Redd duduk diam di depan cermin rias di kamarnya, seorang penata gaya istana-entah apapun itu sebutannya, sibuk dengan rambutnya. Sementara Fleur berdiri di sisinya melakukan pekerjaan hariannya, mendengarkan ocehan Redd.
"Bagaimana bisa lukaku hilang secepat ini?" Redd menjenjangkan lehernya untuk mengecek lukanya yang sudah pudar hanya dalam waktu dua hari. "Salep apa yang diberikan dokter? Keren sekali?"
"Itu karena daya sembuh Yang Mulia yang luar biasa," ucap Fleur sambil membantu Redd memilah anting yang akan dipakainya hari ini.
"Apanya," Redd menggerutu. "Salep yang dipakai kemarin pasti mahal kan? Itu sebabnya."
"Ya, salepnya mahal." Fleur menimpali seadanya, karena ia tahu berdebat dengan Ratunya tidak akan membawa hasil apapun.
"Fleur," Ratu itu memulai lagi. "Menurutmu apa yang harus aku lakukan nanti saat bertemu dengan orang-orang?" bahu Ratu itu melorot karena lesu. "Bagaimana kalau mereka nanti tidak menyukaiku?"
"Mereka tidak mungkin tidak menyukai anda," ucap Fleur tenang. "Anda harusnya membaca komentar masyarakat pada foto anda yang diupload oleh website kerajaan itu-"
Ucapan Fleur terpotong saat Redd dengan gerusuh meraih ponselnya di meja rias. "Apa nama websitenya?"
"Err, Arceneroyal.com."
Redd mengetiknya dengan cepat di mesin pencari dan mengiggit kukunya saat menunggu loading. Website itu kemudian terbuka dan latar berwarna tulang menyambut mata Redd. Gaya website itu standar dengan tulisan Royal besar di atas dan lambang kerajaan yang dibold. Redd dengan cepat menscroll lamannya dan menemukan banyak foto tentang dirinya yang bahkan ia tidak sadar kapan diambilnya.
Ia kemudian membuka salah satu foto yang masuk dalam folder faforit dalam website, itu fotonya saat ia menikah. Dalam foto itu ia tengah berdiri memegang buket bunga sembari melambaikan tangan-ia ingat itu adalah saat ia menghadap masyarakat setelah turun dari mobil.
Wanita itu lalu menekan ikon percakapan berwarna biru, dan tidak butuh waktu lama untuk meloading setidaknya satu juta lebih komentar dari rakyat Chevailler-bahkan seluruh dunia. Banyak komentar disana ditulis untuknya. Ada yang berkata dia cantik, ada yang berkata dia anggun, ada yang berkata dia punya wibawa yang luar biasa untuk menjadi Ratu dan banyak lagi. Sebagian membuat Redd mengiggit bibirnya karena menahan malu dan ada yang membuatnya juga berdecak kesal. Karena ada yang merasa ia tidak pantas menjadi Ratu dan mempersalahkan statusnya sebagai rakyat biasa, bukannya bangsawan.
Redd menaruh ponselnya begitu ia selesai dan matanya melirik malas pada Fleur yang tengah membantu penata gaya istana mengepang rambutnya. Suara pintu terbuka kemudian mengalihkan perhatian mereka dan suara langkah kaki terdengar begitu tenang di atas keramik.
Raja Chevailler itu berdiri diam dengan lengan bersedekap, ada sebuah kotak merah tipis yang ia genggam erat di tangan. Hari ini ia memakai celana kain hitam dengan kemeja linen putih, ada jam tangan Rolex yang melingkar di tangannya dan rambutnya yang hitam disasak ke atas dengan gaya berantakan.
Redd mendengus. "Ada apa kau kemari?"
Richard menatap matanya lewat pantulan cermin rias, para penata gaya menunduk saat Richard mendekat dan mundur saat Raja itu berdiri di belakang Redd. "Apa ini sudah selesai?" ia menunjuk pada surai kelam Redd yang sudah dikepang rumit.
