilan lebih santai dengan jins warna hijau muda, sepatu vans hitam dan kaus putih polos.

"Hai, aku Devan," kata pemuda itu santai. "Banyak orang bilang aku mirip Cedric, tapi aku jauh lebih tampan dan menyenangkan daripada anak Hufflepuff itu. Dan juga lebih menyenangkan daripada Lukas, tentu saja."

Seisi ruangan tertawa dengan lelucon sinis itu. Berbeda daripada saat aku melihat Lukas, aku langsung menyukai Devan. Pemuda itu nyaman di dekat orang-orang baru. Dia membuat dirinya mudah dijangkau.

Dia membawa kami ke sesi perkenalan. Dimulai dari para senior, lalu para mahasiswa baru satu per satu menyebutkan asal, jurusan dan menambahkan beberapa informasi tambahan seperti status dan lelucon-lelucon garing untuk mencairkan suasana. Devan lalu menjelaskan rangaian kegiatan klub selama sebulan ke depan, yang sepertinya tak akan kuikuti demi menghindari Lukas, untuk kami para mahasiswa baru dan ditutup dengan saling bertukar nomor telepon.

Sonya masih banyak bicara sepanjang acara, yang semuanya dibubuhi kata 'rumor'. Dan itu membuatku pusing. Jadi waktu Devan bilang acara kami sudah selesai, aku buru-buru pergi sambil berjanji dalam hati takkan mengikuti kegiatan apapun yang klub ini adakan.

Tapi kalian tahu kan semesta suka usil?

Karena ketika aku sedang berlari kecil menuju pintu keluar, aku tak melihat ada Devan berjalan dari arah berlawanan.

To Be Continued

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

JaneJenacreators' thoughts