Kim Young Ju atau 888 menimang amplop dengan warna hitam di tangannya. Tutup amplop itu memiliki segel berwarna merah. Cap langsung dari raja Langit. Perlahan ia membukanya. Amplop itu berisi data seseorang. Nama dan tempat tanggal lahir, profesinya dan bagaimana kehidupannya. Juga, bagaimana ia akan menemui kematian. Ia melihat tanggal kematiannya, masih dua hari lagi dari sekarang.
Namun, sesuai prosedur dua hari sebelumnya, para malaikat maut sudah harus membayangi jiwa manusia itu di sisa- sisa harinya menjelang kematian. 888 melangkah ke kamar sebelah. Saat akan mengetuk pintu Chin Hae atau 444 tiba- tiba membuka pintu kamar nya.
"Kau ini seperti manusia saja," omel 888. 444 hanya melongo, "Hah? Aku keluar dari kamarku apa harus menembus pintu? Aku tidak memakai pin ku," jawab 444.
888 mendengus sebal dan ia menyerahkan amplop di tangannya pada 444."Pakai pin mu kita harus segera bekerja," ujar 888 sambil melangkah.
"Kau mau kemana?"
"Aku merasa sedikit lapar, kau keberatan?"
888 melangkah menuju dapur yang ada di apartemen itu. Lalu, ia mengeluarkan salad dari kulkas dan mulai memakannya. 444 berjalan menghampiri sambil merengut sebal.
"Menyuruh orang lain cepat, sementara kau malah enak makan disini," gerutu 444. 888 hanya tertawa kecil. 50 tahun yang lalu, dialah yang menjemput jiwa 444 dan mengantarnya menuju pengadilan raja langit. Karena suatu kesalahan fatal yang dibuat 444 di masa hidupnya, membuat dia harus menjalani hukuman sebagai malaikat maut. Dan, karena Wo Bin rekannya sudah bisa bereinkarnasi maka 444 pun menjadi rekan 888. Tentu saja ingatan 444 di hapuskan. Ia akan memperoleh kembali ingatan itu, jika masanya untuk bereinkarnasi sudah hampir tiba.
Dan, 444 memang masih remaja saat ia meninggal akibat kecelakaan maut yang menimpa bis sekolahnya. Sehingga , kelakuannya pun kadang masih seperti anak remaja pada umumnya. Suka sekali merajuk. Dan 888 sangat senang menggodanya.
"Eun Tak, usia 35 tahun seorang pegawai Bank. Meninggal karena...oh Dewa, dia bunuh diri? Apa dia siap menghadap raja neraka dan menjalani hukuman," ujar 444 dengan wajah penuh kengerian.
"Tugas kita hanya menjemput nya dan kemudian mengantarkannya ke pengadilan akhir. Mengapa wajahmu menjadi begitu menyedihkan?"tanya 888.
"Entahlah, aku sering merasa kasian jika membawa jiwa- jiwa itu kepada raja neraka."
"Malaikat maut yang aneh,"gerutu 888.
Akhirnya, setelah sarapan dan lainnya, mereka pun keluar dari apartemen.
"Kenapa sih, kau ini senang sekali keluar dari apartemen dalam wujud manusia biasa?"gerutu 444.
"Loh, apa kau mau orang- orang curiga bahwa kita ini malaikat maut? Hadeeh, kau ini."
"Tapi, lebih cepat jika kita menggunakan teleportasi saja."
"Jangan malas, sesekali kita juga perlu berolahraga," ujar 888 dengan santai. 444 hanya bisa mencebikkan bibirnya.
Teleportasi itu adalah pengalihan materi dari satu titik ke titik lain, secara instan. Para malaikat maut memiliki kemampuan untuk berteleportasi. Mereka hanya tinggal memikirkan suatu tempat kemana mereka akan pergi. Lalu mereka bisa berjalan melalui apa saja. Dengan cara masuk ke dalam lemari lalu saat pintu terbuka mereka akan terhubung ke pintu lain di ruangan yang lain. Begitu juga dengan 888 dan 444 mereka bisa pergi kemana saja sesuka hati. Hanya dengan memikirkannya saja.