"Ya, Yang Mulia."
Richard tersenyum puas, ia membuka kotak yang ia bawa dan mengambil sebuah tiara yang di simpan di sana. "Apa?"
"Tiara," Richard menjawab. "Milik ibuku."
"Ibu," Redd tercenung. "Siapa?"
"Ibuku," jawab pria itu tenang. Sementara tangannya meraih tiara itu dan menaruhnya di kepala Redd. Harus Redd akui juga, tiara itu cantik. Bentuknya bulat dan dibuat dari sesuatu yang mirip dengan tali tembaga tipis berwarna emas dan dihias dengan cabang-cabang batu ruby merah berbentuk lonjong yang memutari seluruh bagian tiara. Sederhana, tapi terlihat amat cantik. "Ibu dulu sering memakainya saat keluar, aku pikir ini akan cocok untuk kau pakai."
Redd diam dan memandang lamat-lamat tiara yang bertengger di atas rambut hitamnya. Sebelum kemudian ia terkesiap. "Richard. Ini tiara yang dipakai ibumu di foto itu kan?"
"Iya," Raja itu menjawab dengan nada lempeng. "Memang iya."
Ratu itu masih berkedip, terbelah antara takjub dan kaget. Ia kagum dengan betapa indahnya tiara itu terlihat di atas kepalanya dan takjub dengan Richard yang memasangkan tiara itu padanya. Oh man, ingatlah betapa sadisnya Richard menghancurkan pondok dan bingkai kemarin lusa. Pikir saja, apa tidak aneh jika sekarang pria itu justru memberikan tiaranya pada Redd. Apa iya juga Raja itu mengubek-ubek barang ibunya disaat masuk ke ruang piano ibunya saja ogah-ogahan, kalau bukan karena menyusulnya Redd bahkan tidak yakin Richard masih ingat dengan tempat itu.
"Terimakasih," pada akhirnya Redd memilih untuk mengucapkan hal itu dari sekian banyak pertanyaan dan ketidak percayaan yang menghambur di kepalanya. "Ini cantik sekali."
Pintu ruangan kembali terbuka dan Justin masuk dengan baju pengawal khusunya yang baru. Celana pullover dongker dengan kemeja putih dan jas berwarna senada dengan celana yang dihiasi name tag disebelah kiri, dan rantai sepuhan emas yang menggantung diantara saku dan lambang kerajaan di sisi kanan. Pria muda itu masuk dengan wajah cerah, dan senyum yang sangat bersemangat.
"Yang Mulia mobilnya sudah siap," Justin berucap.
Redd tersenyum maklum sementara Richard memasang senyum agak terganggu. Oh, terang saja. Justin itu cerah secerah matahari sementara Richard itu gelap seperti badai, perumpaan hiperbola? Iya, tapi memang faktanya begitu. Bila
saat berada di dekat Justin orang akan merasa bersemangat, maka disebelah Richard akan membuat orang merasa sebaliknya.
Masih untung kalau bisa berdiri tegap dengan perasaan damai, karena umunya orang akan langsung merinding dengan keringat dingin, eh, tapi kenapa juga Richard jadi dihina begini sih?
"Oke," Raja muda itu menjawab. "Kita berangkat."
Richard mengulurkan siku pada Redd yang langsung diterima, Ratu itu berdiri dan berhenti sebentar untuk bercermin penuh penghayatan. Hari ini ia memakai dress A-line lengan panjang berwarna kuning pastel yang dihiasi dengan gambar-gambar burung kecil berwarna putih. Sebagai informasi, gaunnya adalah rancangan Lady Astrelee dan dikirim bersamaan dengan setidaknya empat belas baju lainnya dalam kotak besar kemarin sore.
"Kau cantik," Richard berucap tiba-tiba. Redd mendongak, menatap Raja itu bertanya. "Kau cantik. Jangan khawatir."
Redd mendengus. "Menjijikan," walau wajahnya memerah padam pada akhirnya.
