webnovel

MARAH BESAR

Siapa yang menduga Mbak Syakila sampai di kontrakan mengomel dan marah besar pada Mas Hari Abimanyu hanya karena masalah Azkaya.

"Abi kebangetan, kenapa dia ngajak saudaranya Azkaya itu! Aku tidak suka," pekik Mbak Syakila membuat aku bingung.

"Kak Azka baik ada apa memangnya kenapa Mbak Syakilla marah?" tanyaku.

Dia terkekeh seraya menarik telinga kananku.

"Aryna kamu tahu tidak jika pacarmu itu ingin menjodohkan aku dengan Azkaya nggak jelas itu!" pekiknya di dekat telingaku, berisik sekali.

"Mbak Syakila mirip nenek tetangga di kampung kalau lagi marah," ujarku meringis.

"Aryna! Kamu nyebelin ya! Pasti kamu membela Abi!" gerutu Mbak Syakila.

"Bukan begitu Mbak Syakila sayang, tapi saudara Mas Hari Abimanyu memang terlihat baik orangnya," jelasku tapi Mbak Syakila terlihat tidak suka dan marah besar.

"Kenapa kamu bisa bilang jika Azkaya kaya monyet itu baik padahal baru kenal, dengar ya, aku tidak suka dijodohkan!" pekik Mbak Syakila lalu dia membuang wajahnya dari hadapanku.

Sebetulnya aku penasaran memangnya kekasih aku benar-benar ingin menjodohkan Mbak Syakila dengan Azkaya itu?

"Mbak, aku boleh bertanya tidak?" tanyaku lagi.

"Apa betul Mas Hari Abimanyu ingin menjodohkan Mbak Syakila dengan Mas Azka?" Aku bertanya lagi walaupun awalnya dia sudah berkata demikian.

"Baca nih!" Mbak Syakila menyodorkan ponsel yang berisi pesan dari Azkaya.

Di sana Azkaya berkata ingin kenal lebih dekat dengan Mbak Syakila untuk menjalin hubungan serius jika kedua belah pihak saling setuju.

"Tidak ada yang salah dengan pesan dari Mas Azka, tapi Mbak kenapa marah?" tanyaku bingung.

"Aku marah soalnya merasa terhina sebab dijodohkan begini itu artinya Abi menyatakan secara tidak langsung jika aku tidak laku, begitu kan?" tukas Mbak Syakila membuat aku langsung bengong.

"Bagaimana mungkin Mbak Syakila berpikir demikian, tidak dong. Mas Hari justru peduli sama kamu," ungkapku agar Mbak Syakila berhenti marah tidak jelas.

"Pasti Abi menghina aku! Sudahlah tidur sana!" hardik Mbak Syakila sedikit kasar.

"Baik, selamat tidur kakak aku sayang jangan lama-lama marahnya nanti bisa cepat tua," ledekku.

"Tuh, kan! Kamu sekarang menghina aku tua, dasar ya! Abi sama kamu dua-duanya nyebelin!" pekik Mbak Syakila.

Waduh aku salah bicara.

"Maaf aku hanya bercanda Kakakku," sahutku lalu menarik selimut takut Mbak Syakila semakin marah.

Ada apa dengan dia? Mungkin sedang haid makanya marah-marah tidak jelas.

Semoga besok pagi dia sudah tidak ngambek lagi seperti anak kecil.

Aku tidak bisa tidur akhirnya kirim pesan ke Mas Hari Abimanyu.

"Selamat malam pacar, pulang dari makan malam Mbak Syakila ngamuk nih! Sepertinya dia sedang haid jadi marah tidak jelas. Mas Hari memang ingin Mbak Syakila jadian dengan Mas Azkaya ya? Tadi dia bilang katanya Abi nyebelin soalnya sudah dijodoh-jodohkan. Mbak Syakila kesal karena merasa dihina."

Aku kirim pesan cukup panjang seperti koran, tapi tidak apa-apa semoga pacar cepat membalasnya.

Beberapa menit kemudian ponselku berdering hatiku langsung gembira segera aku membaca pesan dari pacar.

"Masa Killa marah, aku tidak mungkin ingin menghina dia. Tolong sampaikan kepada kakak kamu itu jika keberatan kenalan dengan Azkaya silakan nomornya diblokir saja." 

Pesan dari Mas Hari Abimanyu menyuruh Mbak Syakila memblokir nomor Mas Azkaya. Padahal Mas Azkaya orang yang baik tidak ada salahnya jika berteman dulu, seandainya tidak cocok sebagai jodoh is ok.

"Aku tahu maksudnya Mas Hari Abimanyu baik kok, Mbak Syakila saja yang salah paham. Tidur, gih! Sampai bertemu di tempat kerja." Setelah membalas pesan dari kekasihku aku memutuskan untuk menutup mata waktunya tidur.

***

Suara bedug di masjid dekat kontrakan terdengar aku langsung membuka mata. Sudah mau satu bulan lamanya diriku sudah di Jakarta. Aku rindu ayah dan ibu di desa semoga mereka sehat dan baik-baik saja.