Namun, 888 sangat suka jika mereka berjalan kaki terlebih dahulu sampai ke lobby bawah apartement mereka baru mereka akan berteleportasi ke tempat yang mereka tuju. Meskipun dia sangat tidak ramah jika berpapasan dengan orang lain. Itulah mengapa 444 malas jika harus berjalan kaki terlebih dahulu. Karena ia terpaksa membalas sapaan tiap orang yang bertemu dengan mereka dan menyapa 888.
Di sudut lobby Apartemen ada sebuah toilet. Biasanya mereka akan masuk ke toilet dan memakai pin mereka baru mereka akan berteleportasi ke tempat yang akan mereka tuju.
"Pakai pinmu. Kita akan segera menjumpai Eun tak," ujar 888. Tanpa di perintah dua kali 444 segera memakai pin nya dan mereka berdua pun hilang di balik pintu toilet.
Mereka tiba di sebuah rumah yang sederhana. Nampak seorang wanita sedang duduk termenung sambil memegang selembar kertas. Wajahnya nampak sangat kebingungan. Sesekali ia menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan berat. 444 yang penasaran langsung berdiri di belakang wanita itu dan ikut membaca kertas yang ada di tangan wanita itu.
Pletak...
Dengan keras 888 memukul kepala 444 menggunakan tongkat yang ia bawa.
"Aduuuh, kenapa kau memukulku sih," protes 444.
"Tidak usah penasaran dengan urusan manusia, 444."
"Kita juga dulu manusia seperti dia. Haaah...entah apa salahku, hingga aku harus menjalani hukuman untuk menjadi malaikat maut seperti ini."
Tidak lama terdengar suara bel di pintu. Wanita itu, Eun Tak segera bergegas membukakan pintu. Ternyata yang datang adalah seorang wanita dan anak kecil yang waktu itu sempat bertemu dengan 888.
"Wajahmu pucat sekali, ada apa? Apa kau sakit?"tanya wanita yang baru datang itu. Eun Tak menggelengkan kepalanya.
"Aku pusing sekali, kau lihatlah ini,"jawab Eun Tak sambil menyerahkan kertas yang tadi ia baca.
Hyun Jae gadis kecil itu menatap 888 dan 444 yang sedang berdiri dengan pandangan tak bersahabat.
"Kalian lagi," gumamnya nyaris tak terdengar. Namun, terdengar jelas di telinga 888.
"Kau bisa melihat kami?"tanya 888 menyakinkan. Hyun Jae mengangguk sekilas, lalu ia bergabung dengan ibunya dan Eun Tak duduk di sofa.
"Ada apa, Hyun Jae?"tanya Kim, ibunya.
Hyun Jae menoleh ke arah Eun Tak dan memegang tangan wanita itu. "Bibi, berhati-hati lah ya," ujarnya. Eun Tak membelai rambut Hyun Jae yang panjang dan hitam itu. "Kenapa kau berkata begitu? Apa bibi terlihat seperti orang yang ceroboh?"tanya Eun Tak. Hyun Jae tersenyum, "Tentu tidak. Bibi adalah Bibiku yang paling baik hati. Hanya saja, aku merasa hal yang kurang menyenangkan akan terjadi. Itu sebabnya aku meminta bibi untuk berhati-hati," jawab Hyun Jae sambil tersenyum. Kim dan Eun Tak saling berpandangan.
"Kau lakukan saja apa yang ia katakan," ujar Kim.
"Apa yang harus aku lakukan, kak? Rasanya berat untuk membayar semua hutang yang di tinggalkan oleh Do Yun. 5 tahun gajiku pun tidak akan bisa untuk menbayar semua tagihan hutangnya. Jika rumah ini dijual pun, hanya bisa setengah nya saja. Lalu aku akan tinggal dimana?" Eun Tak mulai terisak. Kim memeluk sahabatnya itu, Eun Tak baru saja kehilangan suaminya. Tanpa setau Eun Tak, ternyata Do Yun meninggalkan hutang yang sangat banyak. Dan, Kim tau uang itu dulu di pergunakan oleh Do Yun untuk membayar pengobatan Eun Tak.
888 yang melihat pemandangan di hadapannya hanya diam tanpa ekspresi. 444 menyenggol tangan 888, "Mungkin itu yang membuatnya memutuskan untuk bunuh diri," ujar 444.
"Bukan urusan kita. Tugas kita hanya menjemput jiwanya ketika dia mati lusa nanti," jawab 888 dingin.
***
Kim merasa tidak tega melihat Eun Tak yang kelihatan sangat terpukul. Ia memeluk sahabatnya itu, memberikan kekuatan dan semangat.
