Ana membalikkan badan memandangi seorang pria yang sedang menaiki motor ninja. Pria itu tersenyum kepadanya, dia adalah Arkan, anak semata wayangnya Pak Rizqi. Ana mendekati pria itu.
"Ada apa, Kak?" tanya Ana.
"Ayah pesan sama gue, katanya gue disuruh jemput lo, katanya mau ke rumah sakit kan? nah, kebetulan nih lihat lo mau keluar rumah, gue juga sudah dua kali bolak-balik ke sini tapi nggak ada orang."
Apa yang dikatakan Arkan memang benar, dia sudah dua kali bolak-balik ke rumah Ana untuk menjemputnya. Pak Rizqi berpesan kepadanya untuk menjemput Ana pada pukul 2 siang. Tepat pada pukul 2, Arkan pergi ke rumah Ana, tetapi tidak ada seorang pun di dalamnya. Mungkin karena Ana sedang dalam perjalanan ke rumah.
Sejenak Ana berpikir, sebegitu pedulinya Pak Rizqi kepada keluarga Ana. Tidak hanya Pak Rizqi saja, istri dan anaknya juga ikut menolongnya. Ana jadi tidak enak hati karena terlalu merepotkan orang lain. Namun, ketika dia ingin menolak bantuan dari orang lain, rasanya juga tidak mungkin. Ana tak sanggup mengurus masalah ini sendirian.
"Kenapa malah bengong Ana?" tanya Arkan.
"Aduh, gimana ya, Kak? Ana kok jadi nggak enak gitu. Ana naik ojek saja ya."
"Jangan naik ojek, Ana. Selagi ada orang yang lebih lo kenal kenapa menolak tawaran baiknya? jaman sekarang rawan modus penipuan."
"Tapi kan--"
"Nggak ada tapi-tapian. Lo itu wanita, masih kecil juga. Mending gue antar saja, gratis kok."
Lagi-lagi Ana merasa ragu untuk menerima tawaran baik dari orang lain. Selain bahaya, Ana juga takut kalau hari ini tidak ada tukang ojek yang mangkal di dekat rumahnya. Biasanya ketika menjelang sore, tukang ojek akan pindah di tempat yang lebih rame.
"Ayo, Ana! jangan kebanyakan mikir. Cepat naik!"
Awalnya Ana merasa ragu, tetapi Arkan menggandeng tangan Ana agar dia mau diantar ke rumah sakit. Minimnya tinggi Ana membuatnya kesulitan untuk duduk di boncengan motor Arkan yang lumayan tinggi. Sekilas Arkan tersenyum melihat Ana yang sedang berusaha menaiki motor.
Dari dulu Arkan ingin memiliki saudara kandung. Namun, apa bisa buat jika takdir berkata lain. Menjadi anak semata wayang membuatnya sering merasa kesepian di saat orang tuanya sudah berangkat bekerja. Tidak dipungkiri, semua fasilitas Arkan sudah terpenuhi dan apa pun yang dia minta, orang tuanya pasti mengabulkannya. Seperti itu lah suka duka menjadi anak semata wayang.
Ketika melihat Ana, Arkan merasa seperti akan mengajak jalan-jalan sang adik. Dia begitu menyayangi anak kecil, terlebih kepada anak yang baru berusia 2 tahun. Anak pada seusia itu membuatnya bahagia karena tingkahnya yang menggemaskan.
Arkan pernah meminta kedua orang tuanya agar mau mengadopsi anak dari panti asuhan. Namun, mereka menolaknya karena ingin fokus merawat anak kandungnya sendiri. Mendengar pernyataan kedua orangtuanya membuat Arkan sadar bahwa orang tuanya sangat menyayangi dirinya.
"Sudah, Na?" tanya Arkan menatap Ana dari balik kaca spion.
Terlihat Ana yang masih terengah-engah. Mungkin karena dia panik ketika naik boncengan motor Arkan. Wajahnya terlihat menggemaskan, apalagi melihat kedua pipi gembulnya membuat Arkan gemas ingin mencubitnya.
"Sudah, Kak," jawab Ana sambil memegang sisa tempat duduknya untuk dijadikan pegangan.
"Nih, pakai helm dulu."
Ana menerima helm tersebut kemudian langsung memakainya. "Sudah, Kak."
Tingkah Ana membuat Arkan tertawa. Ada-ada saja tingkah Ana ini. Sebegitu tidak enaknya dia menerima tawaran Arkan, padahal Arkan tidak merasa direpotkan oleh Ana.
"Kalau mau pegangan ya di depan Ana, kalau di belakang nanti malah bikin deg-degan. Kita kan mau lewat di jalan raya, nggak takut simpangan sama kendaraan beroda empat?"