Meskipun kedua mata masih sulit untuk terbuka aku tetap bangkit. Pertama aku minum air putih terlebih dulu kemudian bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi barulah berwudhu.

"Mbak Syakila tumben belum bangun, apa dia masih ngambek sama aku?" ujarku pelan agar dia tidak bangun.

"Tapi jika dia bangun kesiangan aku wajib membangunkan Mbak Syakila," gerutuku.

"Kalau mau membangunkan yang kenceng ngomongnya!" sahut Mbak Syakila ternyata hanya mata saja yang terpejam tapi kedua telinganya masih mendengar jelas apa yang barusan aku ucapkan.

"Mbak Syakila sudah bangun kah? Selamat pagi, Kakak aku," ujarku meringis merasa tidak enak tapi sudah terlanjur didengar olehnya maka biarkan saja.

"Pagi juga, Mbak nanti saja salatnya. Kamu duluan, gih!" Mbak Syakila seperti biasa memilih mandi dulu baru mau sembahyang.

"Baik Mbak, aku salat duluan." Aku pun melaksanakan ibadah salat subuh seorang diri.

Lima menit kemudian ….

"Mbak aku sudah selesai salat, aku mau masak nasi dulu, ya!" ujarku bertanya dengan suara lebih keras.

"Iya, sana!" timpal Mbak Syakila.

Mungkin bagi Mbak Syakila masih marah sebab dia terlihat malas untuk bangun di pagi yang menyebalkan untuk dirinya.

Sambil memasak nasi aku memutar lagi patah hati, Mbak Syakila semakin marah.

"Kamu sengaja bikin aku marah ya?" tanya Mbak Syakila.

"Tidak, ada apa denganmu?" tanyaku.

"Tahu ah! Aku mau mandi saja, kamu beli lauk sana!" perintahnya tapi dia tidak memberikan uang sepeserpun.

"Baik Mbak," sahutku. 

Melihat isi dompet yang kian menipis rasanya aku ingin berteriak. 

"Kapan gajian? Dompet sudah meronta-ronta minta di isi, sisa Rp 200.000,00 apa cukup untuk satu Minggu?" tanyaku pada diri sendiri.

Aku harus beli lauk apa? Semua bahan pokok sedang naik daun, melejit. Kemungkinan harga makanan matang pun akan ikut naik. Seperti biasa aku beli makanan di warteg langganan. Mungkin semua orang tahu jika WARTEG itu singkatan dari warung Tegal. 

"Mbak ayam gorengnya ada tidak?" tanyaku.

"Adanya ayam bakar Mbak," sahut Mbak warteg.

"Biasanya ada Mbak. Kalau begitu aku pesan 2 ekor ikan dimasak  pindang dan juga orek tempe saja," ujarku.

"Siap," jawab Mbak warteg.

Beberapa menit kemudian.

"Ini Mbak pesanannya," ujarnya menyodorkan plastik berisi makanan.

Setelah membayar aku kembali ke kontrakan.

Di jalan aku berpikir jika semua kebutuhan bahan naik wajar saja harga makanan matang pun ikut naik.

"Assalamualaikum, aku datang," kata aku di depan kontrakan.

Namun yang menyahut adalah Mas Hari Abimanyu.

"Waalaikumsalam," katanya membuka pintu kontrakan yang bersebelahan denganku.

"Aku tidak sedang bertamu," ungkapku tersenyum malu.

"Eh, ada pacar. Iya, Mas tahu kok. Kamu habis beli lauk ya?" tanya Mas Hari yang memperhatikan tanganku.

"Iya, aku barusan beli lauk untuk sarapan. Mas Hari Abimanyu sudah makan belum?" tanyaku.

"Belum tapi sudah pesan lewat online," jawabnya. 

Kalau punya banyak uang segala jadi mudah, pesan makanan saja bisa lewat online, terus diantarkan. Enak sekali.

"Oh, begitu. Aku masuk dulu ya, sampai nanti di tempat kerja." Aku pun masuk.

"Kenapa di tempat kerja, kita kan biasanya berangkat kerja pun bersama," ujar Mas Hari Abimanyu yang masih kedengaran di telingaku tapi aku sudah masuk dan tidak menjawab perkataan dia lagi.

"Mbak aku beli ikan sama orek tempe, tidak apa-apa kan?" tanyaku sambil membuka makanan tersebut.

"Iya tidak masalah, itu enak kok. Aryna hari ini kamu berangkat kerja duluan saja dengan Abi, biar Mbak naik ojek aja." Tiba-tiba Mbak Syakila berkata begitu.

"Kenapa?" tanyaku.

"Dia kan pacar kamu, masa kamu tidak mau berangkat kerja sama dia," ucap Mbak Syakila terlihat cemberut.

"Mbak, masih marah ya? Pacar aku minta maaf jika dia melakukan kesalahan, kalau Mbak Syakila tidak suka dengan Azkaya, kalian cukup berteman," ungkapku agar dia tidak marah lagi.

"Tapi Mbak masih kesal," kata Mbak Syakila sambil membuka magicom mengambil nasi.