webnovel

RUANG KITA YANG SUNYI

Setelah sekian banyaknya hari yang Jeyno lewati, akhirnya hari yang di tunggunya telah tiba. Perasaan senang kini tidak pernah hilang dari hatinya. Suasana kota di sore hari ini Jeyno habiskan dengan berkeliling atau sekedar berfoto di tempat yang memiliki spot yang indah. Pemuda ini kini melangkahkan kakinya bersama Nakana.

Kekasih yang telah bersamanya dari beberapa tahun yang lalu. Banyak cerita yang mereka telah lalui, mulai dari Jeyno melawan penyakitnya, melawan kerasnya hidup, bahkan Nakana selalu bersamanya hingga Jeyno ingin melakukan operasi sekitar satu tahun yang lalu.

"Sekarang aku udah sembuh, apa kamu senang?" Tanyanya kepada gadis yang menggandeng tangannya di trotoar kota besar.

"Senang, ini yang udah aku tunggu dari dulu. Keyakinan ku terhadap Tuhan mewujudkan semuanya." Jeyno tersenyum senang mendengar penuturan itu.

Cuaca kota yang hari ini tidak terlalu panas membuat mereka bisa menghabiskan waktu bersama. Selang beberapa meter dari hadapan mereka, Nakana melihat taman bermain anak-anak. Gadis itu menyukai anak-anak, ia berniat untuk mengajak sang kekasih ke seberang jalan.

"Ingin ke sana?"

"Boleh." Setelah mendapat persetujuan itu, mereka kini melihat ke kanan dan ke kiri. Saat kendaraan mulai lengang, mereka berdua berjalan bersama bahkan tautan itu tidak terlepas sampai tubuh keduanya melayang di udara, nafas Jeyno terasa terhenti sesaat saat merasa tangan kekasihnya kini lepas dari tangannya.

Bayangan masa lalu mereka terputar di otak Jeyno.

"Jika hidup ini hanya membutuhkan cinta, kenapa cinta itu tidak pernah aku dapatkan?" Tanya Jeyno ke salah satu saudaranya kala itu.

"Kamu mendapatkannya Jey, cinta itu bukan tentang perkataan namun perlakuan. Orang-orang telah membuktikan cintanya kepada kamu. Untuk Nakana, gadis itu menyukaimu hanya saja kamu yang terlalu sibuk dengan wanita lain hingga kamu merasa tidak mendapatkan perhatian darinya."

Berbeda pula dengan Nakana, gadis itu perlahan menutup matanya kala tubuhnya terbang akibat tabrakan mobil yang melaju kencang. Seingatnya, ia dan Jeyno baru saja melalukan janji mereka beberapa saat lalu. Mereka telah berjanji untuk menjalin hubungan lebih serius ke depannya tapi, takdir kian merubah segalanya.

"Maafkan aku." Lemah Jeyno kala tubuhnya kini tepat jatuh di aspal. Badannya terasa sakit bahkan, jarak Nakana berkisar 10 meter darinya. Tubuh mereka berdua bersimbah darah, tidak ada yang menolongnya karena kondisi yang memprihatinkan.

Pihak rumah sakit telah di hubungi oleh beberapa orang, namun belum juga sampai di tempat kejadian. Tubuh Nakana terasa sakit sekali, gadis itu merasa semua tulangnya patah bahkan jantungnya terasa lemah, ia tidak bisa mengambil nafas dalam-dalam. Nafasnya sesak.

Jeyno yang ingin menggerakkan badannya yang terasa lumpuh itu hanya bisa meneteskan air matanya kala gadis yang jauh darinya itu hanya tersenyum lalu menutup matanya dengan damai serta tidak terlihat deru nafas lagi oleh gadis itu.

"Selamat jalan bintang yang terang." Dengan terbata-bata Jeyno mengucapkannya. Setelahnya, pemuda itu pingsan kala ambulance kini ingin memasukkan kedua tubuh itu ke dalam mobil yang berbeda.

Nakana bahkan di nyatakan meninggal di tempat, beritanya bahkan telah tersebar di mana-mana. Banyak ucapan duka cita untuk model pendatang baru itu, bahkan banyak yang memberi doa untuk Nakana dan Jeyno. Kedua keluarga mereka kini berada di rumah sakit, jenazah Nakana tidak akan di autopsi karena permintaan keluarga sementara itu, tubuh Jeyno juga antara hidup dan mati di antara ruang ICU.