"Hyun Jae, bisakah kau duduk di ruang makan saja? Ada yang mau ibu bicarakan dengan bibimu, tidak apa kan Eun kalau dia menunggu di sana?"
"Tentu, ayo bibi antar. Kebetulan bibi baru saja membuat kue beras. Kau pasti menyukainya."
Hyun Jae mengangguk dengan mata berbinar-binar. Dan ia mengikuti langkah Eun Tak menuju meja makan. Eun Tak memberikan beberapa potong kue dan segelas susu coklat untuk Hyun Jae. Kemudian, dia kembali ke sofa untuk berbincang dengan Kim.
888 menatap Hyun Jae dengan tatapan tajam dan dingin. Hyun Jae ternyata bukanlah gadis penakut. Dia balas menatap 888 dengan tajam juga.
"Kenapa kau mau mengambil jiwa bibi Eun?"tanya Hyun Jae perlahan. Dia tidak ingin suaranya sampai terdengar oleh Ibunya.
"Tugasku memang menjemput jiwa yang sudah mendekati kematiannya. Jadi, aku harus disini. Ini bukan mauku. Tapi, perintah raja langit," jawab 888 kesal. Hyun Jae memicingkan matanya.
"Bukankah kita pernah bertemu? Aaah, aku ingat di halte bis kan? Aku melihat banyak yang berpakaian sepertimu. Apa seragam kalian harus serba hitam? Masing-masing jiwa di apit oleh dua diantara kalian. Lalu, kemana kalian membawa jiwa- jiwa itu?"tanya Hyun Jae sedikit berbisik.
444 langsung duduk di dekat Hyun Jae. Dia senang sekali bertemu orang yang bisa melihat kehadiran mereka.
"Kau....eh, sejak kapan kau bisa melihat kami?"tanya 444. Hyun Jae menghela napas sambil menelan kue berasnya. "Aku bisa melihat kalian mungkin sejak aku di lahirkan. Aku melihat saat orang-orang berpakaian hitam seperti kalian datang ke rumahku seminggu sebelum kematian ayahku. Untuk pertama kalinya aku bicara dengan orang-orang seperti kalian. Ayah dan Ibu tidak bisa melihatnya. Aku ingat mereka menyebut nama mereka 114 dan 555. Mereka bilang akan menjemput ayah. Dan, sebelum menjemput ayah, mereka harus menemani ayah selama seminggu. Dulu aku tidak tau, jika mereka adalah malaikat maut. Jadi, aku tidak sempat memperingatkan ayah. Kalian berbeda dengan roh yang lain yang biasa aku lihat," celoteh Hyun Jae.
888 berjalan mendekat, lalu menatap Hyun Jae tajam. "Selain kami, kau bisa melihat roh lain?"tanya 888.
"Tentu saja, aku sering berbicara dengan mereka. Katanya mereka adalah roh yang hilang. Mereka belum mau pergi karena masih ada yang harus mereka selesaikan di dunia ini. Dan, mereka selalu lari jika melihat kalian."
888 menghela napas panjang. Ia tidak mengerti kenapa manusia bisa melihat roh dan melihat mereka. 888 mengusap wajahnya dan mendengus kesal. "Hei,anak kecil. Apa kau tau kalau aku masih kesal kepadamu?"
Hyun Jae mengerutkan dahinya. "Kesal, kepadaku? Apa kau tidak salah. Apa yang sudah aku lakukan sampai-sampai membuatmu kesal,hah?"
"Kau menyelamatkan pemuda itu ketika di halte bis. Seharusnya, hari itu dia sudah kami bawa menghadap raja langit."
"Hei, apa kau tau apa tugas manusia?"
"Apa?!"
"Berbuat baik dan menyelamatkan manusia yang lainnya. Dasar bodoh...berapa sih umurmu?!"hardik Hyun Jae.
444 tersedak menahan tawa mendengar jawaban Hyun Jae. Sementara 888 langsung melotot tajam.
"Kau ini sok tau sekali,menyebalkan," rutuk 888.
"Kau jauh lebih menyebalkan. Kau lihat wajahmu itu, tampan tapi, menyebalkan. Apa kau tidak bisa tersenyum, huh?!"
"Aku ini malaikat maut."