Richard terkekeh, sebelum kemudian melangkah bersama Redd menuju ke halaman depan istana. Dimana tempat itu sudah dipenuhi dengan setidaknya empat mobil dan beberapa pengawal. "Kenapa banyak sekali orangnya?"
Richard menoleh mendengar kalimat Redd ia lalu memandang lurus ke depan dan berdeham. "Untuk jaga-jaga tentu saja. Aku kan sudah bilang bahwa aku akan membunuh orang yang mencelakaimu."
Ratu muda itu mengerutkan kening. "Psikopat," desisnya sebelum kemudian melojak dan mencengkeram lengan bisep Richard. "Hei. Kita belum memeriksa pria bermata hijau bukan? Lalu bagaimana dengan mayatnya? Juga pelakunya?"
"Jangan pikirkan itu," Richard menjawab enteng. "Itu bukan urusanmu."
"Bagaimana bisa bukan urusanku," Redd menyalak tidak terima. "Aku korban disini!"
"Karena itu," Richard menatap Redd datar. "Karena kau adalah korban. Memang kau pernah melihat polisi mengajak korbannya mengejar penjahat dan menangkapnya? Tidak kan, sttt!" ia menggeleng saat melihat Redd hendak membantah. "Jangan menyela. Kita akan pergi dan kita akan terlambat jika kita berdebat sekarang oke? Jadi simpan dulu asumsi hebatmu, deal?"
Redd mencebik, tapi menurut untuk diam. Wanita itu kemudian masuk ke mobil Rolls Royce hitam yang berada di tengah diikuti Richard. Perjalanan tidak berlangsumg sampai tiga puluh menit dan Redd terperangah di kursinya saat melihat bahwa tempat yang akan ia kunjungi sudah dipenuhi banyak orang. Bukan hanya wartawan, bahkan warga biasa sudah ada di sana. Dengan kamera ponsel yang menyala dan suara berdengung yang ribut.
Redd mulai gugup, entah kenapa rasanya ia jadi ingat saat ia dan Richard pergi untuk konferensi pers sebelum mereka menikah dulu. Hanya bedanya ia lebih gugup dari yang dulu sekarang. Richard meraih tangannya dan memandangnya dalam. Berusaha mengatakan semua akan baik-baik saja tanpa suara. Redd berdeham, sebelum melangkah keluar mobil disusul Richard. Pengawal dengan jas hitam menutup pintu mobil itu pelan, dan Redd sesegera mungkin menautkan tangannya ke siku Richard untuk mengurangi kegugupan.
Museum Nasional adalah tempat yang mereka kunjungi saat ini, tempatnya ada di dekat taman kota dan sudah berdiri selama lebih dari setengah abad. Museumnya berdiri tegak dengan gaya bangunan campuran antara Yunani-Chevailler kuno. Pilar-pilar khas Yunani berdiri menopamg bangunan, sementara atap kubah khas Chevailer menjadi penaung dan pusat dari gedung itu.
Redd tersenyum saat mereka mulai melangkah mremasuki museum, ada bodyguard di kanan kirinya dan setidaknya ada lebih dari seratus orang yang berdiri dan menjinjit penuh semangat juga penasaran di belakang para wartawan yang meliput.
Mereka masuk ke dalam museum tanpa halangan yang berarti karena orang-orang yang menonton dibarisan terdepan pun bahkan sangat rapi. Hanya Charles, Fleur serta Justin yang diperbolehkan masuk dan begitu mereka tiba di dalam ruang museum hanya ada dua orang yang menyambut mereka di sana. Seorang pria dewasa dan perempuan yang memakai rok terusan selutut serta jas berwarna marun yang Richard sudah hapal mati merupakan jas almamater dari Royal National University. Yah, tentu saja. Karena dia adalah orang yang mencetus jas almamater itu pada ayahnya saat usianya baru tujuh tahun.
