Ratu Chevailer itu diam di kursinya dengan serius, tangannya sibuk bermain di layar iphone dan wajahnya terlihat fokus. Ya, wanita itu baru dapat kiriman. Sebuah iphone yang dipesan Richard tiga puluh menit yang lalu.
"Lalu apa gunanya ikon abu-abu ini?" tanya Redd pada wanita di sisinya.
"Itu pengaturan. Anda mengatur semua hal di ponsel anda dengan ini."
"Ah, begitu." Redd mengangguk, "Maaf ya," ia melirik wanita di sisinya. "Karena merepotkanmu. Aku tidak pernah memakai yang seperti ini."
"Tidak apa Yang Mulia," wanita itu tertawa. "Suatu kehormatan bisa membantu anda."
"Kau baik sekali Gwen," ucap Redd dengan senyum tulus.
Gwen balas tersenyum, "Anda terlalu memuji."
Redd terkekeh lucu, ia lalu meraih cangkir kopinya dan melirik Gwen. Ia berkenalan dengan wanita itu barusan, ia menghampiri Redd yang tengah minum teh dan berakhir dengan ngobrol dan ia yang mengajari Redd cara memakai ponsel. Gwen itu cantik, bandannya tinggi dan ramping. Ia punya mata abu-abu yang cerah dan surai coklat gelap yang tebal. Redd menyukai bagaimana kulit wanita itu terlihat begitu putih dan elegan, harus Redd akui ia sedikit iri dengan kesempurnaan wanita itu. Tapi apa dikata, wanita itu jelas tumbuh dengan lingkungan mewah sejak lahir. Sementara Redd harus berjuang untuk sekedar mencari makan di jalanan, itu buka cuma sekedar langit dan bumi bung. Itu jauh sekali.
"Apa yang mulia baik-baik saja setelah penyerangan semalam?" tanya Gwen tenang.
Redd melirik lalu menaruh cangkir tehnya di meja, "Itu menakutkan. Tapi aku baik-baik saja."
"Anda tidak tanpak ketakutan?"
"Entahlan. Aku juga bingung," Redd mengguman. "Otakku selalu dengan mudah menyingkirkan hal yang menyakitkan. Aku rasa itu juga penyebab aku melupakan masa kecilku."
"Anda," Gwen diam, "Melupakan masa kecil anda?"
"Ya. Aku tidak bisa menginggat apapun dibawah usia tujuh tahun, aku pernah diperiksakan sekali oleh bibiku. Mereka bilang ini adalah amnesia akibat trauma," Redd menaikkan bahu. "Aku hanya tidak tahu trauma apa yang aku alami hingga seperti ini."
"Saya yakin itu trauma yang berat," ucap Gwen.
"Ya, dan aku harap aku bisa ingat," ia lalu menerawang, menginggat reaksinya ketika ia membuka kotak di ruangan Richard. "Atau tidak saja."
"Ya?"
"Tidak," Redd tersenyum. "Tidak ada."
Redd menoleh saat dua orang pengawal menghampiri mereka dan berdiri tegap.
"Ada apa?" tanya Redd tenang.
"Saya kemari atas utusan Yang Mulia Raja," pengawal yang ada di depan berucap. "Beliau meminta saya mengantarkan seorang pengawal pribadi pada anda."
"Pengawal," Redd bertannya ragu. "Pribadi?"
"Ya," jawab pengawal yang di depan. Ia kemudian menarik seorang pria muda dengan wajah ramah, pria itu memiliki surai pirang dan mata biru. "Ini adalah Justin Curry. Pengawal pribadi anda."
"Hallo Yang Mulia," ucap Justin dengan nada riang. "Saya Justin. Senang berkenalan dengan anda."
Redd dan Gwen tertawa saat pengawal yang ada di depan memukul kepala Justin dari belakang dan mengomel sesuatu tentang sopan-santun.
"Tidak apa," ucap Redd pelan. "Berapa umurmu Justin?"
"Dua puluh."
"Astaga," Gwen tertawa ringan. "Kau masih sangat muda."
"Saya tahu," Justin mengiyakan dengan wajah lucu.
"Kau benar-benar lucu Justin," ucap Redd. Menyadari jika tingkah Justin yang manis menular padanya. "Kau sepertinya bisa menjadi adikku."
"Adik," mata pria itu berbinar. "Kalau begitu saya akan jadi pangeran?"
Redd tertawa. "Bukan. Astaga, kau lucu sekali."
Justin meringis sambil menggaruk tekuknya yang tidak gatal. "Maaf. Saya hanya terlalu bersemangat Yang Mulia."
"Semangat untuk mulai bekerja itu bagus."
"Tentu saja!" Justin berucap penuh semangat lagi. "Saya akan
menjaga anda sekuat yang saya bisa."
Redd tertawa geli dan Gwen hanya tersenyum simpul saat berucap. "Berada di sisi Yang Mulia itu sulit anak muda. Kau harus selalu waspada kapanpun."