"Memang ada larangan bagi malaikat maut untuk tersenyum? Liat itu rekanmu. Dia bisa tersenyum. Ish, menyebalkan sekali. Sudah sana- sana, jangan ganggu aku. Ingat ya, aku pasti akan menyelamatkan bibiku. Dia orang baik, kalian jemput saja jiwa- jiwa orang- orang jahat. Tapi, jangan bibiku," rutuk Hyun Jae.
888 bertambah melotot. "Ais, kau ini. Aku ini malaikat maut, bukan pembunuh. Memangnya ini mauku , raja langit yang memberikan perintah. Aku hanya menjalankan saja. Kau suruh aku menjemput jiwa orang- orang jahat, aku harus membunuhnya dulu begitu?"
"Orang jahat memang harus di lenyapkan. Itu sebabnya jika besar nanti aku akan menjadi polisi. Akan kubunuh orang- orang jahat . Dan, kau tinggal jemput jiwanya," ujar Hyun Jae dengan mantap.
888 tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Hyun Jae. Tentu saja 444 dan Hyun Jae sendiri merasa heran. Terlebih lagi 444, selama 50 tahun dia belum pernah melihat 888 tertawa lepas seperti ini.
"Apa dia sudah gila?"tanya Hyun Jae pada 444 sambil menggelengkan kepala dan mengerutkan dahinya.
"Kau ini lucu. Apa kau yakin kau bisa menjadi seorang polisi? Gadis manja sepertimu? Hahahaha...."
Hyun Jae mengerucutkan bibirnya dan memicingkan matanya sambil menatap 888.
"Kau mau bertaruh?"katanya.
888 susah payah menghentikan tawanya. "Bertaruh apa? Manusia sepertimu menantang malaikat maut, ah lucu sekali. Tapi, baiklah. Ayo sebutkan taruhannya."
"Jika aku bisa menjadi seorang polisi, kau harus membantuku menangkap yang jahat. Tapi, jika aku gagal menjadi Polisi aku berjanji, tidak akan menggangu tugasmu. Aku tidak akan memperingatkan orang yang jiwanya akan kau ambil, bagaimana?"ujar Hyun Jae sambil mengulurkan tangan.
888 sejenak ragu. Ia tidak bisa menyentuh manusia , sebab jika ia menyentuh mereka gambaran masa lalu mereka di kehidupan sebelumnya akan terlihat olehnya. Tapi, demi gengsinya ia menyambut uluran tangan Hyun Jae. Hanya beberapa detik, ia langsung melepaskan jabatan tangan mereka. Ia merasa debaran keras di jantungnya saat melihat kehidupan masa lalu Hyun Jae.
Wajah 888 menegang seketika.
"Apa?!kau pasti takut kan, kalau kau akan kalah dariku?"tuduh Hyun Jae. 888 mencibir, "Gadis kecil sok tau. Aku hanya melihat sesuatu saat aku menjabat tanganmu tadi," jawab 888. Hyun Jae berbinar seketika, "Waah, betulkah? Ceritakan kepadaku, bagaimana aku di kehidupanku sebelumnya? Apa aku seorang putri raja yang cantik? Atau aku seorang panglima perang? Pengawal Kaisar ? Atau apa? Ayo cepat ceritakan," desak Hyun Jae dengan semangat.
888 menggeleng, "Itu rahasia langit. Mana boleh aku menceritakan kepadamu," elak 888. Hyun Jae hanya mengerucutkan bibirnya dan melanjutkan memakan kue berasnya dengan nikmat sambil meminum susu coklatnya.
Sementara itu, 888 menghela napasnya. Saat ia menjabat tangan Hyun Jae, ia melihat kilas balik Hyun Jae di kehidupan sebelumnya. Ia melihat seorang putri yang begitu cantik. Ia sedang berlari- lari kecil diikuti oleh dayang- dayangnya yang memanggilnya, tuan putri 'Yue Liang'. Beberapa orang akan di beri anugrah memiliki wajah yang sama seperti wajahnya di kehidupan sebelumnya. Ada juga yang tidak. Namun, sepertinya Hyun Jae memiliki wajah yang sama seperti kehidupan yang sebelumnya. Begitu pula dengan malaikat maut. Ada yang memiliki wajah yang sama seperti saat menjadi manusia. Ada pula yang memiliki wajah yang berbeda. Semua itu tergantung pada kebijakan raja langit.