Bukan apa-apa, waktu itu Richard mendengar cerita teman sekolah dasarnya tentang kakak lelakinya. Dimana kakaknya waktu itu adalah mahasiswa di sana dan mengeluh karena tidak ada barang apapun yang bisa menunjukkan dia adalah siswa Royal University. Jadi Richard kemudian menceritakan itu pada ayahnya, dan dalam waktu sebulan sejak saat itu jas almamater itu dikeluarkan dan menjadi hak paten yang akan diberikan pada siswa dan dosen disana. Richard bahkan juga merupakan orang yang mencetuskan warna merah marun.
Namun sayang, beribu sayang. Pencetusnya bahkan hanya memakai jas itu sebanyak dua kali saja. Richard mendengus dalam hati, tentu saja. Bagaimana mau memakai jika belum lulus sekolah menengah atas saja dia sudah naik tahta jadi Raja dan mengatur negara. Masih untung dia bisa memakainya di acara penerimaan siswa baru dan wisuda, karena Richard bahkan menjalani kuliah anti mainstream. Sebab jika orang lain melakukan kuliah sambil kerja, Richard justru kuliah sambil memerintah negara.
Richard bahkan ingat hal terkonyol yang pernah ia alami dalam hidupnya juga terjadi di sana, karena Royal University sudah jelas adalah milik kerajaan. Maka selama bertahun-tahun Raja adalah orang yang akan mewisuda para sarjana yang lulus dengan nilai terbaik, dan lucunya karena Richard adalah Raja ia harus mewisuda dosennya yang merampungkan doktoral saat ia masih merupakan murid disana-lebih lagi dosen itu adalah guru pembimbingnya dan yang lebih parah lagi ia bahkan harus mewisuda temannya sendiri di hari dimana ia wisuda juga. Menginggatnya saja entah kenapa Richard tiba-tiba merasa ingin tertawa.
"Selamat datang Yang Mulia," ucap si pria sebelum membungkuk diikuti oleh perempuan berjas. "Suatu kehormatan bagi saya untuk menemani anda berkeliling museum hari ini. Nama saya adalah Tom Grint, saya kepala museum, dan ini," ia melirik si perempuan. "Emma Catrollie. Asisten di museum ini. Dia adalah siswa terbaik dalam ujian tahun ini dan akan lulus dari Royal University tahun ini juga."
Nah kan, apa Richard bilang?
"Selamat kalau begitu," Redd tersenyum. "Kau akan bertemu aku dan Richard di wisudamu nanti."
Raja Muda itu melirik, mengerutkan kening keheranan. Darimana wanita itu tahu soal hubungan wisuda dan Raja?
"Terimakasih," jawab Emma. "Suatu kehormatan bagi saya Yang Mulia Ratu."
Perjalanan mereka dimuseum kemudian dimulai dan Richard lebih banyak menjadi pihak yang diam. Lagipula ia mau apa? Dia sudah kesini lebih dari sepuluh kali seumur hidupnya.
Richard membiarkan Redd berjalan setengah mendahuluinya bersama Emma dan Tom. Tangan wanita itu masih berada di lengannya, dan ia berusaha mengimbangi langkah Redd yang nyaris terlalu antusias. Sepanjang langkah mereka memutari museum Emma dan Tom menceritakan banyak hal soal sejarah benda dan lukisan-lukisan di sana. Redd hanya sesekali berkomentar dan bertannya, tetapi dari sana Richard tahu ia bisa melihat penghargaan dan rasa tertarik yang tulus dari istrinya. Tidak ada ungkapan basa-basi "Menarik sekali" atau "Begitukah?". Redd justru menanyakan hal-hal yang akan ditanyakan seorang siswa pada gurunya dalam tour sekolah seperti "Lukisan ini berasal dari mana? Apa asli Chevailler?", "Dengan apa patung ini diukir? Palu? Goresannya cantik sekali".
Dari pandangannya Richard bisa melihat penghormatan besar dari Emma dan Tom kepada Redd. Lebih lagi keantusiasan tulus wanita itu juga membuat mereka tampak bahagia dan dihargai. Langkah mereka kemudian berhenti di aula besar yang terletak di bagian belakang gedung. Aula itu berbentuk kotak dengan tembok luas tanpa jendela. Redd berdecak kagum tanpa sadar, berkebalikan dengan tampang Richard yang datar sama seperti tembok aula itu sendiri.