Sontak Ana langsung melepaskan bagian motor yang sedang dia pegang. Wajahnya memerah menahan malu karena sindiran dari Arkan. Lagian memang itu kenyataannya apa yang Ana lakukan.
Sejak dulu, Ana memang tidak pernah berboncengan dengan seorang pria, kecuali ayah dan saudaranya. Jadi, wajar saja kalau Ana merasa gugup ketika membonceng Arkan. Terlebih ketika Arkan menertawakannya, membuat Ana sangat malu.
Arkan memang sudah kuliah semester 1, tapi entah kenapa hati Ana terasa berdebar. Dia memegang bagian dada dan perut untuk memastikan bahwa organ dalamnya tidak bermasalah. Ana juga takut jika dirinya dianggap sebagai pacar Arkan.
"Hmm, ya kan gimana ya kak. Aduh bingung deh mau ngomong apa ini," kata Ana sambil garuk-garuk kepala.
"Heh, ini tidak disuruh mikir Ana. Gue cuma mau ngomong sekalian ngingetin kalau lo pegangannya di belakang kelihatannya gimana gitu, terus nggak takut jatuh?"
"Kalau aku pegangannya di depan, berarti aku yang nyetir motor dong. Ana nggak bisa naik motor, kak."
Begitu polosnya Ana di hadapan Arkan. Rasanya Arkan ingin mengadopsi Ana menjadi adik angkatnya. Sebenarnya Arkan sudah tahu alasan Ana tidak mau pegangan di bahu ataupun perutnya. Arkan sangat gemas dengan tingkah Ana. Jaman sekarang nyari yang polos seperti Ana cukup sulit.
Tatapan Ana terlihat sedang malu-malu. Tercetak semburat merah pada pipinya. Menurut Arkan, wajah putih dan pipi gembul Ana terlihat seperti boneka. Aduh lucunya Ana bikin hati Arkan meleleh. Apalagi melihat senyum Ana, manis melebihi gula. Keinginan untuk mengadopsi Ana gagal, dia lebih tertarik untuk menjadikan Ana sebagai pacarnya.
Secepat mungkin Arkan tersadar atas tatapannya kepada Ana. Sangat mustahil jika keinginannya itu akan tercapai. Mana mungkin Ana mau menerimanya, Arkan sadar bahwa dirinya selisih umur kurang lebih 5 tahun. Arkan tahu bahwa umur itu tidak membatasi suatu hubungan, tetapi Arkan sadar jika dirinya menyandang status sebagai pasangan Ana, kasihan Ana nya, bisa-bisa dia kena bully teman-temannya karena seleranya dengan om-om.
"Kok malah bengong, Kak?" tanya Ana sambil mengibaskan tangan kanannya di hadapan Arkan.
"Eh, enggak kok," jawab Arkan cengengesan.
Ana bergidik ngeri melihat tingkah Arkan. "Lagi ada masalah, kak? kalau ada mending diselesaikan dulu. Ana bisa kok ke rumah sakit pakai ojek atau misalnya Kak Arkan punya aplikasi ojol, minta tolong pesankan ojol buat Ana saja, kak, gimana? beres dan nggak ribet kan?"
"Nggak, Ana. Di sini gue sudah dapat amanah buat jemput lo ke rumah sakit. Lo pasti tahu kalau ada amanah harus ngapain kan?"
"Iya sih," kata Ana kemudian menggigit bibir bawahnya.
Aduh Ana ini bikin napsu Arkan saja. Cowok mana yang tidak tergoda ketika melihat cewek menggigit bibir bawahnya. Sabar, Arkan harus sadar bahwa berdua saja ada orang ketiga, yaitu setan. Arkan yakin bahwa dirinya sedang digoda setan, bukan Ana. Dia anak polos tidak mungkin pandai menggoda, Arkan yakin itu.
"Pokoknya harus mau gue antar ke rumah sakit ya. Gue nggak mau lo kenapa-napa. Zea lagi sakit, ortu lo lagi di luar kota, dan di sini nggak ada saudara kan?" Arkan sudah tahu itu semua karena Pak Rizqi telah menceritakannya. Oleh karena itu, Arkan merasa iba kepada Ana karena dia berjuang sendirian menghadapi masalah.
"Ya sudah kalau gitu Ana mau, kak."
"Ayo, gas sekarang!" ajak Arkan kemudian memegang kedua tangan Ana untuk diletakkan di pinggangnya. "Pegangan biar nggak jatuh."
Dengan ragu Ana memegang pinggang Arkan. Tidak lama kemudian dia sangat terkejut. "Kyaaa!"