***
Kim menyentuh bahu Eun Tak perlahan. "Aku akan membantumu untuk membayar hutang-hutangmu. Aku masih memiliki sedikit tabungan. Jika di gabungkan dengan penjualan rumah ini mungkin cukup membayar tiga perempat dari hutang itu. Dan kau bisa tinggal bersamaku dan Hyun Jae. Itu akan jauh lebih baik," ujar Kim.
"Aku tau, itu adalah tabungan pendidikan untuk Hyun Jae kan. Mana mungkin aku bisa memakainya. Tidak, aku tidak bisa. Itu milik Hyun. Aku tidak bisa,Kim."
"Aku tidak apa- apa. Kau tidak bisa terpuruk seperti ini. Ayolah, izinkan aku untuk membantumu."
Eun Tak menunduk sedih. Belum lagi kering air mata akibat kehilangan suaminya, kini masalah lain datang melanda. Eun Tak menghela napas panjang berulang-ulang. "Aku...aku tidak tau apa yang harus aku lakukan saat ini. Tapi, mengenai tawaranmu biar aku pikirkan lagi."
"Pikirkanlah lagi, Eun. Aku tidak masalah jika kau tinggal bersama kami. Hyun Jae pasti juga akan merasa senang jika kau tinggal bersama kami."
888 dan 444 berjalan mendekat menghampiri Eun Tak dan Kim. Hyun Jae yang melihat hal itu bergegas menghampiri ibunya. Tanpa sengaja, tangan Hyun Jae menyentuh ujung pakaian 888. Dan, ekspresi gadis kecil itu berubah seketika. Ia menatap tajam ke arah 888 dan 444. Kedua malaikat maut itu saling berpandangan melihat tatapan Hyun Jae yang seolah sedang menghakimi mereka.
"Ibu, bagaimana jika kita menginap disini atau bibi Eun Tak saja yang menginap. Ya, tidak usah lama, dua atau tiga hari saja. Bagaimana bu?"tanya Hyun Jae. Kim menatap putrinya itu. Melihat sorot mata Hyun Jae yang memohon membuat Kim merasa tidak tega.
Kim menepuk bahu Eun Tak. "Sepertinya Hyun Jae benar. Kau tidak boleh di biarkan sendiri disini. Bagaimana jika kau ikut kami pulang saja."
Eun Tak nampak berpikir sesaat, dan akhirnya ia beranjak menuju ke kamarnya untuk membereskan barang-barangnya.
"Baiklah, aku akan ikut kalian," kata Eun Tak sambil tersenyum dan mengelus rambut Hyun Jae.
888 menatap Hyun Jae kesal. "Kau mencampuri urusan langit sekali lagi," kata 888. Hyun Jae tidak menjawab karena Kim sedang memperhatikannya. Ia hanya menahan senyuman yang hampir berkembang di bibir mungilnya. Hyun Jae melihat gambaran kematian Eun Tak yang menggantung dirinya sendiri. Hyun Jae tidak mau hal itu terjadi. Maka, ia mengambil inisiatif untuk membawa Eun Tak bersamanya dan Kim.
Merasa Eun Tak terlalu lama, Kim menyuruh Hyun Jae duduk menunggu. Sementara, ia sendiri menyusul Kim ke kamarnya.
"Kau ini nakal sekali sih. Kau mencampuri urusan langit. Seharusnya, kau dan ibumu pulang saja. Tidak perlu mengajaknya segala," omel 888 pada Hyun Jae.
"Aku kan sudah bilang, aku akan membantu orang lain. Jika kematian yang memang sudah seharusnya, tidak akan aku ikut campur. Tapi, aku melihat bibi Eun Tak menggantung dirinya sendiri di tengah rumah. Apa aku harus tinggal diam? Kau ini tega sekali."
"Bukan tega, memang itu sudah tugasku. Kau ini pernah melihat sebelumnya malaikat maut mencegah kematian?"
"Karena bukan tugasmu aku ya mewakilinya."
888 merengut kesal. Bukan tidak mungkin, kematian Eun Tak akan tertunda karena campur tangan Hyun Jae. Ia melihat amplop yang ada di balik pakaiannya. Dan, benar saja. Kertas berisi data Eun tak kini menjadi kertas kosong tanpa tulisan.
"Kenapa kertasnya menjadi kosong 888?" tanya 444.