Banyak alat-alat yang terpasang di tubuh Jeyno sebagai penunjang hidupnya. Saat mata pemuda itu perlahan terbuka, yang pertama ia cari adalah Faizal. Bukan apa-apa, ketika Jeyno memiliki masalah pemuda itu selalu berbicara terlebih dahulu ke Faizal sebelum bercerita kepada saudara atau kedua orang tua mereka.

"Zal, tubuh gua sakit Zal." Nafas Jeyno terdengar sesak namun Faizal masih sanggup menguatkannya.

"Mana Jey yang gua kenal, Jey itu kuat. Lo harus sembuh, kalau Lo udah sembuh gua mau bawa Lo ke suatu tempat, tempat impian Lo selama ini." Katanya kini memegang erat tangan dingin Jeyno.

Jeyno hanya menggeleng sebagai jawabannya, dadanya terlalu sesak dan sulit untuk menghirup oksigen, ia merasa hidupnya akan berakhir di sini.

"Jey, kamu mendengar mama kan?" Tanya mama yang berdiri di samping kirinya tidak lupa juga mama memegang tangan Jeyno yang telah dingin.

"Mama, Jeyno sayang mama. Maaf selama ini Jeyno hanya bisa nyusahin." Jeyno tersenyum menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya bahkan, ia ingin tersenyum saja rasanya terlalu sakit.

"Kamu ngak boleh bilang gitu, mama janji akan bawa kamu ke tempat impian kamu. Tapi, kamu janji harus sembuh ya?"

"Jeyno jan..." Belum selesai Jeyno mengatakannya, Jeyno tiba-tiba tidak bisa mengambil nafas dalam-dalam yang membuat mama langsung menangis kala itu juga. Ayah terlihat menenangkannya dengan mengelus punggung mama.

Nafas Jeyno kini tersengal-sengal, Faizal yang memegang tangan kanannya kini tidak melepaskan pegangan itu, ia mendekapnya erat sambil membisikkan sebuah kalimat di telinga Jeyno.

"Ikutin gua Jey!"

"La.."

"La.."

"Ilaha..."

"Ilaha..."

"Illallah..."

"Ilallah..." Dan detik itu juga ruangan itu di penuhi tangisan.

Dengan berpulangnya Jeyno, Faizal kini hanya terduduk di sofa tunggu di kamar itu di susul mama yang duduk di kursi di dekat brankar Jeyno. Tama, Reynan, Oris, Juna, dan Cakra hanya menitipkan air matanya tidak bisa menahan perasaan sedih mereka, harusnya ini menjadi hari senang untuk Jeyno karena ia di nyatakan sembuh tepat di hari ulang tahunnya.

Oris tidak menerima kasus penabrakan ini, Oris bahkan kehilangan orang yang sering memberinya nasihat. Oris kini mendekat ke tubuh itu namun suara Cakra dan Juna yang terus memanggil nama Jeyno membuatnya tidak tahan dan segera keluar untuk menuju ke taman rumah sakit.

"Banyak hal yang telah Jeyno pelajari, belajar bersyukur karena penyakit yang menimpanya bahkan sampai Jeyno merelakan satu ginjalnya di angkat karena penyakit itu." Faizal merasa frustasi, bukan karena kepergian mendadak Jeyno namun ia penasaran dengan pelaku penabrakan yang belum di dapatkan oleh polisi.

Setelah kepergian Jeyno, kini jenazah pemuda itu di giring segera ke kediaman mereka, semua alat-alat bantu juga telah di cabut oleh dokter namun, mama masih pingsan karena kepergian mendadak itu. Mama terus menangis bahkan ketika mama baru saja terbangun mama pingsan kembali di dalam dekapan ayah. Ayah juga terlihat sedih namun dengan sekuat tenaga ayah menahan tangisannya.

"Ini udah takdir, kita harus ikhlas." Kata ayah kala mama, Cakra, Faizal dan ayah kini memasuki ambulance.

Rencananya, janazah Jeyno akan di makamkan hari ini juga. Sedangkan saudara Faizal yang lain kini pulang terlebih dahulu setelah mengurus administrasi, mereka menggunakan mobil Oris yang telah di belinya oleh uang hasil tabungannya.

Cakra terus menangis di dalam ambulance yang membawah mereka pulang, Cakra terus menggenggam tangan Jeyno sambil memanggil-manggil nama Jeyno. Beruntung saja, Faizal ada di sisi pemuda itu. Faizal yang selalu mencoba menenangkannya kala pemuda itu merasa terpuruk seperti ini.

"Bang Jey, Lo udah janji bakal sembuh. Kenapa Abang pergi?" Cakra terus menangis tidak menghiraukan orang-orang yang ada di sampingnya.