"Ini adalah ruang silsilah," jelas Emma. "Disini seluruh nama penerus dan keluarga kerajaan Chevailler ditulis."
"Sejak zaman kapan?" tanya Redd tertarik.
"Sejak dinasti pertama kerajaan ini." jawab Emma lagi. Perempuam itu lalu menunjuk ke ujung utara ruangan. "Garis awalnya dimulai dari sana."
Richard melonjak, tapi tidak menahan saat Redd melepas lengannya dan melesat-nyaris berlari-ke utara ruangan. Fleur mengikutinya dengan cepat, sementara Emma mengekor dibelakang dengan wajah bingung. Mungkin keheranan dengan Fleur yang langsung melesat mengikuti Redd seolah wanita itu akan hilang.
Richard sendiri memutuskan untuk berdiri menyandar di dekat pintu, tidak tertarik untuk melihat karena dia bahkan pernah terkunci di sini bersama sepupunya Andrew serta Louis sepanjang malam dan berakhir dengan lomba paling banyak menghapal nama keluarga kerjaaan kemudian.
Redd sendiri terlalu asik dengan dunianya, ia mengamati lamat-lamat nama yang ada di sana dan mengikuti garis keemasan tipis yang mengubungkan nama-nama itu dengan telaten. Sayangnya Redd hanya bisa melihat silsilah nama yang ada di garis tengah, karena banyak nama pendahulu yang terletak di tembok atas dan membutuhkan tangga untuk melihatnya. Seharusnya dia bisa saja melihat karena tangganya tersedia, tapi masalahnya Fleur memandangnya dengan tatapan Bibi May jika menegurnya dan alhasil Ratu itu mengurungkan niatnya.
Redd kemudian memekik saat melihat nama Annabeth yang merupakan nama tengahnya tertulis di tembok itu. "Ini namaku."
"Putri Annabeth," ucap Emma. "Putri keempat Raja Philip dengan selirnya Permaisuri Chaterine. Ia lahir di tahun 1456 dan meniggal di usia muda karena demam tinggi. Walau ada yang menyebut bahwa ia diracun oleh saudaranya yang beda ibu."
Redd memberengut. "Itu kejam sekali."
Dengan wajah yang masih mencebik Ratu Muda itu kemudian mulai mengikuti sulur silsilah hingga ke selatan ruangan, dan ia berhenti sangat lama saat ia akhirnya menemukan silsilah awal Richard. "Dimana silsilah terdekat Richard dimulai?" tanya Redd.
"Ini," Emma menunjuk nama Edward. "Beliau adalah kakek buyut Yang Mulia, beliau kemudian memiliki seorang Putra Mahkota dari istri keduanya Putri Anne, setelah istri pertamanya Ratu Mary ternyata mandul. Beliau tapi kemudian menikah lagi dengan seorang wanita bernama Lady Esme, dan memiliki seorang putra bernama James." Emma kemudian menunjuk pada nama James yang ditulis dibawah nama Putra Mahkota yang ditutupi oleh lempengan berwarna perak.
"Kenapa nama Putra Mahkota yang sebelumnya ditutupi?" tanya Redd.
"Tinta yang dipakai untuk menulis nama ini khusus, tidak bisa dihapus. Umumnya nama keluarga kerajaan yang bersalah akan ditutup beserta satu nama keturunan dibawahnya yang berkemungkinan menjadi pewaris terbesar. Hal ini dilakukan untuk menghindari kudeta lanjutan dan sebagainya."
"Putra Mahkota sebelumnya melakukan kudeta?" Redd keheranan.
"Ya. Putri Anne ternyata melakukan kudeta dan berusaha menggulingkan Raja untuk membuat putranya naik tahta. Ia kemudian dihukum mati dan jabatan Putra Mahkota kemudian diganti alih kepada Pangeran James, yang kemudian menjadi kakek Yang Mulia Raja. Tentu saja nama Putra Mahkota sebelumnya dihapus karena dia adalah anak Putri Anne"
"Jadi," Redd mencerna. "Jika Pangeran James yang merupakan kakek Richard tidak naik tahta dan tetap menjadi Pangeran maka Richard tidak akan jadi Raja sekarang?"