888 mendengus sebal. Ia melirik Hyun Jae yang sedang tersenyum penuh kemenangan. "Tentu saja hilang, karena gadis ini menyelamatkannya," jawab 888 sambil melangkah pergi. 444 yang kebingungan langsung menyusul langkah 888. Dan dalam sekejap mata, mereka menghilang. Hyun Jae pun bisa bernapas dengan lega.
Tak lama kemudian, Kim dan Eun Tak muncul dan mereka pun bergegas untuk pulang. Jarak antara rumah Kim dan Eun tak tidak terlalu jauh. Namun, mereka memutuskan untuk naik bus saja.
Namun, saat di halte Hyun Jae melihat 888 dan 444. Masih dengan pakaian yang sama. Namun, saat di perhatikan mereka berdua tidak mengenakan pin di dada mereka. Sehingga Eun Tak dan Kim mengangguk ramah pada keduanya.
"Ibu bisa melihat mereka berdua?" bisik Hyun Jae.
"Tentu saja, sejak tadi mereka sudah berdiri di sana Hyun. Bagaimana mungkin ibu tidak melihat mereka."
Hyun Jae mendelik dan mencibirkan bibirnya kepada 888 yang juga sedang menatapnya sebal. Ia merasa bertambah sebal saat 888 dan 444 menaiki bus yang sama dengan mereka.
"Paman mengikuti kami?" tanya Hyun Jae sebal. Kim langsung menyikut lengan putrinya itu. "Hyun, tidak sopan. Maafkan putri saya ya."
"Tidak apa- apa. Kami pernah beberapa kali bertemu, jadi adik kecil ini mungkin menganggap kami ini penguntit," jawab 444 sopan. Kim menoleh pada Hyun Jae .
"Benar apa yang paman ini katakan?" tanya Kim memastikan. Hyun Jae menarik napas panjang dan menganggukkan kepalanya.
"Benar bu, beberapa waktu yang lalu, kami bertemu di halte bus saat aku hendak berangkat sekolah. Dan, saat kita pulang dari Mall minggu lalu."
"Ah, maaf saya kurang memperhatikan."
444 hanya tersenyum kecil. "Tidak mengapa. Oya, siapa namamu adik kecil?" tanya 444.
"Namaku Hyun Jae. Dan paman?"
"Aku Chin Hae dan dia Kim Young Jo."
"Namaku juga Kim," sahut Kim kepada 888 dan 444.
"Ah, kebetulan sekali."
Berbeda dengan 444 yang nampak berbaur. 888 hanya diam sambil sesekali mencuri pandang ke arah Hyun Jae. Sudah kedua kalinya tugasnya di gagalkan oleh Hyun Jae. Dan, 888 merasa kesal sekali.
"Ingat, kita masih punya perjanjian,"bisiknya pada Hyun Jae yang kebetulan duduk di samping nya.
"Ya, tentu saja aku ingat . Tapi, perjanjian itu di mulai jika aku menjadi polisi nanti," jawab Hyun Jae berbisik juga.
"Kau ini memang gadis kecil yang licik sekali," gerutu 888.
"Aku mendengar ucapanmu," balas Hyun Jae.
444 yang melihat kelakuan 888 dan Hyun Jae hanya bisa menggelengkan kepalanya. Tak lama, bus pun sampai ke halte selanjutnya. Kim dan Eun Tak pun bergegas turun. Sementara 888 dan 444 melanjutkan ke halte berikutnya.
"Kau kenapa Hyun? Sepertinya kau tidak suka dengan kedua paman tadi?" tanya Kim.
"Tidak juga bu, aku hanya sebal saja melihat paman yang bernama Kim Young Jo itu. Dia sama sekali tidak ramah. Lihat saja wajahnya garang dan tidak bisa tersenyum," jawab Hyun Jae.
Kim dan Eun Tak hanya bisa tertawa mendengar perkataan Hyun Jae.
"Mereka keliatan ramah dan baik kok, mereka juga cukup tampan," seloroh Eun Tak.
"Tampan? Ah, bibi ini. Tampan dari sebelah mananya bi?"
"Bibimu benar Hyun. Mereka memang tampan kok," sahut Kim. Merasa kalah dan malas berdebat Hyun Jae memilih diam dan tak menjawab lagi. Hanya dalam hati, ia berharap tidak melihat lagi malaikat kematian berjalan di dekatnya.