"Saya siap!" Justin berucap tak mau dibantah. "Saya akan berusaha semampu saya."
Gwen tersenyum tipis. "Kalau begitu kau harus benar-benar berhati-hati."
"Tentu saja Your Grace," ucap Justin lugas.
"Nah, Justin," Redd meraih cangkir tehnya. "Sebagai tugas pertamamu. Aku ingin kau memanggil Fleur, pelayan pribadiku, kemari. Ia sedang berada di dapur, tolong panggil dia kemari."
"Tentu Yang Mulia," ucap Justin cepat sebelum berderap pergi dengan langkah semangat.
"Jiwa muda," guman Redd.
"Ya, anda benar Yang Mulia," ucap Gwen tenang. "Jiwa muda yang semangat, andai saja bisa. Saya ingin kembali ke usia dua puluh saya."
"Itu pasti sangat menyenangkan bagimu bukan?"
"Ya. Saat itu saya masih bisa hidup bebas dan meraih apa yang saya mau."
"Ah," Redd mengangguk, "Kau punya masa dua puluh tahun yang berharga."
Gwen tertawa, "Bisa dibilang begitu."
"Yang Mulia," panggilan itu membuat Redd tersenyum dan ia nyaris menlojak kegirangan saat melihat Fleur sudah berada di sampingnya. "Yang Mulia mencari saya?"
"Ya. Aku mencarimu"
"Untuk?" tanya Fleur mulai ragu. Ia mungkin baru beberapa bulan bersama Redd, tapi ia hapal. Jika wanita itu menatapnya dengan pandangan seantusias itu pasti akan ada hal yang mau ia lakukan. Fleur bertaruh, itu bukan hal yang bagus.
"Rahasia."
Nah. Kan. Fleur tidak bisa berbuat apa-apa saat Ratu muda itu bangkit dan menyeretnya. Redd mengucapkan selamat tinggal pada Gwen dengan cepat, sementara Fleur membungkuk dengan ringisan. Gwen hanya tertawa dan melambai ringan, diikuti Justin yang langsung mengikuti langkah mereka dengan riang.
"Kita mau kemana Yang Mulia? Anda tidak boleh kemanapun. Itu perintah Raja," ucap Fleur pada akhirnya.
"Itu dia tugasmu," ucap Redd dengan nada senang. "Hari ini kau bantu aku menerobos ke pondok kaca mendiang Ratu ya, oke?"
"Tap, tapi-"
"Um. Um," Redd menggeleng. "Kita berangkat sekarang."
"Tapi Yang Mulia, Raja akan marah."
Redd mencebik. "Kau tidak sayang padaku."
"Apa, bu-bukan say-,"
"Tidak apa," potong Redd cepat. "Aku punya Justin sekarang," ia melirik pemuda dengan mata biru itu. "Kau akan menemaniku ya kan?"
"Tentu Yang Mulia!" ucap Justin tegas yang langsung membuat Redd tersenyum puas.
Fleur menghela nafas pasrah. "Baik. Saya antar anda ke pondok." Redd bersorak. "Tapi-,"
"Tapi apa?" tanya Redd waspada.
"Kita kembali sebelum matahari terbenam."
"Call! Kita pergi!" selanjutnya Fleur hanya bisa mengikuti Redd dengan langkah lemas.
Ratu itu berlari menuju dapur dan meminta para pelayan memasukkan makanan instan ke dalam wadah plastik. Ia meminta sarden, spageti instan, dan banyak lagi. Yang sukses membuat semua keheranan, Fleur ingin bertannya tapi tertahan saat Redd mengacungkan tangannya di depan Fleur,isyarat agar pelayannya itu tidak lagi bertannya. Mereka kemudian beralih ke instal kerajaan.
Redd memutuskan untuk naik kuda bersama Justin-dan tentu saja Justin yang mengendalikan kekangnya-, sementara Fleur berkuda sendirian. Mereka tiba dengan cepat di pondok, dan Redd langsung berlari masuk secepat yang ia bisa. Dengan tergesa ia meraih kunci di pot tanaman dan membuka pintu, lorong sudah bersih dan pecahan kaca sudah hilang. Ratu itu yakin pondok ini sudah dibersihkan.
"Apa yang akan anda lakukan di sini?" tanya Fleur yang masuk paling terakhir.
"Aku," Ratu itu tersenyum. "Mengisi tempat ini dengan makanan."
Fleur melirik plastik besar yang dibawa Justin. "Itu sebabnya anda membawa semua makanan itu?"
"Hm," Redd mengangguk. "Aku rasa aku menyukai tempat ini. Aku akan memakainya, jangan katakan pada Richard," tambahnya saat Fleur mulai membuka mulut.
"Baik."
"Bagus," Redd tersenyum sumringah. "Ayo kita mulai!"
..