"Anda benar." Emma mengiyakan
Redd lalu menyusurkan tangannya pada garis keturunan Putra Mahkota yang digantikan, menyadari bahwa keturunan dibawahnya ditutup seluruhnya dengan lempengan perak kecuali garis terakhir keturunan yang berada kemudian dibagi menjadi dua cabang. Satu bertuliskan nama Arthut dengan cabang dibawahnya bertuliskan nama Andrew, sementara cabang sebelah kiri bertuliskan nama Harry yang kemudian dibawahnya tertulis nama yang membuat Redd terhenyak. Nama Louis dan Charlotte berada di garis akhir keturunan.
"Louis dan Charlotte ini," Redd terdiam. "Adalah putra Duke Of Erlt?"
"Ya," Emma menjawab mantap. "Ayah beliau Lord Harry Duke Of Erlt adalah Panglima Raja terdahulu. Mendiang Raja sebelumnya melarang penutupan nama Lord Harry dan Lord Arthur karena mereka bersepupu dekat. Serta karena kedua orang ini kemudian menjadi bagian dari Parlemen Istana."
"Aku pernah dengar Duke Of Erlt," Redd menerawang pada percakapannya bersama Charlotte sebelum wanita itu pulang. "Beliau sedang sakit. Tapi Lord Arthur itu siapa?"
"Lord Arthur adalah paman Yang Mulia Raja, namun beliau meninggal karena sakit dan putranya Andrew yang merupakan sepupu Raja tinggal di luar negeri semenjak itu."
Redd mangut-mangut penuh pemahaman sebelum kemudian melonjak gembira saat menyadari ada namanya di samping nama Richard, ditulis dengan tinta hitam dan ada satu garis bercabang diantara namanya dan nama Richard yang masih belum dilanjutkan.
"Ini namaku," wanita itu tersenyum lebar. "Tapi ini garis apa?" ia menunjuk garis bercabang itu.
"Tentu saja garis untuk anak kita nanti," Richard tiba-tiba berdiri di sisi Redd dan berbicara. "Kita isi dengan nama Elodie dan Arcen. Kalau perlu lebih dari nama itu."
Redd mengerjab. "Enak saja kau bicara. Kau pikir melahirkan anak itu tidak susah?"
"Melahirkannya memang susah," nada suara Richard menggoda. "Tapi membuatnya gampang. Buktinya kau menyukainya ya kan?"
Satu hantaman keras di bisep Richard membuat pria itu mengerang kesakitan. "Bagaimana bisa kau bicara begitu?" Redd melirik pada Fleur dan yang lain, yang saat ini menunduk dan berpura-pura tidak mendengar mereka demi kesopanan.
"Apa salahnya?" Richard memprotes. "Aku kan bicara fakta. Kau memang menyukainya, dan semua orang harus bisa memaklumi pengantin baru. Sekalipun dia adalah Raja."
"Pengantin baru apanya," Redd mendesis sengit. "Dasar barbar."
"Ya. Untukmu. Diranjang," Richard menjawab cuek.
Redd mengerjab kaget dan dengan kesal mencubit pinggang suaminya itu. "Berhenti bicara hal yang vulgar! Ini tempat umum oke? Mana sih wibawamu sebagai Raja?"
"Tertinggal," ia tersenyum lalu mendekat pada Redd untuk berbisik. "Di sofa basah."
Bagus, sekarang Redd merasakan wajahnya memerah dan dengan marah ia berjalan menghentak keluar aula tanpa menoleh ke belakang. Richard tertawa geli sebelum mengejar Redd yang sudah menghilang di pintu.
Well, setidaknya untuk hari ini Richard bisa menjamin jika moodnya akan menjadi sangat bagus sekali.
...