"Cak, Lo mau kan bang Jey tenang? Doain dia dan ikhlasin dia bukan kayak gini. Tuhan ngak suka hamba-nya yang meraung-raung kayak gini." Jika ingin jujur, Faizal juga ingin seperti Cakra namun, ia tidak bisa apa-apa apa lagi menyalahkan takdir Tuhan.

Jam pemakaman Jeyno akan di lakukan sore nanti sekitar pukul 05:00 sore, itu permintaan mama. Bahkan, setelah mayat itu sampai di rumah mama masih selalu pingsan karena tubuh Jeyno yang sudah tidak bernyawa itu. Semua tetangganya berkumpul untuk mengiringi kepergian Jeyno, bahkan anak-anak sekolah mereka datang untuk melayat. Kala mereka tau kabar kecelakaan Jeyno yang tiba-tiba dan langsung mendapat kabar bahwa Jeyno telah berpulang, mereka semua kemudian bergegas menuju rumah Jeyno.

Isak tangis terdengar di penjuru ruang tamu rumah mereka. Namun, berbeda dengan Oris yang tidak menangis namun pemuda itu terlihat menahan tangisannya. Oris tidak pernah menunjukkan tangisannya ketika ia merasa stress atau tertekan ia lebih memilih memendamnya.

"Ris, Lo ngak mau liat bang Jeyno?" Tanya Faizal.

"Ngak, gua mau ikut bang Tama aja buat gali liang lahatnya." Ucapnya lalu pergi dan di ikuti oleh Cakra dan juga Reynan.

Mungkin Cakra telah lelah akibat terlalu banyak menangis, berbeda dengan Juna yang kini menggantikan tangisan Cakra. Saat Juna kini membuka kain yang menutupi wajah Jeyno, pemuda itu kini menangis kencang. Darah yang terus mengalir keluar dari mulut Jeyno membuatnya tidak bisa menahan tangisannya, sesekali pemuda itu mengusapnya dengan tisu.

"Abang kenapa pergi secepat ini?" Tanya Juna entah pada siapa.

Faizal juga kini telah tidak berada di sisi Juna, ia tidak terlalu memperdulikan itu. Pemuda itu kini bergeser di samping ayah dan menaruh kepalanya di pundak ayah. Ayah hanya mengelus rambut Juna yang lepek karena keringat yang terus bercucuran akibat tangisannya.

"Jey tidak pernah suka ketika orang menangisinya sekencang ini, apa kamu lupa ayah pernah mengajarkan kamu bahwa menangis yang berlebihan itu di larang agama? Apa kamu ingat?" Tegur ayah halus yang hanya diangguki Juna.

"Aku ingat ayah."

"Lantas kenapa kamu menangis seperti itu? Semua yang ada di dunia ini hanya sementara, bahkan kita tinggal di dunia seperti layaknya makhluk lainnya. Kita akan pergi kala tugas di dunia telah selesai."

"Tapi ayah..."

"Sudah, tidak ada tapi. Kala kita pergi suatu saat nanti jangan lupa tinggalkan satu pesan." Imbuhnya terus mengusap rambut si bungsu.

"Apa itu?"

"Berbuat baiklah, kamu akan senantiasa di ingat dengan amal baik itu. Jangan pernah membedakan orang yang akan kamu tolong karena berbuat baik bukan hanya untuk orang tertentu." Penjelasan panjang itu membuat Juna tersadar akan kelakuannya tadi bahkan mama juga telah terlihat lebih baik dari yang tadi. Mungkin ayah memberinya pesan yang sama.

Kala liang lahat itu telah selesai, tubuh Jeyno kini di sholatkan agar segera di kuburkan sebelum magrib menjelang, rencananya ia akan di makamkan di dekat makam Nakana. Setelah semuanya telah selesai, mereka meninggalkan pemakaman begitu pula keluarga Nakana, keduanya terpukul karena kepergian mereka berdua.

"Untuk kalian berdua selamat jalan, kita akan bertemu lagi di dunia yang baru nanti." Ucap Faizal dan kini mereka semua menuju ke kantor polisi untuk mengadili tersangka.

"Semuanya telah berakhir, kini gua dan Nakana udah bersatu dalam dunia yang berbeda. Terima kasih Zal, Lo selalu ngasih pelajaran terbaik buat gua." Ucap Jeyno di depan makamnya dengan tangan Nakana dan Jeyno yang saling bertautan. Mereka berdua tersenyum ke arah makam sebelum keduanya menghilang.

SELESAI...